Rabu, 29 Februari 2012

Lomba Menulis dalam Rangka “KREASI AKBAR” FLP Bandung



TEMA LOMBA         : AKU DAN SASTRA
JENIS LOMBA          : CERPEN DAN PUISI

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA:

1.       Kategori peserta: pelajar, mahasiswa/umum
2.       Naskah harus asli, bukan jiplakan dari karya orang laio dan belum pernah dipublikasikan di media manapun atau tidak sedang diikutkan dalam perlombaan lain
3.       Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
4.       Tidak mengandung unsur SARA, pornografi maupun hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
5.       Diketik dalam kertas A4, TNR 12 pt, spasi 1,5 dan margin 3 cm
6.       Untuk cerpen 6-10 halaman dan puisi 1-2 halaman
7.       Peserta wajib membayar biaya lomba sebesar Rp 10.000/naskah, ditransfer melalui rekening bank BRI cab. Cibiru No. Rek. 135-401-00093-8536 a/n Ami Nurmala, atau jika tidak lewat rekening maka bisa dibayar ke panitia dengan datang langsung ke selasar Masjid Salman ITB pada hari kamis pukul 16.00-18.00 WIB
8.       Peserta boleh mengikuti kedua lomba tersebut atau mengirimkan lebih dari satu naskah/jenis lomba
9.       Naskah dikirim melalui email: kreasiakbar_lomba@yahoo.com dalam bentuk file attachment bukan di badan pesan dengan melampirkan foto copy kartu identitas (kartu pelajar, KTP/SIM) yang masih berlaku dan bukti transfer yang telah di scan
10.   Naskah dikirimkan paling lambat 25 Maret 2012
11.   Pengumuman pemenang 01 April 2012 pada acara “Kreasi Akbar” bersama FLP Bandung

Hadiah Lomba:
Cerpen :          
Juara I             : uang tunai Rp.300.000,-
Juara II            : uang tunai Rp.200.000,-
Juara III          : uang tunai Rp.100.000,-

Puisi
Juara I             : uang tunai Rp.300.000,-
Juara II            : uang tunai Rp.200.000,-
Juara III          : uang tunai Rp.100.000,-


Contact Person:
Haris Abdullah            : 0853 1502 7286
Vina N Istighfarini      : 085 649 513 484






Selasa, 28 Februari 2012

Wajah FLP Sumatera Utara dari Masa ke Masa

Berikut adalah kumpulan foto dari beberapa kegiatan FLP Sumatera Utara. Kalian dapat melihat wajah-wajah tiap anggota, bentuk kegiatan, dan aksi dari para anggota FLP Sumatera Utara.


Wajah FLP Sumatera Utara dari masa ke masa

Minggu, 26 Februari 2012

Urgensi Mempelajari Bahasa Asing Menurut Islam


Salah satu bukti dari kebesaran Allah ialah diciptakannya manusia dalam jumlah yang banyak dan terdiri dari berbagai golongan, bangsa, ras, dan suku yang berbeda. Tujuannya jelas, yakni agar sesama manusia itu sendiri saling mengenal satu dengan yang lainnya. Hal ini termaktub dalam Alqur’an surah Al-Hujarat ayat 13:

"Wahai manusia! sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah maha mengetahui, maha teliti" ( QS Al-Hujarat:13)

Dari ayat di atas, terang sekali bahwa kita harus membuka diri untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Seseorang tak akan bisa melestarikan keberlangsungan hidupnya tanpa orang-orang disekitarnya. Namun yang paling penting untuk diketahui adalah bahwa Islam sendiri mengharuskan umatnya untuk menjaga hubungan horizontal sebaik mungkin dengan sesama manusia. 

Sebagai pemeluk Islam yang baik, maka komunikasi dan interaksi dengan orang lain perlu diperhatikan. Tentunya media komunikasi sangat dibutuhkan untuk menjalin interaksi tersebut. Dalam hal ini, bahasa sangatlah berperan penting. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan atau pun ide terhadap orang lain. Bahasa juga dianggap sebagai sarana pemersatu masyarakat tertentu. Sebab itu, setiap daerah memiliki corak bahasa yang berbeda. 

Lalu, seberapa pentingkah untuk kita mempelajari bahasa lain di luar bahasa bangsa kita? 

Janganlah terlalu menutup diri untuk mengkaji bahasa lain hanya dengan alasan bahwa bahasa itu bukan milik negara kita. Bahasa Inggris contohnya, sebagian orang khususnya umat Islam masih menganggap Bahasa Inggris itu tak perlu dipelajari, sebab bahasa persatuan umat Islam adalah bahasa Arab, bukan Bahasa Inggris. Bahkan ada yang sampai membenci bahasa tersebut dikarenakan pemilik bahasa itu adalah negara non muslim. Hal ini perlu diluruskan.

Sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk membenci Bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya, sebab yang pertama bahasa itu sendiri adalah ciptaan Allah Ta’ala sebagai salah satu bentuk tanda-tanda kekuasaannya. "Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasamu, dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui". (Ar-Rum: 22).

Ayat ini mengisyaratkan agar kita memahami berbagai bahasa yang ada. Terkait dengan dianjurkannya kita bersosialisasi dengan orang lain, maka bahasa sangat penting untuk digunakan. Apalagi lawan bicara adalah orang yang berasal dari daerah yang berbeda dengan kita. Paling tidak, ada satu bahasa yang bisa sama-sama dimengerti supaya pesan-pesan dan informasi tersampaikan dengan baik. 

Kedua, bahasa adalah ilmu. Islam sendiri mewajibkan umatnya untuk menimba ilmu sejak lahir hingga ajal menjelang. Islam juga tidak pernah membatasi bidang ilmu apa saja yang wajib dipelajari umatnya. Oleh karena itu, bahasa tidak termasuk ke dalam daftar pengecualian bidang ilmu yang tidak perlu dipelajari. 

