Sabtu, 31 Maret 2012

Nurul Fauziah




Facebook: Nurul Fauziah
Tweeter: @nufazee
Kegiatan:
  1. Sekretaris Umum Forum Lingkar Pena Sumatera Utara periode 2011-2013
  2. Guru B. Inggris
Karya Tulis:
  1. Beberapa karya tulis sudah menghiasi media lokal kota Medan seperti Analisa dan Medan Bisnis
  2. Gue Gak Cupu (GPU, 2010)
  3. Antologi Puisi ‘Nuun’ (Format Publishing, 2010)
  4. Antologi Resolusi 2011 berupa e-book dan bentuk cetak, (Hasfa Publishing, 2011)
  5. Antologi ‘Sungguh, Aku Mencintaimu Karena Allah’ (Qultummedia, 2011).

Isolasi


Huh!
Puihh!
Kotor, bau sekali! Gelap!
Hidungku seakan gatal!
Aku mengamati sekelilingku, kulirik kekanan, debu, kekiri, debu, depan, samping, debu. Kupandangi seluruh badanku, dari kaki, perut, dada, tangan, leher, kepala, aghh, debu, debu dan debu. Oh, seluruh badanku pun kotor. Aku tak tahan mencium aroma ini. Sungguh.
“Tempat apa ini?”, pikirku. Gelap dan kotor. Najis, aku tak rela berada di tempat ini. Siapa yang telah tega mencampakkanku disini. Aku tak berdaya mengingatnya. Sungguh. Aku tak ingin terisolasi di tempat kumuh ini. Bagaimana mungkin, sosok seperti aku bisa berada disini? Aku ini adalah makhluk dari sebuah kota yang selalu membuat manusia terpesona memandangnya. Sesekali terasa dihidungku aroma tak sedap. Oi, betapa.
“Hacuih”! Jijik. Tolong aku. Tolong. Selamatkan aku dari tempat ini. Apa aku narapidana? Memangnya apa yang telah aku lakukan? Apa aku telah membunuh? Apa aku mencuri, merampok? Apa aku telah menculik? Apa aku telah berzina? Apa aku korupsi? Apakah aku menipu? Bagaimana mungkin? Oh, tidak mungkin. Sungguh tidak. Hahahaha, lalu mengapa aku disini?
Tolol. Mengapa aku bertanya pada diriku sendiri, padahal aku sadar diri aku tidak mampu menemukan jawabannya. Dimanapun kucari takkan dapat. Di bawah meja, di bawah kursi, di lemari, di laci, di rak-rak buku, di balik pintu, di balik baju, di balik rok, di balik celana, di rumah pak RT, di rumah pak RW, di rumah sakit, di terminal, di hotel, di mall, di gedung sekolah, di gedung DPR, di gedung MPR, di gedung aparat, atau di Istana Presiden sekalipun, takkan kudapatkan. Atau mungkin di kolong jembatan akan kutemukan? Atau disepanjang aliran sungai Deli dan Babura? Ahgggh, konyol. Bagaimana mungkin?
***
Kulihat sepasang mata melirikku dengan lirikan mengejek. Sekelompok makhluk mondar-mandir di hadapanku memamerkan kebahagiaan mereka, memantatiku. Hina. Seakan ku mendengar bisik-bisik tetangga mengataiku,. Tak begitu jelas. Hanya selalu angin saja. Tetapi, aku yakin mereka sedang membicarakan penderitaan diriku. Sepasang sosok berjubah hitam mencibirku. Alamak, hatiku pedih. Aku tak sanggup menerima keadaan ini. Apakah mereka membenciku? Ataukah hanya perasaanku saja? Tidak, aku yakin, ada benci yang bersemayam dihati mereka. Aku bisa membacanya dari sikap mereka terhadapku, raut wajah mereka ketika menatapku.
 “Agghhh, apa yang terjadi? Mengapa aku tidak ingat apapun?”, teriakku.
Tetapi ada satu hal yang aku ingat. Tempatku bukan disini. Aku ingat sebuah ruangan yang mewah, kasur yang empuk, dan wanita cantik. Ya, aku ingat itu. Dimana? Dimana itu semua? Aku tak ingat.
Aku juga ingat, wanita itu. Dia yang membawaku ke surga itu. Aku ingat tatapan matanya ketika memandangku. Tatapan pertama yang penuh nafsu. Akupun terus menggodanya dengan pesona karismaku, berharap dia akan menaruh hati padaku, lalu dia akan membawaku menikmati surga.
Aku ingat, aku dan teman-temanku selalu memasang wajah manis setiap pengunjung datang. Kami selalu bertaruh, siapa yang laku hari ini? Siapa yang akan dibeli hari ini? Siapa yang akan mengecup surga hari ini? Siapa yang akan menjadi teman tidur, atau sekedar sosok untuk dipandang, dipajang, dinikmati. Oi, oi,oi.
Pada hari itu, wanita itu memilihku. Aku sudah yakin. Pasti. Aku paling menarik diantara teman-temanku. Sungguh aku berbangga hati. Kulambaikan tanganku sebagai salam perpisahan pada teman-temanku. Aku mencibir mengejek mereka. Hahahahaha. Akulah pemenangnya. Aku akan segera menikmati surge kemewahan.
