Jumat, 28 September 2012

Selamatkan Lisan dari Petaka


            Lisan adalah anugerah Allah yang patut kita syukuri sebab tanpa lisan kita tidak dapat berbicara sedikitpun. Meski ukurannya kecil namun perannya begitu penting bagi kehidupan kita. Betapa tidak, lisanlah yang menghantarkan kita ke surga atau ke neraka.

            Lisan tak ubahnya pedang. Apabila kita menggunakannya dengan benar maka ia bisa menjadi perisai bagi kita, namun jika kita salah dalam menggunakannya maka ia justru menjadi boomerang bagi kita. Itulah mengapa Rasullah SAW sangat menekankan kepada umatnya untuk benar-benar memelihara lisannya.

            Dari Sufyan Bin Abdullah Ats-Tsaqofi, Dia berkata, “Saya telah bertanya, ‘Wahai Rasullah, katakanlah kepadaku satu urusan untuk aku jadikan pegangan,’ Rasullah bersabda ‘Katakanlah Rabbku adalah Allah, kemudian istiqomahlah!’ Aku berkata, ‘Wahai Rasullah, sesuatu apakah yang paling engkau takutkan dariku?’ Kemudian beliau memegang lidahnya dan bersabda, ‘Ini’ (Lisannya).” (HR. Tirmidzi)

            Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa lisan adalah sesuatu yang memiliki bahaya besar bagi kita. Sampai-sampai Rasullah merasa takut kalau kita salah dalam menggunakannya. Dan diam merupakan perkara yang lebih baik jika kita tidak bisa berkata yang baik.

            “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (Muttafaq ‘alaih)

            Bahaya lisan tampaknya tak begitu disadari oleh pemiliknya. Buktinya kita jarang sekali menyadari gerak lisan kita. Hanya dalam hitungan detik lisan kita mampu mengeluarkan berbagai kata, entah itu baik atau tidak. Lalu lisan yang bagaimanakah yang mendatangkan petaka?

  1. Menyakiti Tetangga
Dari Abu Huroiroh RA, ia berkata: Ada seorang lelaki mengatakan, “Wahai Rasullah, si fulanah terkenal banyak sholat, puasa dan sedekahnya. Sayangnya, ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasullah bersabda, ‘Dia di neraka.’ Lelaki itu berkata lagi, ‘Wahai Rasullah, ada lagi si fulanah, dia terkenal sedikit puasa, sedekah, dan sholatnya. Tetapi ia suka memberi sedekah walaupun hanya sepotong roti dan tidak suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.’ Beliau bersabda, “Dia di surga.” (HR. Ahmad)

            Inilah perkara yang sering kali kita lupakan. Bahwa Islam bukan hanya akidah, tetapi juga ibadah, akhlak, serta muamalah (Cara bergaul). Ibadah yang banyak tidak menjamin diri kita ke surga, pun sebaliknya ibadah yang menurut kita sedikit belum tentu mengantarkan kita ke neraka. Subhallah. Di sinilah kita ditutuntut untuk bertawadzun (Seimbang) dalam megamalkan seluruh perintah Allah baik dalam konteks ibadah maupun akhlak. Lagi-lagi lisan memiliki peran penting dalam ibadah dan akhlak seseorang. Sempurna ibadahnya namun sayang ia lupa dengan benda yang Rasul sudah memerintahkan untuk memperhatikannya. Semoga kita terhidar dari lisan seperti ini.

  1. Mengghibah Orang Lain
Rasullah SAW pernah ditanya tentang pengertian ghibah kemudian beliau menjawab, “Engkau menyebut saudaramu dengan perkara yang tidak ia sukai.” Si penanya kembali bertanya “Bagaiamana kalau kenyataannya ia memang demikian?” Beliau bersabda “Jika benar ia seperti yang kau katakan, engkau telah mengghibahnya. Jika tidak, maka engaku telah memfitnahnya.” (HR. Tirmidzi)

Dua petaka mengancam ketika kita membicarakan orang lain. Pertama petaka akibat menggunjing, kedua petaka fitnah yang nyaris tak bisa kita hindarkan ketika menggunjing orang lain. Allah telah mengingatkan kita:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]


  1. Meng’kafir’kan orang lain dan berdakwah tanpa amal
Fenomena menyedihkan saat ini, dimana kita sesama umat Islam dengan mudahnya mengupat sauadara seakidahnya dengan kata “Kafir” padahal belum tentu ia lebih baik dari orang yang dikatakannya kafir.