Kita bisa melihat bahwa di era globalisasi sekarang ini pergaulan sudah tidak terbatas. Seseorang yang tinggal di bilik barat bumi akan dengan mudah berkomunikasi dan bertukar informasi dengan penghuni bilik timur jagad raya. Dunia luas ini seakan dilipat-lipat oleh teknologi canggih sehingga semuanya terasa dekat. Sehingga dijadikanlah beberapa bahasa sebagai bahasa internasional untuk menyatukan seluruh penghuni bumi ini, yakni Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Mandarin, Jerman, dan Perancis. Jika kita tidak mempelajari salah satu dari bahasa internasional tersebut, bagaimana mungkin kita bisa mengakses informasi, sains dan teknologi yang semakin berkembang pesat? 

Selain itu, mempelajari bahasa asing tentunya juga menguntungkan bagi Islam. Sebab jika kita menguasai berbagai bahasa, maka kita akan dengan mudah menyampaikan dakwah Islam ke dunia Barat baik secara lisan maupun tulisan. Sehingga opini Barat tentang Islam bisa kita tepis dengan menjelaskan secara runut tentang semua konsep Islam dalam bahasa yang bisa mereka mengerti. 

Maka, jika kita bergiat dan tidak menutup diri untuk mempelajari beragam bahasa yang Allah ciptakan di bumi ini, Insya Allah kita akan mampu bersaing hidup dengan orang-orang yang kehidupannya telah maju khususnya di bidang sains dan teknologi. Dan misi kita sebagai umat Islam untuk berdakwah juga akan mudah terlaksana.

Oleh. Dahlia Siregar

TV, I Will Kill You!


Hanya satu yang tidak diajarkan televisi, yaitu bagaimana cara membunuh televisi
(Taufiq Ismail)

Pertengahan Juni silam, Maliki Arbi, 13, ditemukan tewas dengan bekas jeratan tali di lehernya. Indah, sepupu Kiki-sapaan akrab bocah itu- berkisah.  Sepuluh menit menjelang ajal, murid kelas V SD Cakung itu asyik menonton film Bollywood yang sedang diputar salah satu stasiun tv swasta. “Salah satu adegannya mempertontonkan orang yang sedang gantung diri,” tutur Indah. Iseng mencoba, kepala Kiki malah tertahan tali ayunan yang memang diikatkannya. Akhirnya, malang yang tak diundang pun datang. Nyawa meregang. Jiwa melayang. (Media Indonesia 4 Desember)           http://flpsumut.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Kiki tidak sendirian. Masih banyak Kiki-kiki lain yang juga menjadi korban tv. Yah, inilah konsekuensi hadirnya media tanpa batas itu di rumah kita. Kotak pandora itu memang sungguh ajaib. Efek negatifnya memang tak bisa disangkal lagi. Ini bukan bualan belaka. Karena memang berbagai fakta telah membuktikannya. Dewasa ini, berbagai adegan tak mendidik bahkan menjurus tindakan kriminal telah hadir di rumah kita, ke ruangan keluarga, kamar tidur, kos-kosan mahasiswa, ruang tunggu rumah sakit, lobi hotel, juga ruang kantor. Semua peristiwa tak mendidik itu hadir melalui perantaraan televisi.Pagi-pagi kita sudah disuguhi siaran infotainment yang menyebar aib orang lain. Kemudian, kita ”mempelajari” bagaimana cara tersangka melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan melalui reka ulang kejadian dalam program semacam investigasi. Lalu, di hadapan kita telah tersaji berbagai jenis sinetron yang temanya tak jauh-jauh dari dua hal: mistik atau percintaan.           

Ragam variasi hantu lokal dan mancanegara datang bertandang untuk menakut-nakuti kita. Anak-anak yang belum mengerti apa-apa akhirnya menjadi fobia terhadap kegelapan atau suasana sunyi. Mereka mengalami trauma psikologis. Sebab, sosok-sosok seram seperti pocong, sunder bolong, siluman, vampir dan drakula telah berhasil menggoyahkan keyakinan mereka terhadap Tuhan.           

Tak kalah heboh, sinetron remaja Indonesia juga sangat mengenaskan. Tema dominannya cuma percintaan melulu. Sangat picisan. Hasil riset 67 peneliti dari 18 perguruan tinggi di Indonesia menemukan kenyataan berjubelnya adegan seks di dalamnya. Sebagian besar, menurut mereka, berpusat pada ”hubungan seks” (57 %). Adegan tersebut memang tidak secara langsung menunjukkan hubungan seks, namun shot pembukanya sudah cukup untuk mengasosiasikan bahwa hubungan itu (akan) terjadi. Jenis adegan seks lainnya adalah ciuman (18%), pemerkosaan (12%) dan kata-kata cabul (10%). Ditemukan pula adegan telanjang (2%) dan seks menyimpang (1%). (Republika, 9 Maret 2008). Ironisnya, semua itu dilakoni oleh anak-anak sekolah. Tragis!           

Selain itu, aksi kekerasan juga berseliweran secara bebas dalam sinetron remaja. Dan lebih separuhnya, kata Nina Armando-pakar media-, merupakan kekerasan psikologis seperti perilaku mengancam, mengejek, memaki-maki, melecehkan, memarahi, mempelototi dan membentak. Selanjutnya, adegan kekerasan fisik juga tak kalah banyak. Riset menunjukkan bahwa 90% dari kekerasan telah direncanakan oleh pelakunya alias disengaja. Sampai-sampai ada kecenderungan glamorisasi kekerasan.           

Begitu pula dengan menu hiburan musik dan komedi yang –sekarang ini- bukan lagi mengedepankan sisi seninya, tapi malah sisi nudisme. Seakan tak sempurna, kalau video klip sebuah lagu, panggung konser atau komedi situasi tak dihiasi kata-kata dan gerak yang mengarah pada pornografi. Hebatnya, film kartun untuk anak-anak pun tak luput dari nudisme dan kekerasan. Sebuah survey mencatat adanya 84 adegan kekerasan dalam film kartun setiap jamnya.
           
Membunuh TV, Mungkinkah?           

Dampak buruk tv sudah sangat jelas. Tetapi, manfaatnya pun tak bisa dipungkiri. Lantas, haruskah kita ”membunuh” televisi? Itu bukan hal yang mustahil sebab tudingan miring terhadap tv bukan hanya ada di republik ini. Di Amerika, secara ekstrem kekesalan itu mewujud gerakan moral Turn Off Your TV Week. Satu minggu tak menyalakan tv. Hal serupa juga marak dikampanyekan di Australia, Brasil, Jepang, Italia, Taiwan, Meksiko hingga Kanada.            