Sungguh dugaanku tak meleset. Aku memasuki ruangan mewah, sejuk, dan nyaman. Malam ini jadi malam pertamaku di ruangan ini, dan aku bertyambah bahagia ketika wanita cantik itu tak hanya menjadikanku sebagai bahan pajangan untuk dinikmati. Aku menjadi teman tidurnya malam ini, semoga seterusnya. Betapa tidak. Bagaimana mungkin aku menolaknya. Kasur empuk itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Tubuhku bertambah hangat ketika wanita itu memelukku. Ada sebuah kedamaian kurasa mengalir di sanubariku.
Esoknya, wanita itu masih memperlakukan aku dengan sangat istimewa. Aku menjadi makhluk paling dimanjakan sedunia. Mungkin. Dia selalu membelaiku, mengelus kepalaku, menciumku, dan memelukku. Ada kehangatan cinta yang kurasa darinya.
Esoknya lagi, diapun masih memperlakukan hal yang sama. Esoknya, esoknya, esoknya, dan ntahlah. Aku tak menghitung setiap detik, menit, jam, dan hari yang telah kami habiskan bersama. Bagaimana mungkin? Tidak mungkin. Aku kan tolol.
Hmm, tidak. Lalu, dimana wanita cantik itu sekarang? Dimana dia? Aku tak menemukannya di tempat kumuh ini. Tidak. Memang tidak mungkin. Tapi, mengapa aku bias disini. Apa dia telah mencampakkanku? Apa dia yang telah mengisolasikanku di tempat kumuh ini? Ya, dia mencampakkanku ketika masih terlelap menikmati kasur empuknya. Mungkin malam itu dia telah menghipnotisku agar tidak bangun sampai dia selesai melakukan misinya. Ah, bagaimana mungkin aku menghakiminya tanpa melihat bukti yang jelas, itu fitnah namanya. Ahghhh.
Ya Tuhan, aku tak mau disini, tak mau. Hatiku sedih, tapi tak setetespun air mata bergulir dipipiku. Oh, betapa.
Sosok-sosok di tempat kumuh ini semakin menjadi-jadi menghinaku. Rasaku. Memekik telingaku. Menorehkan luka yang semakin menganga. Harga diriku seakan luruh. Aku bukan narapidana. Aku bukan pencuri. Aku bukan perampok. Aku bukan pembunuh. Aku bukan penzina. Aku bukan koruptor. Aku bukan penipu. Bukan. Bagaimana mungkin bisa?
Kumohon, jangan pandangi aku seperti itu. Aku ini hanya korban. Korban? Ya, korban nafsu wanita itu. Setelah itu aku dicampakkan begitu saja. Aku yakin. Ah, bagaimana bisa aku menuduhnya lagi, aku tak mau memfitnah.
 “Tolong! Tolong! Tolong!, tolong keluarkan aku dari sini, kembalikan aku kepada teman-temanku, kumohon.”
Ada sesal yang tertoreh di hatiku. Aku tak menyangka nasibku begini. Kalau begini aku akan memasang wajah masam saja waktu itu agar si wanita brengsek itu tak memilihku.
Tiba-tiba tempat kumuh yang gelap menjadi terang.
 “Kreakkk.”
Terlihat dua sosok berdiri, yang satu memegang handel pintu, dan yang berdiri tepat dihadapanku itu sangat kuingat. Wanita cantik itu. Apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka akan mengeluarkanku dari tempat terkutuk ini? Apa mereka akan menyelamatkanku dari isolasi ini?
Oh, syukurlah. Mereka menghampiriku. Kusunggingkan senyumku, senyum yang membuat wanita cantik itu terpesona akan karismaku, tatapan pertama. Kuharap dia akan membawaku menikmati surga lagi.
Ahggh, meleset. Dia membawaku dengan paksa, seakan jijik. Ya, dia jijik dengan keadaanku sekarang. Aku sadar, aku bukan yang dulu. Aku pasrah, terserah dia akan membawaku kemana.
“Hacuih!”
Tempat apa pula ini? Jorok, bukan kotor. Aromanya jauh lebih menusuk. Busuk. Ah, apa riwayatku akan tamat di tempat busuk ini? Dia membantingku. Badanku sakit sekali. Tak sampai patah tulang. Tak mungkin. Tiba-tiba semua gelap, hitam.
***
Aku melihat sosok yang tersenyum padaku. Senyum yang berbeda. Tatapannya pun. Jauh dari tatapan nafsu wanita itu. Aroma segar terasa menggelitik hidungku. Surga, inikah? Aku menatap sekelilingku, sederhana tapi asri. Kupandangi tubuhku. Wow, betapa, betapa. Betapa aku senang aku seakan kembali seperti dulu. Karismaku seakan kembali. Kutatap dadaku, “Teddy Bear”, masih jelas terlihat. Oi, oi, oi.