“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya kembali dengan menyandang kekufuran itu.” (HR. Bukhory-Muslim)

Demikian pula halnya dalam berdakwah, acapakali kita lalai dengan apa yang kita sampaikan. Kita mengajak orang lain untuk berbuat baik tetapi kita sendiri lalai dalam pengamalannya. Tiada petaka yang lebih buruk dari petaka ini.

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (Ash-Shaf: 2—3)

Kini jelas bagi kita tiada bahaya yang lebih besar dari bahaya lisan. Namun di sisi lain lisan jualah yang dapat mengantarkan kita ke surga. Yaitu lisan yang terhindar dari perkara buruk dan senatiasa berdzikir. Berdzikir adalah suatu perkara yang juga mudah diucapkan oleh lisan kita. Banyak sekali kalimat-kalimat yang mudah kita ucapkan namun memiliki nilai besar di sisi Allah Ta’ala. Diantaranya:

“Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ada dua kalimat yang dicintai oleh Allah, ringan di lisan, dan berat ditimbangan: (yaitu bacaan) subhaanallaahi wa bihamdihi subhaanallaahil ‘adzim [Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, Mahasuci Allah Yang Mahaagung]” (HR. Al Bukhari)

Dan ada kalimat yang benar-benar akan menyelamatkan kita dari neraka jika kita bersungguh-sungguh dalam memaknainya. Yaitu kalimat “Laa ilaha illallah Muhammadar rasullah.

           Sekali lagi hanya ada dua pilihan bagi kita, berkata yang baik atau diam. Dan mari kita bahasi lisan kita dengan dzikir kepada Allah.


Allahu Musata’an. Wallahu Ta’ala Bish-showwab.

Oleh: Fitri Arniza
#Penulis adalah Tholibat Ma’had Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah Medan
 dan Anggota FLP Sumatera Utara.




Selasa, 25 September 2012

Pemimpin Kafir


Baru-baru ini, Sang raja dangdut Rhoma Irama dipanggil oleh  Panwaslu DKI Jakarta. Terkait dengan isi khutbahnya yang dipandang oleh salah satu jemaah mengandung unsur SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Ceramahnya disebut-sebut menyudutkan pasangan Jokowi-Ahok selaku kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Dalam khutbahnya, Rhoma menjelaskan bagaimana memilih pemimpin dalam ajaran Islam. Ia menegaskan bahwa sebagai umat muslim adalah haram hukumnya memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir. Hal ini disampaikannya berdalilkan kalam Allah dalam surah An Nisa’ ayat 144 yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"

Dalam bahasa Arab, kata wali di sini bermakna "teman yang akrab", juga bermakna ’pelindung atau penolong’. Seorang pemimpin merupakan pelindung dan penolong bagi rakyatnya.

Tokoh yang bernama asli Raden Oma Irama ini dikatakan melanggar UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pertama, Pasal 116 ayat 1 soal kampanye di luar jadwal. Kedua, Pasal 116 ayat 3 tentang penggunaan tempat ibadah untuk kampanye. Ketiga, Pasal 116 ayat 2 terkait menghasut menghina seseorang berkaitan dengan SARA. Jika terbukti bersalah, Rhoma bisa divonis hukuman penjara maksimal 18 bulan

Terkait ayat 1 soal kampanye diluar jadwal, menurut pengakuan Rhoma ia bukanlah juru kampanye dari tim Fauzi Bowo. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak menerima sepeserpun dari tim kampanye tersebut. Imam Nahrawi, Sekretaris Jenderal DPP PKB, juga menambahkan bahwa kehadiran Rhoma Irama di Masjid Al Isra adalah dalam rangka safari Ramadhan, bukan dalam kapasitas sebagai tim sukses salah satu kandidat.

Adapun kampanye pemilu yang umum dilakukan biasanya paling tidak membawa nama partai, nama calon atau atribut-atribut kampanye. Faktanya dalam ceramah yang dipermasalahkan tersebut, toh tidak ada hal yang demikian. Jadi pada saat itu Rhoma tidak bisa dikatakan sedang berkampanye.