Bagaimana Indonesia? Kalaupun tak sampai ”membunuh televisi”, paling tidak kita harus melakukan ”diet televisi” dan mengalihkan konsentrasi pada aktivitas yang lebih produktif untuk kebangkitan bangsa. Setuju? 

Oleh: Anugrah Roby Syahputra

Senin, 20 Februari 2012

Musikalisasi Puisi FLP Sumatera Utara


Inilah karya terbaru kami lewat musikalisasi puisi. Mengangkat puisinya Mbak Helvy Tiana Rossa "Perempuan Cahaya di Taman Zikir", kami berharap penikmat dapat merasa puas dengan penampilan dari awak-awak kami.

*mmm... jika ada tawaran ngisi acara, kami bersedia koq diajak aja... hehehehe... Kirim aja email ke email kami di: flpsuofficial@gmail.com. Insyaallah akan kami sanggupi.

Minggu, 19 Februari 2012

Satu Tanda Cinta


Tidak ada hal yang paling menarik dibicarakan sepanjang sejarah hidup manusia selain cinta. Ia adalah anugerah yang tak pernah mati. Wujudnya memang tak tampak, tapi efek yang ditimbulkannya luar biasa. Bagi mereka yang mengaplikasikannya sesuai tuntunan, maka cinta itu akan memberi ketentraman. Tetapi bagi mereka yang salah dalam meraihnya, maka cinta itu akan jadi malapetaka bagi hidupnya.

Namun betapa pun besarnya rasa cinta yang dimiliki oleh manusia, tetap saja jauh lebih besar rasa cinta Allah terhadap hambanya. Terlebih bagi mereka yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Jika manusia menunjukkan rasa cintanya dengan sejuta kata manis dan pujian, maka Allah menunjukkan rasa cintanya dengan sejuta ujian. 

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan "kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta". (Al-Ankabut: 2-3).

Allah membalas rasa cinta kepada orang yang beriman dengan cara memberikan cobaan dan ujian yang bertubi-tubi. Lewat ujian itu Allah ingin mengukur seberapa kukuh keimanan dan kecintaan seorang hamba terhadapNya. Jangan pernah berpikir bahwa ujian yang datang itu merupakan pertanda kebencian Allah pada kita, justru itu adalah isyarat awal bahwa Allah mencintai kita. 

Terkadang kita merasa tidak sanggup menghadapi ketika cobaan datang menerpa. Bahkan tidak sedikit orang yang mengakhiri hidupnya dengan sia-sia hanya karena frustasi dan tidak tahan dengan peliknya kehidupan yang sedang menimpa. Tetapi apakah kita pernah menyadari bahwa dengan cobaan yang silih berganti itu akan memposisikan diri kita pada derajat yang paling tinggi? "Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman". (Ali Imran: 139).

Lantas, bagaimana kita harus menghadapi segala cobaan dan ujian tersebut?

"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (Al-Baqarah: 45).

Ternyata Allah telah mengajarkan lewat kitab Al-qur’an cara paling jitu menghadapi cobaan. Ialah sabar dan sholat. Sabar merupakan sepotong kata yang ringan sekali untuk diucapkan namun sulit untuk diterapkan. Bahkan kadang kita harus berjalan tertatih untuk sampai kepada sabar. Begitupun sholat. 

Tidak semua orang mampu menegakkannya, terlebih ketika cobaan datang menghadang. Oleh karena itu Allah memberikan pengecualian bahwa hanya orang-orang yang khusyu’ sajalah yang bisa menerapkan dua cara di atas. 

Sekalipun dua cara itu cukup berat untuk dilaksanakan, bukan berarti kita berlepas diri dari padanya. Usaha untuk mencapainya tetaplah ada. Teruslah berdoa pada Allah agar diberi kekuatan dan kemudahan sehingga kesedihan dan rasa lemah tidak bersarang lama dalam diri. Segala solusi mintalah hanya pada Allah saja. "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakal" (At-Taubah: 129). Dengan begitu, kita tidak akan pernah merasa terbebani dalam hidup ini. 

Sungguh Allah maha baik. Ketika Ia memberikan ujian pada kita, bukan berarti Ia tidak memberikan imbalan yang setimpal. Selain mendapatkan gelar takwa dan mukmin, Allah juga telah mempersiapkan hadiah yang tiada ternilai harganya apabila kita berhasil melewati cobaan dan ujian dengan sabar dan ikhlas. Hal itu dijanjikannya dalam kitab suci Al-qur’an surah At-Taubah ayat 111:

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka" (At-Taubah:111).

Bukankah surga adalah tempat yang kita idam-idamkan pasca kehidupan di dunia ini? Oleh karena itu, janganlah pernah memalingkan diri dari Allah yang Esa, baik dalam keadaan senang maupun susah. Sebab Allah memberikan cinta yang luar biasa pada kita setiap saat. CintaNya tulus tanpa pamrih. Hanya saja Ia memiliki cara yang berbeda dalam menunjukkan rasa cintaNya terhadap kita. 

"Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka dia akan memberi cobaan agar ia mendengar dan berendah diri di hadapan-Nya" (HR. Baihaqi dari Abi Hurairah).

Jadi, sudah terang sekali bahwa cobaan dan ujian yang datang menyinggahi bukanlah satu bentuk kebencian Allah terhadap diri kita, melainkan satu tanda cinta yang luar biasa dariNya. Semakin kita mencoba untuk dekat denganNya, semakin besar pula ujian yang akan datang menghadang. Maka, bersiaplah dalam menghadapinya agar kita mencapai gelar takwa dan bisa menduduki satu dipan di Jannah-Nya.


Oleh  Dahlia Siregar. 
*Penulis saat ini bergiat di FLP-SU dan sebagai pendidik di SMA Binalita Sudama, Medan

Ketika Purnama Menjadi Mentari


Purnama di langit kian berdarah, merah membara. Kota Syene hancur, remuk redam, luluh lantah tinggal puing. Kobaran api masih terlihat di mana-mana. Raungan sirine bersahut-sahutan. Jeritan, tangisan, dan ratapan berbaur dalam kegalauan malam itu. Pilu.