Oleh: Fitrah Nuraidillah Nst

Kamis, 22 Maret 2012

Kebaikan Kuncinya di Hati

Ini memang bagian dari kehidupan. Bahwa kadang bahkan teramat sering, kita harus berkorban, berbagi dan memperjuangkan sesuatu demi kebahagiaan orang lain. Maka mereka yang melakukan hal tersebut akan dikenang waktu sebagai manusia berhati baik dan tidak egois. Pastilah waktu juga akan mengenang mereka yang tak pernah sekali pun berkorban, berbagi dan memperjuangkan sesuatu demi kebahagiaan orang lain. Lalu waktu dan orang-orang mengakrabi mereka dengan sebutan manusia berhati batu dan egois. Tentu, tak ada paksaan kita harus menjadi yang mana. Semua kembali pada hati. Sebab pada hakikatnya, hatilah yang menggerakkan akal dan amal kita untuk melakukan apa dan bagaimana.

Lalu, beberapa saat kemudian, kita akan bersentuhan dengan nilai keikhlasan. Ya, ternyata melakukan kebaikan itu tidaklah segampang yang dipikirkan. Sulit membedakan antara ikhlas dan tidak ikhlas, antara riya dengan tidak riya, antara sombong dengan tidak sombong dan lain sebagainya. Lagi-lagi, kembali ke hati. Sebab Tuhan pun rupanya tak pernah lengah mengikuti jalan hati kita. Yang abstrak menjadi sangat konkret bagi-Nya. Ah ya, entah mengapa kita sering pula lupa akan hal itu. Tuhan ada di mana-mana.

Hati, dialah kunci kita menemukan apa yang baik dan tidak baik. Ia pun ditakdirkan menjadi penentu apakah seseorang itu baik atau tidak. Tapi fenomena saat ini pun menjadi penghalang bagi kita untuk menilai kebaikan orang lain atau berbuat baik pada orang lain. Hati sering tak sama dengan perbuatan dzahir.

Tapi, ada hal yang mungkin harus kita ingat dan bawa kemana-mana. Allah itu baik pada orang-orang yang berusaha baik pada-Nya dan orang-orang di sekitarnya. Allah itu dekat pada orang-orang yang berusaha dekat dengan-Nya. Dan Allah, sungguh Dia adalah sebaik-baik penilai hati kita. Maka, tak boleh ada keraguan buat kita untuk berbuat baik bagi orang lain. Sebab ternyata Allah pun selalu memberikan award (penghargaan) bagi mereka yang melakukan itu, di dunia dan akhirat kelak.

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. ar-Rahman (55) : 60)

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus (10) : 26)

*Terkhusus untuk mengingatkan diri penulisnya sendiri yang sering lupa – 210212



Oleh: Fitri A.B.


Minggu, 18 Maret 2012

Puisi: Rizky Endang Sugiharti


NYANYIAN LELAKI YANG MENGHITAM /1/
Awan putih bergoyang di langit penuh harapan
Pucuk – pucuk cemara berdaun lembayung
Antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung
Dalam duka berangkat hancur, ada gelap yang menelanku
Sepi yang jahat telah tumbuh alang – alang di hatiku
Di hatiku alang – alang menancapkan akar – akarnya yang berduri

Awan putih menggelincir angin dan racun satu kandung
Dan dia masih diam di lembah yang dalam kabut merah jambu di hatinya
Tapi di hatiku pucuk – pucuk cemara dipukuli angin hitam
Sinar – sinar kuning mencambuki dinding – dinding yang sepi
Tergolek berendam segala mimpi – mimpi yang mengendap

Dan dia masih juga diam
Tapi di hatinya ada hutan dilanda topan
Kata – katanya adalah darah hitam yang menggoncang seluruh aliran darah di tubuhku
Mengutuki birunya kejemuan
Mengutuki debu – debu kiriman angin yang memporak – porandakanku