Adapun ceramah tarawih yang dimaksud, memang benar disampaikan di mesjid, yaitu di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada Minggu 29 Juli lalu. Terkait ayat 2 di atas, jelas Rhoma bukan menggunakan mesjid untuk berkampanye, melainkan untuk berdakwah. 

Sebagaimana telah diketahui, isi ceramah beliau membahas tentang bagaimana memilih pemimpin dalam Islam. Beliau menyampaikan firman Allah yang melarang keras seorang muslim untuk memilih orang kafir sebagai pemimpinnya.

Dalam hal ini Rhoma Irama hanya menyampaikan risalah-Nya. Ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk itu. Karena akan menjadi dosa bagi orang-orang yang tahu jika tidak memberitahukan pada yang tidak tahu. 

Pertanyaanya adalah, apakah jika seorang muballigh (pendakwah) berdakwah dan menyampaikan ajaran Allah di rumah Allah, merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum? 

Terkait menghasut, menghina seseorang berkaitan dengan SARA seperti pada pasal 116 ayat 2 di atas, hingga kini belum dipastikan apakah benar dalam ceramahnya tersebut, ayah pedangdut Rhido Rhoma ini terang-terangan menghina seseorang yang disebutkan namanya secara jelas. 

Saat ditemui di Gedung Panwaslu DKI Jakarta, Senin, (06/08) lalu, Rhoma menyatakan bahwa ia hanya ingin lebih terbuka. Seperti dikutip dari detik.com, " Makanya saya bilang, ini bukan unsur SARA. Kalau saya mengatakan Jokowi itu Jawa agama Islam, Fauzi Bowo sukunya betawi, Islam, Ahok kan China dan Nasrani, itu dalam rangka keterbukaan. Ini saya rasa bukan SARA. Karena rakyat perlu tahu, ini era keterbukaan."

Namun Rhoma menegaskan bahwa ia tidak pernah menjelek-jelekkan pasangan Jokowi-Ahok. Ia bahkan sangat menghormati mereka. Tetapi jika urusan memilih pemimpin, Ia tetap tidak akan memilih pemimpin yang tak seiman.

Siapakah orang-orang kafir itu?
Kata "kafir" yang kontroversial ini, sebagaimana yang telah dihimpun oleh penulis dari berbagai sumber, didefinisikan dalam banyak makna. 

Seperti disebutkan dalam indonesia.faithfreedom.org/wiki. Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non-muslim, karena ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang bermakna ingkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman. Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah. Atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari Islam).

Dari segi istilah, kafir adalah orang yang mengingkari, menentang dan menolak kebenaran dari Allah Swt yang di sampaikan oleh Rasul-Nya. Sejalan dengan defenisi dari KBBI, yaitu orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini kafir berarti non-muslim. Jadi kata "kafir" yang selama ini kerap berdengung, bukan identik dengan penghinaan, melainkan lebih kepada pembedaan dari kaum muslim.

Dalam Alquran sendiri, penjelasan tentang kafir pun beragam. Seperti dalam penggalan surah Al-Ma’idah ayat 44, "...Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." Dalam konteks ini kafir dapat berarti tidak hanya non-muslim saja.

Sedangkan firman Allah dalam Surah Al-Kafirun ayat 1-6, jelas-jelas m ditegaskan bahwa non-muslim adalah kafir.

"Katakanlah, ’Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.’"

Orang-orang kafir adalah musuh Allah
"Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir." (Q.S Al-Baqarah ayat 98)

Adakah kita berani menjadi musuh Allah Sang Maha Pencipta? Mengikuti perintah-Nya saja pun kita masih keteteran. Alangkah ngerinya jika kita terang-terangan mendeklarasikan diri menjadi musuh-Nya.

Umat Islam diperintahkan untuk selalu menghormati agama apapun. Namun dalam konteks memilih pemimpin Allah melarang dengan tegas untuk memilih yang tidak seiman.

Yang jelas sebagai pribadi muslim, setiap orang yang beragama Islam adalah wajib hukumnya menjalankan syariat Islam. Karena hal tersebut adalah perintah Allah swt. Melanggar syariat Islam berarti melanggar perintah-Nya. Dalam hal berpendapat, negara kita membebaskan aspirasi rakyatnya, namun dalam hal syariat Islam tidak ada tawar-menawar.