Sesosok wanita berjalan terseok-seok menyeret kaki kirinya yang hancur. Pahanya nyeri. Darah mengikutinya sepanjang jalan. Jeans birunya bercat darah dimana-mana. Entah darahnya sendiri atau bukan ia tak tahu. Kemeja biru mudanya tak kalah bercat. Dari celah kerahnya terlukis aliran merah sampai ke ujung kancing terakhirnya. Sesuatu yang tajam sepertinya telah manancap di lehernya. Tapi telah dicabutnya sehingga meninggalkan lubang menganga. Lengan kemeja kirinya hilang, meninggalkan bekas terkoyak di ujung jahitan bahunya. Mungkin tersangkut di suatu tempat.

Ia terus berjalan di tengah bangkai-bangkai kota mungil itu. Matanya awas, merah semerah saga. Penuh kesakitan, ketakutan dan kecemasan. Air matanya telah kering.

”Mayaaa!” Teriaknya sekuat tenaga.

Namun suaranya hilang ditelan amukan sirine, dan jeritan lainnya. Ia tak peduli. Ia terus maneriakkan nama itu dengan sisa tenaga yang ada.

”Mayaaa! Kau ada di mana?!”

Tiba-tiba kaki kanannya menabrak sesuatu. Jelas saja ia pun tersungkur. Rintihannya terdengar sangat menyayat. Ia berusaha bangkit. Bertopang pada apa yang bisa dipegangnya. Tertatih-tatih. Paha kirinya terasa nyeri sekali. Sebuah kayu runcing bersarang menembus dari ujung ke ujung. Ia putuskan untuk mencabutnya. Ia menjerit sekuatnya. Darahpun tak bisa dihindari. Perlahan ia ikat lukanya dengan sisa kain di kemeja kirinya yang menjuntai. Setidaknya kini pahanya tidak senyeri sebelumnya.

Dari tempatnya bersandar, matanya menangkap sebuah boneka beruang di dekat tempat ia terjatuh tadi. Boneka itu berwarna biru. Matanya hitam dan hidungnya berwarna cokelat.

Deg!

Darahnya berdesir. Jantungnya terkesiap. Matanya semakin merah. Di samping boneka itu, tergeletak sebuah tangan anak kecil. Tapi ia tak bisa melihat wajahnya karena sehelai koran menutupi tubuhnya.

Oh tuhan. Memang tadi aku berkata setidaknya jika ia tidak selamat pertemukannlah aku dengan mayatnya agar bisa kuberikan upacara pemakaman yang layak. Namun Kau tentu tahu kalau aku ingin dia selamat tak kurang satu apapun ya Tuhan.

Ia memang telah mempersiapkan batinnya dengan apapun yang akan ditemuinya dalam pencariannya itu, akan hasil yang terburuk sekalipun. Namun tetap saja nurani keibuannya tak kuasa jika nanti wajah yang terpampang di tubuh itu adalah wajah putri semata wayangnya. Bahwa tubuh yang tergeletak tak bernyawa di samping boneka beruang itu adalah bidadari kecilnya.

Ia mendekati sosok itu dengan hati-hati. Lama ia menatap tubuh tak bernyawa itu. perlahan, diberanikannya tangan kananya menggapai koran yang menyelimuti kepala gadis kecil itu. Begitu ujung jemarinya menyentuh koran itu, refleks ia tarik kembali tangannya. Ketakutan menghantammnya. Tubuhnya menggigil. Ia terisak tanpa air mata.

Diamatinya lamat-lamat boneka itu. Ia tertegun. Masih segar di ingatannya raut wajah gembira Maya saat ia memberikan boneka itu sebagai hadiah ulang tahunnya tadi malam. Sebuah hadiah yang ia belikan dari hasil kerja kerasnya seminggu di sebuah Italian Cafetaria di pusat kota. Ia dan Clara, rekan seperjuangannya, akhirnya membelikan boneka beruang biru yang tinggal sepasang sebagai hadiah ulang tahun buat putri mereka yang kebetulan memiliki tanggal lahir yang sama. Clara mengambil boneka yang berhidung cokelat, sedangkan ia yang berhidung hitam.

Masih mengalun indah dalam ingatannya tawa riang bidadari kecilnya itu saat makan malam di taman kota untuk merayakan ulang tahunnya. Gadisnya tak melepaskan sedetikpun hadiahnya dari pelukannya. Tadi malam itu sungguh malam yang bahagia sampai bencana itu datang.

”Mama, lihat! Bulannya terang sekali!” Maya menunjuk ke arah bulan dengan riang.

”Itu namanya bulan purnama, Sayang”

Maya tak melepaskan pandangannya dari bulan

”Lihat, Mama! Warna bulannya merah!”

”Hmm?”

Mereka berdua kini memandangi sang bulan. Wanita itu terkejut, ketika sang bulan semakin merah. Ia mendekap Maya erat. Semakin terang dan terang. Bahkan lebih terang dari matahari. Dalam hitungan menit malam itu berubah jadi seterang fajar, pagi lalu seterang siang. Terang benderang. Semua orang di taman kota itu satu-persatu dan akhirnya serentak berdiri takjub, kaget, dan takut. Dari arah bulan yang kini telah menjadi matahari itu semakin  membesar dan mendekat. Seperti bola api. Semakin lama semakin besar. Dan melesat ke tengah kota Syene.

Suara menggelegar membahana sampai ke bulan. Pusat hantaman seketika menjadi abu. Gedung-gedung runtuh, hancur tersapu gelombang ledakan. Api bertebaran di mana-mana. Kota mungil itu hancur lebur dan terbakar. Dalam hitungan menit kota itu hancur tak bersisa, dalam hitungan menit kebahagiaan wanita itu berubah jadi lara. Sungguh menit yang membalikkan dunia.

Perlahan memorinya mengingatkannya.

Lihat boneka itu! Hidungnya berwarna cokelat. Milik Maya berwarna hitamkan?

Keberaniannya kini kian tergugah untuk menyingkap koran yang menutupi tubuh kecil itu. perlahan tapi pasti ia sibakkan kertas itu. Betapa leganya ia, bahwa itu bukan Maya sang buah hati.