Bagai pelangi kelabu,
dialah lelaki dimakan dan memuntahkan kutuk bara menyala tanpa air siraman

Batas Kota, 13 Maret 2012



NYANYIAN LELAKI YANG MENGHITAM /2/

Aku berlari dan menengadah ke langit, ada mentari menggigir di atas kepalaku
Aku pun berteriak,
“Tak seorang tahu dahaga getir yang menyayat keceriaanku!”
Aku pun terus merangkak dan mengibas hangat darah di atas bumi yang kucinta
Tiada kuasa lagi menegak
Tapi aku mesti tegak

Namun dia masih saja juga diam, pada angin dingin tak berbadan
Menepi di air sungai menikam mentari
Dia pun bernyanyi yang terluput dari liang luka dan rintih
Biarkanlah dia dengan kabut merah jambu di perutnya,
dan membawanyan ke sungai mengalir pergi jauh
Barangkali dia diperanakkan dari wajah langit angkuh terhanyut di lumpur melumuri

Dan biarkan aku menghadang awan – awan putih berendam
Ratap tangis yang terpampat terkalahkan oleh mimpi gemilang
Berilah jalan pada semangat pagi yang menghilang
Karna aku telah dahaga dengan sinar terang

Batas Kota, 13 Maret 2012

Sabtu, 17 Maret 2012

Puisi: M.N. Fadhli


Sekilas Iklan Pariwisata

Maukah kutawarkan sebuah wisata yang paling memesona
Lengkap dengan berjuta kenikmatan di dalamnya

Cocok bagi sesiapa saja

:petualang sejati, peselancar ulung, pencinta keheningan, perindu kedamaian

atau mungkin yang peduli kesehatan

Tak lain tak bukan

: Sholat


Silahkan saja

Coba bila tak percaya


Rumah Cahaya, Januari 2012



Sajak Putih-Hitam

Tidak lah putih itu adalah putih bila tak ada hitam
Dan hitam tidak lah hitam bila tak ada putih

Setitik putih di atas hitam tak lah sejelas hitam di atas putih


Putih-hitam

Kan terus tak sering tak sejalan

Mencari takdirnya masing-masing


Putih-hitam

Kan mengalir di tiap ruas kehidupan

Saling berebut untuk jadi pemenang


Putih-hitam

Tak kan pernah berdamai walau mereka saling membutuhkan


Rumah Cahaya, Januari 2012



Refleksi Musafir

Sering lupa mungkin bahwa kita hanyalah musafir
Terdampar di perantauan syarat fatamorgana

Lazimnya cuma singgah sebentar saja

Bukan untuk merebah badan dan mengatupkan kelopak mata

Sekali-kali bukan

Bagaimana hendak memetik hasil panen

Bila benih pun tak mau kita tanam


Ayolah, apa yang hendak dibawa pulang kelak ke kampung kita?


Rumah Cahaya, Januari 2012

Jumat, 16 Maret 2012

"Kyo" Rizki Handayani



Assalamu alaikum
Memperkenalkan aku rizki handayani tapi kerab dipanggil kyo. Jangan Tanya kenapa bisa berubah wujud menjadi kyo.  Gadis pujakesuma kelahiran Medan, 01 februari 19 tahun yang lalu merupakan anak perempuan semata wayang ke empat dari 4 bersaudara. Menyukai hal – hal berbau traveling yang memacu adrenalin, menulis, dan melakukan eksperiment – eksperiment dibidang kuliner.

Mengenal dunia menulis sejak tahun 2009 lalu, terbukti setelah menyabet juara di lomba cipta cerpen remaja yang diadakan BAPERSDA 2009, lomba baca puisi tingkat remaja 2010. Dan beberapa karya yang dimuat di surat kabar lokal(2010-1011).  Tak hanya itu daku juga pernah memenangkan beberapa lomba mading tingkat Kota dan Propinsi. Dan memenangkan beberapa perlombaan lintas alam.

Saat ini selain sebagai Sekretari div. Kadri FLP SU, daku juga bergeliat di organisasi Pecinta Alam Camp Rasamala sebagai instruktur,  staf pendidik di Sanggar Belajar Cerdas, dan disain grafis di R.A.Grafika. bercita – cita menjadi ahli gizi, dokter hewan, dan pengusaha. Ngoyo amat ya cita – citanya.