Dalam hal ini Rhoma Irama hanya menyampaikan Ayat-ayat Allah. Telah ia paparkan penjelasannya. Selanjutnya kembali pada pribadi kita masing-masing. 

Hukum yang dibuat manusia tentunya tidak bisa dibandingkan dengan hukum yang dibuat oleh pencipta manusia. Jika undang-undang Pemilu tidak sejalan dengan undang-undang Allah, maka kembali lagi kepada kita. Apakah kita akan memilih taat pada perintah Allah, atau mengingkari perintah-Nya dengan segala konsekwensinya di dunia dan di akhirat.

Wallahua’lam bi Shawab.

Ditulis oleh Pertiwi Soraya
Penulis aktif di Forum Lingkar Pena Sumatera Utara (FLP-SU)
Dimuat dalam Mimbar Islam, Harian Analisa, Jum'at  10 Agustus 2012

Puisi Arie A. Nasution


Kepergian I
sesaat setelah kepergianmu, air menitik di dadaku. lalu tumpah, mengalir dan menderas. seperti air yang terjun dari talang-talang rindu. menuju paritan nadi yang mengental. bersatu dengan darah. bermuara di wajah sendumu. oh, kau hilang tanpa titik yang ragu.
ada khawatir yang menggumpal dalam gelisah. tak jua kau menyadarinya. petang kian muram. genangan air masih mengalir dalam lekuk tubuh yang entah: remuk. tanpa berpaling, kau pun hilang. 

Kepergian II
aku hendak berpaling namun basah menemui dan menghalangi. jalanan di depanmu tetap kering karena kuyup yang kau hisap, masih berada dalam lekuk matamu. tak nampak. hilang arah.
jangan berpaling! aku takkan lagi melihatmu dengan mata di wajah. hanya mata dalam kenangan yang mencurah. yang lalu jadi ingatan mata. sementara waktu, berpergian dengan sendirinya. kau dan aku, urung menemaninya. hening.

Kepergian III
permisi yang kau sampaikan oleh dara menuju kediaman, telah sampai di kotak pos depan. seperti biasa dengan surat putih kau tinggalkan pesan. salam anggun dan kata-kata menawan. hatur lembut kau sampaikan. tak ada pujian yang terlewatkan. sembah beribu simbah dibentangkan. padahal kau hanya akan menuntaskan pertemuan. sebuah perpisahan, tersampaikan.

Terbit di MedanBisnis, April 2012

Selasa, 18 September 2012

GABUNG FLP: Menjadi Penulis atau Menuliskan “Pekerjaan” Tuhan?