”Mamaaaa!”

Ia terkejut mendengar suara tangisan itu. suara itu tak jauh dari tempatnya berada. Ia kenal suara itu. Itu suara bidadari kecilnya. Bergegas ia berdiri. Tak dirasakannya lagi rasa sakit di kaki, paha dan lehernya. Ia tak peduli.

Terima kasih tuhan, kau dengarkan doaku.

Dibalik reruntuhan itu didapatinya seorang gadis kecil terduduk. Tangan kirinya memeluk boneka beruang biru. Hidung boneka itu berwarna hitam. Gadis itu masih menangis mamanggil nama ibunya.

”Maya! Kau baik-baik saja, Nak?”

Ia berlari menghampiri gadis itu,  seraya memeluknya. Namun ia tersungkur. Ia kaget. Ia bangkit dan kembali mendekap putrinya. Namun tak ada yang berhasil digapainya, ia kembali tersungkur. Ia kaget bukan kepalang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tak bisa memeluknya?

Ia coba lagi, dan lagi-lagi ia tersungkur. Sehelai rambut Maya pun tak bisa di sentuhnya. Ia bingung.

”Mamaaaa!” Maya terisak pilu.

Di sebelahnya terbaring tubuh dengan kaki kiri hancur tertimpa runtuhan bangunan. Pahanya tertembus kayu runcing. Jeans dan kemeja birunya berhiaskan darah. Sesuatu manancap di dekat kerahnya. Tubuh itu tak bergerak. Tak bernyawa.

Oleh Pertiwi Soraya
Teks asli bisa di lihat di sini

Sabtu, 18 Februari 2012

Menyampaikan Amanat Lewat Tulisan yang Baik!

Assalamualaikum, Mbak Liza.

Tahukah kamu apa hal besar yang paling luar biasa bagi seorang penulis di awal masa kepenulisannya??? Yupz! Betul Sekali. Menuliskan tulisan pertamanya. Luar biasa. Akhirnya kamu bisa menyelesaikan cerpen ini. Sebuah ide hanya akan menjadi ide yang mungkin suatu waktu terlupa bila tak segera dituliskan menjadi suatu bentuk tulisan. Apakah sekedar catatan biasa, semisal pada diari; esai; artikel; opini; puisi; bahkan cerpen seperti yang telah kamu ciptakan SIAPA DIA?” (Mana aplausenya nih…. Prok… Prok… Prok… ^_^ Jadi ingat Pak Tarjo eh Pak Tarno maksudnya… hehehe…)

Setelah penulis berhasil menciptakan tulisannya, maka persoalan berikutnya adalah carilah pembaca untuk tulisanmu. Nah, di sinilah kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan yang juga sering ditanyakan anak-anak galau di luar sana, “Bagus gak yua…???” Stop! Jangan ikutan galau ya Mbak Liza. Karena, kami akan membantu tulisanmu menjadi lebih baik. ^_^

Nah, dalam penggarapan sebuah cerita pendek, kita sebagai penulis pemula (setidaknya) mengetahui unsur-unsur penting( yakni; intrinsic dan ekstrinsik) dalam sebuah cerita sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah cerita pendek.

Unsur-unsur tersebut; tema, latar, alur, perwatakan, sudut pandang dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Baiklah,kami akan memulai dari unsur pertama cerita yang kamu tuli ini.

  1. Tema atau ide pokok dalam cerita pendek yang Liza tuliskan ini sebenarnya telah mematahkan ide umum yang kebanyakan dituliskan Keluar dari mainstream. Sangat berani.
  2. Penampilan masalah (konflik). Dalam cerita ini, tokoh aku mengalami pergulatan batin yang sangat mengambang. Kurang greget istilahnya. Konflik cerita tidak dipaparkan secara runut. Apa sebenarnya penyebab kegelisahan itu sampai tokoh aku mengalami mimpi-mimpi aneh? Apa maksud dari mimpinya? Apa hubungan kuat antara kutipan ayat alquran dengan kesesuain cerita atau makna yang ingin disampaikan? Alasan-alasan ini belum terjawab pada tulisan Mbak Liza. (Oh iya sedikit masukan nih, cukup ayat saja tanpa tafsiran atau sebaliknya yang mbak tuliskan. Mengingat Cerpen pada hakikatnya meringkaskan cerita.)
  3. Alur cerita. Cerita yang memilki alur adalah cerita yang memiliki pergerakan, mengalir dan natural. Dalam cerpen ini lead dibangun dengan pemaparan setting , waktu penceritaan. Kemudian  menampilkan masalah yang tengah dihadapi. Namun ketegangan (klimaks) yang ada kurang Wah! Kejutan yang ingin di tampilkan kurang memiliki daya kejut yang cukup bagi pembaca. Untuk itu belajarlah cara membangun alur yang memikat, sehingga pembaca akan merasakan ikut terbawa pada alur cerita yang dibangun penulis dengan cara membaca cerpen-cerpen yang sangat mengalir ketika kita membacanya.
  4. Perwatakan (karakter). Jangan lupa, bahwa indikasi keberhasilan terbanggunya karakter tokoh (melalui dioalog atau penjelasan tokoh) adalah pembaca dapat merasakan hubungan emosional yang kental antara tokoh utama dalam cerita. Merasakan empati yang dalam. Dalam cerpen ini, hal tersebut hampir terbangun secara utuh.
  5. Amanat atau pesan : inilah satu hal yang merupakan hal terpenting dalam sebuah tulisan. Amanat yang baik jika tidak diimbangi dengan penggarapan yang baik pula, maka akan terkesan mengambang. Atau bisa menjadi buyar dan kehilangan kekuatan.  Sejatinya amanat dalam sebuah cerpen akan terasa jika kita sudah menuntaskan membaca cerpen tersebut. Nah,di sinilah kelemahan kita sebagai penulis pemula. Kita terlalu mengebu-gebu dalam penggarapan cerita sehingga ada beberapa hal yang mungkin terlupa untuk diceritakan yang akan mempermudah penyampaian pesan. Walhasil amanat cerita nampak secara vulgar atau dipaksakan. Nah, saran kami, cobalah untuk mematangkan ide dengan hati, menulislah dengan hati (jangan terburu-buru ingin secepatnya menyelesaikan masalah), dan memperbanyak membaca cerpen-cerpen dari penulis-penulis lain ya. Di blog FLP Sumut ini juga tersedia koq.
  6. Dan yang terakhir, kami ucapkan selamat, karena kamu sudah berani menulis. Dan ini adalah prestasi besar.
Selebihnya, mmm… apalagi ya oh iya… Menulislah terus. Seorang penulis hebat sebenarnya memiliki masa seperti yang Mbak Liza rasakan sekarang. Karenanya, Mbak Liza harus tetap mempertahankan tekad kuat untuk terus menulis. Sebenarnya, menciptakan tulisan-tulisan yang lain secara tak sadar akan meningkatkan kualitas tulisan kita berikut kuantitas karya yang kita telurkan. Tentu saja akan lebih hebat lagi bila diselingi membaca karya-karya tulis dari penulis hebat yang Mbak Liza kagumi. Yakinlah.
(wallahu’alam bishowab)
*Tim Pengkritik FLP Sumut:
Maritza Nada, Abdillah P. Siregar,
dan Fadly Pratama