Merupakan tipe gadis yang supel, periang, sedikit tomboy. Tidak menyukai hal – hal yang cengeng. Karena kehidupan bukan untuk ditangisi atau diratapi tapi untuk di taklukan. Dengan niat karena Allah SWT tentunya.  SemangkA semuanya…
Wassalamu alaikum

Jaka Satria



Assalamualaikum..
Jadi ini adalah sebuah profil diri tentang Jaka Satria/Jackly Steven/Satria Muslim. Hm, sebenarnya aku sedikit merasa gimana... gitu, karena aku hanya anggota FLP yang baru beranjak remaja di dunia kepenulisan. Jadi, masih merasa agak minder sih (jujur-jujur aja nih). Kalau mengenai “aku” lebih bergiat dan bernafsu untuk terus mendalami dunia sastra, khususnya puisi. Alasannya sih simple aja, dunia kesusasteraan banyak berpengaruh dalam mengubah dunia, jadi ya ingin mengubah dunia (hehehe, ini kan gak simple ya...).

Hm, kalau mau tahu lebih dekat dengan aku melalui tulisan kunjungi aja blog http://gelas-gelaskaca-js.blogspot.com/

Aku anak asli, lahir dan besar di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Jadi, kalau mau tahu tentang Sibolga/Tapteng boleh deh nanya-nanya ke aku, yang jelas itu adalah salah satu kota andalan pariwisata Sumatera Utara.

Hm, untuk sementara segini aja ya, kalau kebanyakan harus bayar. Hahaha, bercumtung koq alias bercanda mencari untung....
Wassalam.

Rabu, 14 Maret 2012

Pemulung Cilik dan Dua Botol Susu


“Sreettt…srettt….klntang klntung”, suara berat goni yang diseret berpadu dengan suara kali kaleng berhimpitan di dalam goni, terdengar ribut membelah malam. Sosok kecil itu seperti keberatan beban dan tidak sebanding dengan berat tubuh mungilnya. Malam itu ia baru pulang dari memumunguti kaleng bekas dan  ia menyeret langkahnya menuju tempat yang ia sebut rumah. Rumah berdinding tripleks tipis disekelilingnya. Hanya satu ruangan, disitulah Bili dan kakaknya tinggal—memulai dan mengakhiri hari-hari.

“Baru pulang Bil, uhuk…uhuk ?”, tanya kakaknya yang terbangun mendengar kedatangan Bili dan kaleng-kaleng ribut itu.

“Iya kak, kakak gimana ?sudah diminum obatnya?”

Kakak Bili hanya membalas pertanyaannya dengan gumam dan lalu tidur kembali dengan sesekali batuk dan mengeluarkan bunyi “ngiikkk”.

Bill terduduk kelelahan di bangku usang dekat pintu triplek rumahnya dan memandang lama tarian api dalam lampu teplok di atas meja kecil.

Bani dan Bili adalah dua kakak beradik yang ditinggal ibu merantau ke Arab Saudi menjadi TKW dan sudah tiga tahun tidak pernah pulang apalagi memberi kabar kepada mereka, sedangkan Ayah Bani dan Bili tidak tentu keberadaannya, terkadang pulang ke rumah triplek mereka dalam keadaan mabuk berat dan wajah penuh lebam lalu keesokan paginya Ayah sudah dijemput kembali oleh teman-teman Ayah yang sangar dan kekar, berpenampilan serba hitam, Bili dan Bani tidak tahu menahu pekerjaan ayah mereka apa semenjak ditinggal ibu merantau. Bili dan Bani hanya tahu dari mulut tetangga bahwa Ayah jadi tukang pukul di tempat Mami Gina, kompleks rumah bordil dekat tempat tinggal mereka.

