Rabu, 10 Desember 2014

AYO, MERDEKAKAN LAPANGAN MERDEKA, BUNG!

Lapangan Merdeka (baca: Tanah Lapangan Merdeka berdasarkan Perda 11/1951), merupakan TITIK NOL kota Medan yang bersejarah. Dibangun sekitar 1870-an. Pernah berganti nama menjadi lapangan Fukuraido pada masa Jepang 1942- Oktober 1945.

Tanah Lapangan Merdeka merupakan lapangan sepak bola pertama di kota Medan. Pernah digunakan sebagai tempat pasar malam berikut upacara-upacara formal semasa Pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, Lapangan Merdeka menjadi tempat diselenggarakannya kejadian-kejadian penting. Misalnya, di situlah T. Muhammad Hassan - Gubernur Sumatera Pertama-  membacakan teks proklamasi Kemerdekaan untuk pertama kalinya di wilayah Sumatera Timur dan diikuti dengan pengibaran sang Merah Putih pada 6 Oktober 1945. Bahkan, Presiden Soekarno, pernah menggunakannya sebagai pertemuan akbar untuk membakar semangat massa dalam peristiwa konsolidasi gayang Malaysia.

Selain itu, juga sebagai lokasi rapat umum rakyat ketika proklamasi, sosialisasi Sumpah Pemuda, dan penyatuan ikrar menolak organisasi PKI pada 1965. Hingga saat ini Tanah Lapangan Merdeka digunakan untuk tempat upacara peringatan kemerdekaan Indonesia setiap tahunnya.

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan kota, fungsi Lapangan Merdeka mendapat tambahan lagi, yakni sebagai ruang terbuka non hijau (rtnh) kota sesuai Permen no. 12/M/PRT/2009. Nah, sejak sepuluh tahun terakhir, TLM mengalami perkembangan yang pesat.  Fungsi kesejarahan dan budaya yang selama ini melekat, kini mulai tergerus oleh fungsi baru oleh konsep pembangunan yang terlalu didominasi pertimbangan ekonomi. Hal itu sangat jelas terlihat dengan bermunculannya bangunan-bangunan permanen yang kini sudah mengapit kedua sisi lapangan, yakni sisi timur dan barat membuat pandangan dari dan ke lapangan ini tak lagi MERDEKA !

Bahkan pembangunan gedung parkir city railink yang di atas telah berderet sejumlah ruko-ruko dari utara ke selatan justru semakin MEMENJARAKAN lapangan tersebut dari sekitarnya. Pohon-pohon Trembesi (Samanea saman) atau dikenal dengan ki hujan dibawa oleh Belanda dari Amerika Latin yang telah berusia ratusan tahun itu yang mengelilingi TLM, sisi baratnya sekarang sudah kurang rindang lagi karena tanahnya tertutup oleh paving block (perkerasan) terutama di sisi Merdeka Walk jalan Balai kota.

Padahal sesuai Permen PU yang dituangkan dalam Perda 13/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kota Medan 2011-2031 bahwa Lapangan Merdeka sebagai ruang terbuka non hijau tidak dibenarkan adanya bangunan perdagangan masif. Artinya berdasarkan UUPR No. 26/2007, tindakan itu telah melanggar pasal 69 dan 70, yang intinya dapat diancam hukuman penjara selama 3 tahun dan denda sebesar 500 juta. 

Ditambah lagi pembangunan gedung parkir railink ini tidak memiliki IMB. Sama halnya dengan Merdeka Walk, akan tetapi Merdeka Walk dan kantor Polsek didirikan sebelum Perda No.13/2011 dengan dasar persetujuan DPRD telah berdiri tegak di sana.

Mengacu kepada amanah UU Perencanaan Ruang yang sudah dituangkan dalam Perda Tata Ruang Kota Medan, Pemko Medan sebagai penyelenggaran pembangunan kota wajib memberhentikan pembangunan parkir railink yang sedang berlangsung. Serta meninjau kembali Merdeka Walk dan dikembalikan kepada fungsi utamanya.

Bagi kita yang peduli dan cinta kota Medan, mari rapatkan barisan untuk bersatu sama-sama melakukan PETISI untuk menghentikan pembangunan bangunan masif dan permanen yang sedang terjadi di lapangan Mereka Medan tersebut.

Berikan Dukungan Anda !!