Jumat, 17 Februari 2012

Mengasah Kemampuan dalam Komunitas

Ada yang berpendapat bahwa penulis adalah profesi penyendiri. Memiliki sebuah dunia kecil yang diciptakannya sendiri, dihidupi oleh tokoh-tokoh yang diciptakannya pula. Serta aturan yang tercipta menyertainya. Sehingga kadang terasa mengasing dalam sebuah lingkungan sosial. Mmm... Betul gak ya?

Memang betul, Namun, tak semua penulis seperti pendapat di paragraf awal tadi. Toh, cukup banyak pula yang lahir dan besar dari sebuah komunitas. Semisal Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG dari Persada Studi Klub. Dan, yang paling hangat, (boleh dong narsis dikit ^_^... Gak apa ya) Forum Lingkar Pena.

Hehehe... Forum Lingkar Pena atau disingkat FLP adalah sebuah komunitas kepenulisan yang telah banyak melahirkan banyak penulis-penulis muda berbakat sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 1997 oleh mbak Helvy Tiana Rosa. Berkembang sangat pesat hingga  mewabah ke seantero pelosok negeri sampai luar negeri. ( Berani sumpah! Ini fakta. Dan lebih fakta lagi baca aja deh lanjutannya ya...) Sumatera Utara??? Kan sudah dibilang tadi. "Kepelosok Negeri." Jadi ceritanya, termasuk dong.

Walaupun tekad yang kuat, ketekunan, dan kerja keras diri sendiri adalah amunisi utama yang wajib dimiliki calon-calon penulis besar, bergabung dengan sebuah komunitas akan semakin cepat mengasah keindahan tarian kata. Nah, apa lagi keuntungannya? Berikut lima poin keuntungan bagi penulis untuk bergabung dalam suatu komunitas.

  1. Saling mengkritisi karya.
  2. Saling berbagi pengalaman menulis.
  3. Saling memotivasi.
  4. Saling memberi semangat. 
  5. Saling memberi informasi seputar kepenulisan.
Sebenarnya masih banyak lagi keuntungan-keuntungan yang lain bila bergabung di suatu komunitas kepenulisan. Kasi tau gak ya???? Hehehehe yo wes gabung aja dan cari sendiri keseruannya....

*Denger-denger nih... Ini denger-denger ya. Katanya FLP Sumut buka rekrutmen anggota baru lho... KAPAN??? Weitz... Sabar dulu Mas Bro, Sis... Kabar-kabarnya sih September gitu... Betul gak ya???


Mengenal Tanda Ikhlas

   Kata ikhlas memilki beragam makna jika didefinisikan secara bahasa. Namun pada dasarnya semua memiliki makna yang sama yakni memurnikan niat hanya untuk Allah SWT semata. Sering kita mengucapkan dan mendengar kata ikhlas. Namun ikhlas memang bukanlah perkara yang mudah untuk kita aplikasikan dalam kehidupan ini. Mengapa? Mungkin di antaranya dikarenakan kita belum mengenal tanda atau ciri dari orang yang dikatakan ikhlas (Mukhlis). Berikut ini beberapa cirinya:

1.             Lebih memandang kekurangan yang ada pada diri sendiri dan memandang orang lain lebih mulia dari kita

Sifat dari kebanyakan kita ketika selesai menunaikan suatu kebaikan adalah merasa lebih baik dari orang lain, merasa kitalah yang paling mulia disisi Allah. Bahkan terkadang kita meremehkan orang lain. Inilah kebiasaan yang sudah seharusnya kita tinggalkan. Karena belum tentu ibadah yang kita lakukan memiliki kebaikan di sisi Allah, malah mungkin sebaliknya, tidak ada nilainya di sisi Allah. Maka inilah salahsatu fungsi mengapa kita dianjurkan untuk selalu mengintropeksi diri.

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap yang kamu kerjakan.” (QS. 59:18)

2.             Zuhud dan Qona’ah

Ciri orang yang ikhlas berikutnya adalah adanya sifat zuhud dan Qona’ah.

Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi Radhiallahu’anhu berkata: Seorang mendatangi Rasullah SAW, kemudian berkata: “Wahai Rasullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia mencintaiku. Maka beliau bersabda “Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai oleh Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai oleh manusia.” (HR.Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan)

   Zuhud dan Qona’ah seperti tak dapat dipisahkan karena salahsatu wujud nyata dari zuhud adalah sikap Qona’ah kepada Allah SWT.

Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim)

3.             Berupaya menyembunyikan amal kebaikan agar tidak diketahui oleh orang lain

Terkesan sulit memang mengaplikasikan tanda ikhlas yang berikut ini. Kebanyakan kita justru senang menunjukkan amal-amal kita di depan orang lain dengan harapan mendapatkan pujian dari orang lain dengan kata lain riya’. Jadi tak salah jika kita menobatkan orang yang Mukhlis adalah mereka yang senantiasa menyembunyikan kebaikannya dari orang lain.

Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan dari naunganNya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan  sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah airmatanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

4.             Tidak mengharapkan balasan dari orang lain

Adapun tanda orang yang ikhlas adalah mereka yang tak pernah kecewa dengan apa yang orang lakukan kepada mereka, senantiasa menebar kebaikan tanpa pernah mengharapkan balasan dari orang lain.

(sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhoan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan terimakasih dari kamu’” (QS: Al-Insan:9)


5.             Menyukai pemberian Allah kepada mu’min lainnya

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.” (QS: 4: 32)

Jelas ayat di atas melarang kita untuk tidak iri terhadap berbagai kenikmatan yang ada pada saudara kita, dan tidaklah seorang yang mukhlis iri terhadap saudaranya karena sebelumnya sifat qona’ah telah terpatri dalam hatinya.

6.             Sabar menghadapi ujian serta istiqomah dalam kebaikan

Dan terakhir, ciri orang yang ikhlas adalah orang yang mampu bertahan dalam ujian, baik ujian dalam bentuk kesulitan maupun dalam bentuk kenikmatan. Serta mampu istiqomah dalam melakukan kebaikan.

Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang berkesinambungan walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim)

   Semoga Allah senantiasa menjaga kemurnian niat kita dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang ikhlas. Aamiin. Allahu A’lam Bishshowwab

Oleh Fitri Arniza

Menjenguk Rindu Di Kota Laut



 Ini puasa pertama. Aku menjejak kakiku pada tanah kelahiran kita yang sepi. Berbilang tiga tahun tak berkabar. Ah, apa kabarmu sekarang? Sungguh! Aku rindu. Bukan aku tak mau pulang. Hanya belum sempat atau belum waktuku. Malu, bukan? Jika aku pulang tak membawa rumah impian untukmu. Apa kau sudah lupa padaku? Apapun ceritanya aku ini tetaplah separuh jiwamu. Kesayanganmu. Oh ya, hari ini aku kembali ingin menggenapi janjiku dulu; ingin  membangunkanmu rumah dengan selasar, tempat kita akan menikmati detik-detik kelahiran matahari. Setiap hari. Setiap pagi. Tak mewah, tak bertingkat, tapi aku yakin kau pasti suka dengan rumah yang akan aku bangun. Seperti permintaanmu dulu; rumah kecil berberanda di tepi pantai.

Tanah kelahiran kita ini tetap panas. Mengalahkan panasnya kota tempat aku bersimbah keringat; mengais rupiah demi rupiah.  Ah, tetap seperti dulu. Bahkan tak berubah. Jalan-jalan yang panjang. Pohon-pohon kelapa. Rumah-rumah panggung. Hanya saja, pantai itu sudah semakin ramai dikunjungi pewisata dari luar kota. Ah, seperti mimpimu dulu; tanah kita ramai diminati orang.

Ini puasa pertama. Kau masak apa? Aku rindu gulai lomak itu. Kita tak seperti keluarga lain; menyambut puasa pertama dengan rendang daging, semur ayam dan makanan mewah lainnya. Bahkan, tak ada tradisi mandi pangir dan punggahan. Kau sendiri bingung dengan petuah orang tua kita; mandi pangir dapat menyucikan diri. Ai, ada-ada saja!

Aku menggegas langkahku. Sungguh, aku ingin tahu seperti apa rupamu kini? Masih cantikkah seperti dulu? Sama persis ketika aku mendecak kagum atas gemulai tubuhmu yag dengan rancak menarikan serampang dua belas. Sungguh! Kau cantik sekali hari itu. Dengan selendang biru membalut wajah pualammu. Sejak hari itu, aku merasa hikayat cintaku bermula.

 Masih berbinarkah mata indahmu? Masih  hangatkah senyum cerahmu? Ah, aku rindu! Atau, kali ini kau akan merepetiku habis-habisan? Aku siap, Dinda. Jika itu mampu menebus kesalahanku yang tak berkabar sekian lama.

Ini puasa pertama. Aku ingin menghabiskannya sebulan ini bersamamu. Aku merindukan ibadah dengan tenang; tilawah dengan tenang, tarawih dengan tenang. Sungguh, Dinda, aku merindukan kau membangunkanku untuk tahajud bersama, memercikkan air ke wajahku yang pulas. Lalu aku akan pura-pura manja. Kau malah menyiramkan segelas air dingin sambil menahan tawa.

Dinda, apa kau ingat kejadian empat tahun lalu. Bukankah saat itu Bulan Ramadhan pula? Kau tertunduk di teras msjid. Memandang kaku orang-orang yang hendak beranjak tarawih. Sedang kau, mengapa pula hanya berdiam diri saja. Bahkan rambutmu awut-awutan. Mukenamu tak kau pakai. Tak ada orang-orang yang peduli. Kau tersungkup berjalan. Menunduk. Lalu, aku melihatmu. Aku mengenalimu (meski kita tak pernah bercakap-cakap). Kau adalah anak Uwak Mansyur, yang baru wafat seminggu lalu. Kau saat itu sebatang kara. Kata orang-orang kau perempuan sial. Aku tak peduli. Kutegur saja kau saat itu (setelah sekian lama aku mengumpulkan keberanianku untuk berbicara denganmu). Lantas, aku merasakan hujaman tatapan-tatapan ganjil orang-orang membungkus tubuh kita. Aku gugup!

Orang tuaku mengendus hubungan kita. Mereka berang. Sebab, baru aku tahu, ada dendam kesumat yang sudah terpatri sekian lama antara keluargamu dengan keluargaku. Padahal kita masihlah satu keluarga jauh. Agaknya, masalah perebutan harta warisan selalu mendulang kebencian tak berkesudahan. Ayahmu, yang bukan siapa-siapa di keluarga buyutku, malah mendapat jatah tanah melimpah. Sementara keturunan aslinya, mendapat ala kadar saja.
“Mak, biarlah Dik Dinda tinggal di rumah kita,” bujukku pada Mamak saat itu.

“Ah, gila kau ini! Apa kata orang kampong nanti?” Mamak terang saja tak menyetujui usulan konyolku itu.

“Mak, kita ini Orang Melayu yang menjunjung kepedulian. Dia itu yatim-piatu. Apa susahnya menampung seorang saja?” Aku memaksa.

“Alah, tahu apa kau soal adat kampong dan kepedulian.” Perempuan paruh baya dengan baju kurung itu bersikeras.