Orang bergabung di FLP dengan beragam motivasi. Ada yang ingin belajar menulis, mencari teman atau jaringan, belajar bersosialisasi atau berorganisasi, aktif di kegiatan sosial, menjadi penulis, menjadi orang terkenal, mencari penghasilan, ingin berdakwah, dan lain-lain. Berbagai motivasi di atas tidaklah salah. Sah-sah saja. Dan secara umum, orang bergabung dengan FLP adalah ingin menjadi penulis.
Namun pada kenyataannya, setelah sekian lama bergabung di FLP, tidak sedikit anggota FLP yang belum juga menjadi seorang penulis (sesungguhnya). Banyak hal yang menjadi penyebabnya; mungkin ia kurang banyak berlatih, kesempatan yang belum tersedia, atau keberuntungan belum berpihak kepadanya. Sehingga tak jarang anggota FLP yang akhirnya berhenti belajar menulis, atau bahkan keluar dari FLP. Mereka merasa, cita-citanya untuk menjadi penulis gagal, atau menganggap bahwa FLP bukan tempat yang tepat buat dia.
Merubah Paradigma
Inilah kesalahan terbesar kita. Tujuan kita menulis adalah untuk menjadi penulis, menjadi orang terkenal, atau bahkan sekedar mencari uang semata. Untuk itu, mulai sekarang lupakan tentang menjadi penulis, berhentilah untuk menjadi penulis.
Kita sering lupa bahwa tujuan menulis adalah untuk berbagi ilmu, menyampaikan kebenaran, bertukar pengalaman, memberi pencerahan (baca: berdakwah); hal ini sesuai pula dengan visi-misi FLP yang menjadi landasan filosofis organisasi.
Nah, jika kita telah menyadari kembali tujuan kita menulis; mengapa kita harus kecewa jika tulisan kita tidak lolos seleksi redaksi atau penerbit tertentu, mengapa kita berhenti menulis karena tulisan kita dikritik, mengapa kita menjadi bosan menulis karena tulisan kita tidak ada yang mengomentari atau merespon, mengapa kita tidak semangat menulis karena banyak tulisan kita yang belum menghasilkan uang, dan mengapa pula kita sampai berputus asa karena tulisan kita berkali-kali ditolak? Mengapa?
Demikian halnya yang menjadi pengurus FLP; mengapa hanya sekedar numpang nama karena di FLP tidak mendapat apa-apa, mengapa tidak mau melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya hanya karena banyak pengurus yang tidak aktif, mengapa menjadi pengurus hanya setengah-setengah karena tidak mendapat keuntungan tertentu, mengapa ada pengurus yang hanya mengejar ambisi dan kepentingan pribadi, dan mengapa pula kita tidak amanah dengan alasan tidak dihargai anggota atau pengurus di atasnya? Mengapa?
Sekali lagi, ada yang salah dengan paradigma dan mindset kita. Kebanyakan dari kita hanya sekedar menulis; dimuat, terkenal dan akhirnya mendapatkan uang. Bahkan, tak jarang demi mengejar tujuannya itu, orang rela menggadaikan idealisme, menulis sesuatu yang tidak baik, menjegal atau mengorbankan orang lain, mengambil jalan pragmatis, hingga melakukan plagiat. Dan jika tujuan itu tidak tercapai, bisa jadi ia berhenti menulis, menyalahkan organisasi atau orang lain, menyalahkan keadaan, dll.
Yang harus kita sadari dan pahami bersama, kegiatan menulis tidak sekedar menulis; dimuat, terkenal dan akhirnya mendapatkan uang; selesai. Tidak begitu. Semua pekerjaan (termasuk menulis) pada hakikatnya adalah “melayani orang lain”.
Melayani orang lain di sini bermakna bahwa kita menulis dalam rangka membantu orang lain untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, mengajak manusia untuk berbuat kebaikan, menuntun manusia untuk kembali kepada kebenaran. Lebih dari itu, kita perhitungkan pula apa dampak tulisan kita bagi pembaca, manfaat apa yang diperoleh seseorang dari tulisan kita, adakah perubahan pola pikir dan perilaku setelah membaca tulisan kita, dan sebagainya. Dan akan lebih bagus lagi jika kita bisa memberi keteladanan kepada orang lain terhadap apa yang kita tulis.
Jika kita kembali pada proses penciptaan manusia, untuk apa manusia diutus ke dunia ini? Tiada lain dan tiada bukan untuk beribadah kepada Allah. Apapun yang kita lakukan di dunia ini (sesuatu yang baik) adalah dalam kerangka beribadah kepada-Nya, termasuk juga pekerjaan menulis.
Orang yang sudah sampai pada tingkat kesadaran ini, ia akan melakukan pekerjaan menulis dengan sepenuh hatinya, sepenuh jiwa-raganya. Tak peduli apakah tulisannya akan dimuat di media atau tidak, terlepas apakah tulisannya akan menghasilkan uang atau tidak. Menulis adalah panggilan jiwa.
Begitupun menjadi pengurus FLP; ia rela memberikan pikiran, tenaga, dan waktunya untuk FLP. Tak peduli apakah ia mendapat imbalan atau tidak, terlepas ada yang mendukungnya atau tidak. Karena mengurus FLP pada hakikatnya adalah melayani orang lain. Bukankah tidak ada yang lebih membahagiakan jika kita bisa membantu, membesarkan dan membahagiakan orang lain? Bukanlah dengan demikian hidup kita akan terasa berarti dan bermakna?
Jika kita merasa bahwa hidup kita berarti dan bermakna, bermanfaat bagi orang lain; inilah tanda bahwa kita telah mencapai kebahagiaan hidup. Bukankah semua orang menginginkan kehidupan yang bahagia. Inilah kekayaan yang kita peroleh, yang melebihi segalanya. Uang, kepopuleran, gelar penulis hanyalah sebuah KONSEKUENSI, bukan TUJUAN.
Dan jika kita telah bisa melayani orang lain, membantu orang lain, dan bermanfaat bagi orang lewat tulisan kita, secara tidak langsung kita telah menjadi perpanjangan “tangan” Tuhan. Kita telah menuliskan “pekerjaan” Tuhan. (Kartasura-Solo; 9/13/2012 3:42:38 PM)