Tidak seharusnya nasib membawa Bili dan Bani berakhir di tumpukan kaleng-kaleng rongsokan ini. Betapa Bili ingin sekali bisa melanjutkan sekolahnya di madrasah tsanawiyah dan mewujudkan impiannya menjadi seorang ustadz, tapi apalah daya Bili harus putus sekolah sampai kelas 5 SD saja semenjak putus komunikasi dengan ibunya dan ibu pun tak pernah mengirimkan uang lagi, mengharapkan Ayah adalah hal yang tidak mungkin.  Kini Bili hidup dengan Kakaknya Bani yang beberapa bulan terakhir divonis Buk Nita, dokter puskesmas bahwa Kak Bani mengidap penyakit TB (Tuberculosis), dan penyakitnya semakin hari semakin parah, Bili terlambat mengantar Kak Bani ke puskesmas hingga akhirnya Kak Bani diberi obat merah dan harus rutin di minum, memang sih gratis, namun jika Kak Bani hanya minum obat saja, tanpa ada makanan bergizi yang membantu mempercepat kesembuhannya dan menaikkan berat badannya yang sekarang turun drastis, ya sama saja. Dulu, sebelum Kak Bani  sakit, ia sempat bekerja di pabrik penggilingan makanan ternak, mungkin dari sana Kak Bani terserang penyakit ini, dari debu serbuk pakan ternak dan asap dari mesin pabrik, ditambah lagi Kak Bani sering pulang larut malam karena tuntutan kerja yang tinggi. Kini tak banyak yang bisa dilakukan Kak Bani selain istirahat total di rumah, tubuh gempalnya habis diserang penyakit. Bili  tak sanggup melihat keadaan kakak dan itulah yang menjadi beban Bili selama ini sehingga ia harus menjadi pemulung kaleng bekas, bahkan hampir semua pekerjaan dia lakoni, mulai dari menjadi penyemir sepatu, ojek payung ketika musim hujan tiba, loper Koran bahkan tak jarang Bili juga sering mengamen di persimpangan lampu merah. Satu hal yang amat dia pegang teguh dan ini ia dapat dari nasihat Bang Sulaiman pemuda penjaga masjid saat selesai Sholat Jum’at dan Bili sedang berada disana untuk menyemir sepatu jama’ah masjid yang telah selesai sholat. Bang Sulaiman bilang bahwa ‘Sesusah apapun hidup, jika kita masih mampu dan diberi fisik yang sempurna maka,  tangan diatas lebih baik dari tangan di bawah’.  Yah, selagi Bili mampu, Bili akan lakukan semua yang Bili bisa untuk menyembuhkan kakaknya tanpa harus mengemis, karena kata Bang Sulaiman lagi, ‘kita masih punya harga diri, dan kita harus menjaga harga diri itu agar tidak dihina dan dipandang sebelah mata oleh orang lain”. Nasihat Bang Sulaiman begitu menyemangati Bili untuk memandang hidup lebih optimis lagi, walau terkadang hidup berlaku tidak adil pada Bili dan Bani.

Suatu hari seperti biasa Bili kembali melakoni kegiatan rutinnya setelah pagi menjadi loper Koran, siangnya ia berkeliling mencari kaleng bekas. Ada sebuah lokasi yang menjadi favorit Bili untuk mengumpulkan kaleng bekas, yaitu sebuah komplek perumahan, walau terkadang Bili harus main kucing-kucingan dengan satpam perumahan, namun mau bagaimana lagi rezeki Bill ada pada kaleng-kaleng itu.

Rumah itu tidak begitu besar, hanya saja Bill selalu memperhatikan rumah itu, pasalnya rumah mungil nan asri yang masih berada di komplek perumahan tempat Bill mencari kaleng-kaleng bekas itu penghuninya selalu terlihat berlangganan susu, tepatnya susu sapi asli yang dijual oleh orang berkulit hitam, menggunakan sorban dan berteriak “Susssuuuu”, jika tukang susu datang, maka tukang susu meletakkan dua botol susu segar di atas meja beranda rumah itu. Mendengar susu sapi, Bili jadi teringat, pesan Buk Nita bahwa Kak Bani mesti diberi makanan dan minuman bergizi dan Buk Nita menyebut susu sapi, dengan minum susu secara rutin maka, Kak Bani akan sehat kembali. Tak berapa lama tukang susu berlalu dari hadapan Bili. Bili masih berperang dengan nurani dan pikiran buruknya, Bili berniat mencuri susu botol itu demi kesembuhan Kak Bani.

Suasana rumah sepi, hanya sesekali angin sore bertiup sejuk, namun angin sore itu terasa pekat. Mengucur keringat disekujur tubuh Bani, nasihat Bang Sulaiman sirna sudah. Bani mengendap-endap memasuki pekarangan rumah dengan mudah, karena pagar besi bercat hijau itu tidak terkunci sama sekali dan terbuka lebar. Bili dengan lihai sudah sampai di meja beranda dan kini dua susu botol itu sudah dihadapan matanya.

“Maahh…maahhh”, suara anak kecil memanggil mamanya datang dari garasi samping rumah. Bili terkejut bukan main, Bili gelagapan dan reflek menggenggam dua botol susu, panic, dan langsung bersembunyi di dalam rumah, bingung mau bersembunyi dimana Bani pun memilih bersembunyi di sebuah kamar mungil, dan langsung menuju ke bawah kolong tempat tidur sambil memeluk susu untuk Kak Bani.

Bili ketakutan luarbiasa, seumur hidupnya belum pernah ia senista ini mengambil sesuatu yang bukan haknya. Peluh bercucuran, makin erat saja ia memeluk botol susunya. Kepanikan Bili berbuah kambuhnya batuk yang ia derita dan sembunyikan dari Kak Bani. Bili juga mengidap TB. Bili menahan sekuat tenaga untuk tidak batuk, sepertinya bakteri TB tidak kompromi dengan Bili, Bili batuk sejadi-jadinya dalam diam, Bili makin membekap mulutnya sendiri, cairan merah mulai membanjiri dekapan tangannya. Botol susu perlahan yang ia peluk erat pun mulai melonggar dari pelukan Bili dan menggelinding serta merta berhenti di sepasang kaki.