Aku beringsut. Tak ingin memperpanjang perdebatan. Setiap hari aku mengunjungimu. Orang-orang menatap sinis. Mau kali kau berteman dengan gadis pembawa sial tu? Sontak mereka berkomentar. Aku bergeming. Hei, lagipula apa peduli mereka?

Kau masih 17 tahun saat itu. Sebatang kara; simpai keramat. Tak ada sanak saudara. Maka, aku yang sejak lama sudah memendam rasa padamu, semakin bertambah rasa ibaku. Eh, tepatnya rasa cintaku.  Dadaku berdebam-debam. Kau bahkan selalu menangis ketika diam-diam aku memberikan makanan berbuka puasa. Ah, bahkan warisan orang tuamu pun telah dirampas paksa.

Lantas, aku beranikan diri. Nekad.  kubilang pada Orang tuaku; aku akan menikahimu. Benar. Dugaanmu tepat. Aku ditentang. Dicap anak durhaka. Jika tetap keras kepala, maka, aku harus hengkang dari rumah. Dicoret dalam daftar waris keluarga. Tak mengapa. Yang terpenting, aku semacam berkewajiban, melindungi yatim-piatu sepertimu. Oi, kurasa, alasan lainnya sebab aku begitu mencintaimu sejak dulu. Maka, jadilah kita lari nikah.

Kita menikah. Sederhana. Amat sederhana. Pindah. Rumah kita jauh dari hingar binggar warga. Tak ada orkes Melayu. Sunyi, sepi, misteri. Kita harus menyeberangi laut. Pada sebuah pulau kecil. Di sana, kita hidup bahagia. Soal, makan. Gampanglah! Bahkan segala aneka ikan dengan mudah kita dapatkan. Saat itu masih bulan puasa. Kita tarawih berdua. Bergantian membaca Alquran dengan lilin seadanya. Hingga di penghujung bulan; waktu menasbihkan keakraban kita. Tak kusangka kau lebih dari sekadar cantik. Begitu baik. Kau selalu bertanya padaku, apakah aku meridhaimu? Aku hanya mengganguk saja sebagai jawaban. Tak lupa menyungging senyumku.

“Aku ondak merantau, Dik. Ke Malaysia. Demi masa depan kita. Seperti janjiku dulu. Membangun rumah yang berteras.” Aku menatap tajam wajah istriku itu.

“Kanda, Dik tak butuh itu. Asal Kanda ridha saja. Itu semua sudah lebih dari cukup.” Suara Dinda lantas diselingi deburan ombak malam. Sungguh,itu malam lebaran yang romantis. Aku tahu kau tak ingin aku pergi. Tapi, ini demi kebaikan hidup kita. Percayalah!

Jadilah malam takbiran itu. kita bertakbir di pinggir pantai. Memandang bulan yang menawan. Sinarnya menyemburat lantai laut. Indah. Itu adalah suasana paling romantis seumur hidupku. Aku mengecup keningmu dalam. Kau mendekapku erat. Kita begitu bahagia. Takbir entah dari mana menyepuh telinga kita. Lamat-lamat. Angin laut merangkul tubuh kita.

***

Aku menjejak tanah kita. Hampir sampai. Tinggal mendayung dua tiga kali. Sunyi. Masih sama seperti dulu. Kubayangkan kau menungguku di bingkai pintu. Dengan baju kurung dan selembar selendang biru yang menutup rambut hitam lurusmu. Tak ada, aku bahkan sudah menjejak kakiku di tepi pantai. Air menyapu ujung celanaku. Kau tak ada. Ah, terang saja, bukankah aku tak mengabarimu sama sekali akan kedatanganku di puasa pertama ini? pasti kau sedang di dalam. Membersihkan rumah atau sedang membaca Alquran. Sebab ini, kan, bulan berlimpah pahala? Setiap huruf yang kau lafazkan diganjar berlipat balasan. Namun, aku mengenalmu luar dalam. Kau tak pernah hitung-hitungan dalam ibadah.

Tak lama, maka, akupun sampai di tepi pantai.

“Assalamulaikum,Dinda..” sapaku hangat. Aku takut kau tak mengenali lagi suaraku setelah tiga tahun.

Aku kitari rumah kecil kita. Tak ada. Ah, atau kau sedang bertandang ke rumah orang. Ya, kurasa iya. Aku keluar. Menyapu pandangan. Satu-dua-tiga rumah baru sederhana. Aku menuju ke sana. Aku seperti orang kebinggungan yang sedang mencari-cari.

“Ada yang melihat istri saya?” tanyaku gusar sambil menunjuk rumah amat sederhana kami.
Gelengan kepala. Mereka tak tahu. Agaknya mereka pendatang baru. Pindah ke rumah kedua. Pertanyaan serupa kuajukan. Menggeleng lagi. Lanjut ke rumah ketiga, pertanyaan yang sama. Seorang wanita paruh baya. Belum terlalu tua. Nek Hayati.

“Sudah meninggal 3 tahun lalu. Pendarahan. Keguguran.” Pendek sekali jawabannya. Tapi membuatku nyaris limbung dan pingsan. Aku terisak. Roboh dengan lutut membentur tanah. Dindaku sayang, gumamku pelan. Tega nian kau meninggalkanku!

***

Tanah kelahiran kita sepi. Ini kali pertama aku merasakan kesedihan yang membabi buta. Begitu menyiksa. Begitu mendera. Aku kehilangan semangat hidupku. Separuh jiwaku serasa pergi. Serasa tak berada di dunia. Nek Hayati menunjukkanku sebuah gundukan tanah. Kering. Tak ada batu nisan. Aih, bahkan di akhir riwayatmu kau sendiri di tanah kelahiranmu ini. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku memeluk pusaramu. Kubiarkan bajuku kotor. Ada dua pusara di sana. Keduanya tak bernisan. Pada puasa pertama ini, Tuhan memberiku lelucon yang begitu indah. Aku pingsan sambil menangis. Memeluk tanahmu. Ironisnya!  Aku bahkan tidak tahu kalau hari itu kau sedang mengandung. Maafkan, Abang, sayang!


Medan, menjelang Ramadhan 2011.
Oleh Abdilah Putra Siregar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India