Kamis, 04 Desember 2014

FLP Lahirkan Penulis Baru

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Forum Lingkar Pena (FLP) merupakan organisasi pengedaran penulis yang bertujuan memunculkan penulis-penulis muda Indonesia melalui pelatihan. Sejak berdiri pada 1997, FLP sudah tersebar di 30 provinsi di Indonesia dan 7 perwakilan luar negeri, diantaranya Mesir, Jepang, Bangkok, dan Arabsaudi.

Nurul Fauziah, Ketua FLP menuturkan FLP setiap tahun rutin menggelar perekrutan untuk merealisasikan visi mereka melahirkan penulis-penulis baru yang memberikan pencerahan melalui tulisan.

Bukan hanya meningkatkan kuantitas, tapi juga meningkatkan mutu dan produktivitas karya anggota sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat.

"Jadi kita bukan cuman memperbanyak anggota tapi juga memberikan pelatihan untuk mengasah kualitasi tulisan para anggota dengan menggelar diskusi rutin setiap minggu, dan mewajibkan anggota rutin berkarya. Jadi kita wajibkan mereka menulis dan saling membaca dan memberikan ide kepada penulis lainnya," kata Nurul.

(Sil/tribun-medan.com)

tulisan di atas dapat pula dibaca di: medan.tribunnews.com/2014/12/03/flp-lahirkan-penulis-baru

Antara Menjadi Editor dan Traveller

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.“ Imam Syafi’i

Rahmadianti Rusdi, atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan Mbak Dee, memang seorang traveler sejati. Senang berpergian untuk menambah khasanah ilmu dan mengenal sosok-sosok baru, yang sekaligus berguna sebagai sarana mencari inspirasi. Begitulah yang beliau katakan di awal pembukaan acara diskusi bersama FLP Sumatera Utara minggu lalu, 30 November 2014, di Rumah Cahaya. Ia menyempatkan berkunjung untuk berdiskusi tentang dunia penerbitan yang memang sudah lama beliau geluti.

Beliau bercerita banyak tentang pengalamannya sebagai seorang editor, di Noura Publishing. Menurutnya, menjadi editor bukanlah hanya sekedar mengedit atau membetulkan tulisan dari seorang penulis. Editor harus memiliki wawasan yang luas, sumber bacaan yang beragam dan banyak. Apabila ingin mengedit sebuah naskah novel maka editor wajib mencari dari sumber-sumber lain yang berhubungan dengan tema novel yang ingin diedit.
Mbak Dee menyampaikan pengalamannya sebagai editor

Lebih lanjut ia menjelaskan, seorang editor juga harus memikirkan pasar yaitu pembaca, jadi bagaimana mengemas sebuah novel atau buku menjadi lebih menarik untuk dibaca dan dibeli, jelas beliau panjang lebar.

Beliau juga memberikan beberapa masukan tentang bagaimana cara menembus dunia penerbitan. “Sebaiknya naskah yang dikirimkan hendaknya memiliki tema yang sedang digandrungi pasar agar lebih mudah dilirik penerbit, dikemas secara lebih simple agar pembaca mengerti isi cerita sebuah novel atau pun tulisan kita.

Lalu mengenai review sebuah novel yang biasa diletakkan di belakang cover buku, janganlah bertele-tele dan terlalu panjang, sebab calon pembaca biasanya tidak akan mau menghabiskan waktu untuk membacanya.

Kalaupun seorang penulis ingin membawa ideologi baru dalam tulisannya, tentu bagus asalkan dikemas dengan gaya penceritaan menarik dan tentu saja kembali pada selera pasar. Atau jika ingin me-recylce kisah-kisah lama untuk anak-anak juga sangat menarik. Terlebih lagi peluang pasarnya sangat terbuka lebar untuk saat ini”, tegasnya.

Di akhir diskusi ia pun memberikan sedikit nasehat yakni, untuk menjadi penulis yang hebat harus terlebih dahulu menjadi pembaca yang baik apalagi jika ingin menjadi seorang editor handal. Pembaca yang tidak hanya sekedar membaca. Namun mampu menelaah bacaan ataupun menemukan isnpirasi dari tulisan tersebut untuk menambah wawasan dan mungkin inspirasi baru. Mulailah membaca, dan harus dibiasakan.


Diakhir kunjungannya, Ia menghadiahi perustakaan Rumah Cahaya buku-buku yang sangat bagus dan tentunya bermanfaat untuk rumah cahaya. Terimakasih Mbak Dee, jangan kapok ya buat kembali berkunjung ke Medan dan mampir ke Rumah Cahaya ;) (intan)


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India