Oleh: Nufa Zee

Selasa, 13 Maret 2012

Fitri Amaliyah Batubara



Tentang menulis, sungguh, aku belum ada apa-apanya. Masih harus terus belajar, belajar, dan belajar. Begitu pun, Alhamdulillah, karya-karyaku (puisi, artikel, resensi buku, dan cerpen) telah diterbitkan di media massa di kota Medan sejak 2005 hingga sekarang. Karya-karyaku pun terangkum dalam beberapa buku antologi. Diantaranya, Antologi Puisi FLP Sumut ‘Nuun” (Format Publishing, 2010), Antologi Puisi Kasih “TigaBiruSegi” (Hasfa Publisher, 2011), Antologi Puisi dan Cerpen “Rumah Air” (Leutika Prio, 2011), Antologi Kisah Nyata “Scary Moment #2” (Indie Publishing), Antologi Surat Terakhir Untuk Planet Mars #5,  Antologi Kisah Nyata Deg-Degan “Ini Bukan Kisah Cinderella” (Format Publishing, akan terbit), dll. Di perjalanan hidupku, sempat pula aku memenangkan beberapa perlombaan menulis dan menjadi pembicara di beberapa event atau training kepenulisan. Yang pasti, semua kebahagiaan di hidupku tentu saja tidak terlepas dari kebaikan Allah Yang Maha Pengasih.

Ah ya, aku penyuka warna biru (segala yang berbau biru). I’m not the type of people are introverts but not the type of people who are too extropert too. I will always try to put all the appropriate place. Bersemangat dalam mengejar dan mencapai setiap impian dan cita-cita. Suka kesederhanaan dan sesuatu yang apa adanya. Yes, that’s me. 



Senin, 12 Maret 2012

RIN: Zaitun yang Tercemar

Kitakita Teramedia Present:
Novel perdana Adi Dharma Al Banjari
RIN, Zaitun yang Tercemar
Harga : Rp.25.000
Pemesanan Hubungi
08192115482 (Kitakita teramedia)
087891747551 (Adi Dharma Al Banjari )




Rin, Zaitun yang Tercemar
Mendadak Rin ingin muntah saat melihat benda yang ditarik dari pinggang Obit. Mencoba menahan agar isi perutnya tidak benar-benar keluar. Din mengangkat tinggi-tinggi benda itu. Tertawa keras sekali. Benda yang diangkat Din itu adalah ginjal.
“Kau harus mengunyah ini.” Seketika Din berlari ke arah Rin. Menyeringai mengerikan. Rin panik. Tapi tak sempat berdiri untuk lari.
“Kau mau makan ini kan?” Din sudah berada di depan Rin.
Rin menggeleng keras. Menutup matanya. Bisa-bisa ia muntah kalo berlama-lama melihat ginjal yang masih berlumuran darah itu.
“Ayo makan!”
Rin menggeleng makin keras.
“Makan!”
Rin merasakan bau anyir mulai menusuk hidungnya.
“Makaaaan!”
“Tidaaaaak!”

Puisi: Hidayati Khairani


Di Ujung Nantiku


Izinkanku bercengkrama kepada sajak yang menyematkanku dengan rindu
Ketika jeda menyeberangkan kita
Tak usah galau
Kala hujan jatuh pun
Meski dalam diam
Ia masih mengingatmu, mengingat janji-Nya

Temui saja hujan jika rindu itu juga menikammu
Pada butir-butirnya terselip sajak
Perihal do’a tentang mimpiku
Mimpi kita
Lantas, apa yang kita risaukan?

Rumah Cahaya, 21 Ramadhan 1432 H



Senja Bersaksi


Kala senja turun
Pernah kuceritakan kepadamu tentang sajak kita
Menyematkan sebentuk asa di celah langit

Tak perlu tanya sebab aku masih disini
Hanya ingin belajar setia pada sajak yang kuselipakan di rinai hujan kemarin
Dan kau pun tahu itu

Rumah Cahaya, 12/09/2011

Muhammad N. Fadhli



Minggu, 11 Maret 2012

Puisi: Cipta Arief Wibawa


Di Negeri Sana

Di negeri sana Ramadhan disambut dengan ceria
Gadis-gadis berlomba menutup kepala dengan kain yang telah berkarat di lemari
Para pemuda sejenak memakai baju koko ditambal rias asap
Saat tarawih tiba, Imam dengan lantang mendengungkan ayat Tuhan
(Sementara di halaman bocah-bocah mengeja tasbih dengan petasan dan api di tangan)

Di negeri sana Ramadhan disambut dengan suka-cita
Fajar belum sempurna namun shaf telah lurus ditata
Ah, waktunya puasa. Beberapa kelamin mulai menari di atas kepala
Pada Shubuh yang buta muda-mudi larut dalam manis pahala dunia
“Amboi,” kata lampu jalan di pinggir kesadaran

Di negeri sana Ramadhan memang tak pernah terlupa
Kalaupun ada yang lupa, paling hanya secuil kesadaran
Atau mungkin sebongkah keimanan
Tak apa…
Sebab ini hanya segurat pemeo di negeri sana
Bukan di negeriku?
Rumah Cahaya, 01/08/2011


Hikayat Sunyi

Senja telah retak di ujung barat
Meninggalkan hujan yang masih setia menyalakan nikmat
Jauh di bawah celoteh azan mulai bersenandung
Pohon-pohon menundukkan kepala
Gesek mesra dedaunan khusyuk menyanyikan rapal doa-doa

Dengan tarik nafas yang diatur sedemikian sempurna.
“Ini tetap sebentuk sunyi,” ujar tembok mesjid
pada wajah-wajah kusut sajadah. Seratus peluru dzikir pun ditembakkan,
begitu bising. Kebanyakan menyeruak dari mulut-mulut penuh borok dan nanah
Langit pecah

Masih di bawah kubah yang sama.
Detik dan almanak tergopoh berlari menyusul musafir waktu
Tinggal kunang-kunang yang setia menjaga malam
“Ini memang sunyi..,” gumam tembok mesjid….
Lagi
Rumah Cahaya, 01/08/2011


Tentang Asa di Seputaran Senja

: Ritari
Pada senja karang
Kita tertawa riang
Berbincang tentang detik yang disunting debur ombak
Di ujung horison anak camar belajar menangkap ikan lewat bola matamu
"Kapan kita mengayuh sampan berdua?" Tanyamu pada ujung cerita 
Kunyalakan angin pasang di hulu jilbabmu
Lepas Ramadhan lalu kueja tafsir ayat-ayat janji

Kau tersipu. Mata cokelatmu menjelma pelangi
Rumah Cahaya, 01/08/2011

Sabtu, 10 Maret 2012

Puisi: Jaka Satria

Ungkapan Cinta di Malam Pertama


 Tuhan,
Aku hanya ingin bercerita tentang orang yang aku cinta
ketika malam tiba, nanti
kuingin sebuah doa terucap dari lisan
dan terus memanjang menjadi sebuah puisi
tentang pertemuan nanti.
Aku telah berjanji akan datang ke tempat yang seorangpun tak tahu
dengan seutas senyum manis dari bibir malaikat maut
untuk meminta mati hadir padaku
 akan kugandeng menuju tempat aku selalu melepaskan rindu padaMu

tapi tunggu sebentar,
Aku ingin mengecup kening mereka yang menyayangiku
Dan. aku juga ingin memeluk tubuh orang yang kusayang
nanti, agar mereka tersenyum untuk selamanya

Rumcay (Malam Sunyi 01.00), Maret 2012





Fiat Sungai pada Kekasih



Telah hilang batu-batu kekar yang menyaring alir sungaiku
menyatu dengan gedung-gedung tinggi di tanah rapuhku
mengoyak detak nadi dan jantungku.
Kemana harus kualirkan deras air ini,
terus mengeruh dikorek sampah sesat
bersama hujan dan bangkai ikan.
tanganMu Kasih
Basuhlah ke tubuhku, agar mata mereka tersundut
lalu menangisi nasibnya.
Hukumlah aku, seberat sangsimu membelah arusku
agar aku muntah berleakan ke tubuh mereka.
biarkan aku teler
biarkan aku lupa diri
seperti setan merasuki, agar mereka sadar bahwa aku masih punya harga diri.

Rumah Cahaya, 2011




Materi Kita



Mari kita ganti materi hari ini
nyanyikan sebuah amplitudo dalam khazanah cinta
bersama sujud gelombang longitudinal
bawakan selembar catatan momentum parsial yang kita simpan dalam laci kehidupan
oh, kau sudah tahukan?
sebab aku melihat wajahmu tak lagi sebingung pertama kali maju ke depan
menyelesaikan soal yang tercantum di dinding kekeliruan,
marilah. Sambut jemariku menggoreskan rumus kelahiran faktorial mendatang
agar tak ada lagi yang mengecap bahwa materi ini rumit dan sulit dimengerti
mari berganti materi


Oleh: Jaka Satria  
Rumah Cahaya, 2011

(Terbit di Waspada 10 Maret 2012)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India