Tulisan ini terinspirasi dari buku “I Love Monday” karya Arvan Pradiansyah.
 Oleh Trimanto Ngaderi di Jarwil flp pusat Trimanto




Minggu, 16 September 2012

Empat Puluh Lima Nama


Sudah Cukup becandanya ya. ^-^v Mimin mohon maaf. hehehehe  
Jadi, setelah melakukan penggodokan, dan sedikit penggondokan saat menentukan pilihan peserta mana yang akan melanjutkan ke tahap seleksi berikutnya; yakni Magang, didapatkanlah 45 nama dari 65 nama yang telah mengikuti tes tertulis dan wawancara Rekrutmen Angkatan V FLP Sumatera Utara. Segala pertimbangan telah disampaikan dalam proses pengambilan keputusan nama-nama di bawah ini. Apabila nama kamu tidak tertera, jangan berkecil hati.  Dan, yang tertera dibawah juga jangan cepat tinggi hati, karena proses menjadi FLPers belum usai. Masih ada setapak tangga lagi.
1.      Rusmini
2.      Ardiansyah Putra Nasution
3.      Teguh Bagus Surya
4.      Imam Damara
5.      Fadul Fikri
6.      Nesya Ardella
7.      Muftirom Fauzi Aruan
8.      Bunaya Irandi
9.      Maulana M. Hasan
10.  Wahyuddin
11.  Samsiah Nur
12.  Rizka Hayuti 
13.  Poppy Citra Dini Samosir
14.  Dewi Pertiwi
15.  Nina
16.  Dwi Suci Mawarni
17.  Vivi Suryani
18.  Ahmad Rafiq
19.  Isdah Ningrum
20.  Zulfahmi Hamam 
21.  Putri Rizki
22.  Tiamawarni
23.  Khalida Ulfa 
24.  Fuji Astuti 
25.  Abdul Aziz
26.  Zakiyah Rizki Sihombing
27.  Leli Aprianun
28.  Silvia Ananda
29.  Yusra Nova Lyanda
30.  Rama Salwa
31.  Sarifa Mawaddah Ramadhani Hutagaol
32.  Indah Mahdani
33.  Atiqah Ash Ashadiqah
34.  Dewi Trisna
35.  Siti Fatimah Sitepu
36.  Mustika Roseka
37.  Elly Musniar Tuti
38.  Sabda Marbun
39.  Nurul Habibah
40.  Tika Mindari
41.  Kartika Dwi Lastrika
42.  Nurwahidah Ramadhani
43.  Fitriyani Sri Udayati
44.  Sawaluddin
45.  Nurlaili br Sembiring
Catatan: beberapa dari nama-nama di atas memiliki pertimbangan bersyarat dari panitia seleksi dan akan di jelaskan pada pertemuan pertama. Untuk info pertemuan perdana silahkan hubungi nomor Kadiv Humas FLP Sumatera Utara(Abdillah Putra Siregar) dan Kadiv Kaderisasi FLP Sumatera Utara (Dewi Chairani).
Sekian dan terima kasih. 
wassalam. 

Wajah-wajah Rekrutmen Angkatan V FLP Sumatera Utara


Assalamualaikum wr. Wb.
Ayo, Mana semangatnya !!! Mana suaranya kawan-kawan!!!
Alhamdulillah, bertepatan pada Minggu, 9 September 2012 yang lalu, FLP wilayah Sumatera Utara menyelenggarakan Rekrutmen Angkatan V: Tes tertulis dan Tes wawancara. Kegiatan yang bertujuan untuk mencari dan menumbuh-kembangkan calon-calon penulis baru yang kelak akan menghasilkan tulisan yang tak hanya baik dalam segi bentuk dan pemaparan tapi juga baik dari segi isi dan kandungan amanah di dalamnya, berjalan lancer dan sukses.
Pada Rekrutmen angkatan V kali ini, terkumpulah delapan puluhan pendaftar dari bermacam latar belakang pendidikan, status, wilayah, dan sebagainya. Proses pengumpulan berkas-berkas pendaftar sendiri dilaksanakan mulai tanggal 1 Agustus 31 September 2012 dan dengan cara mengantarkannya langsung ke Rumah Cahaya( dibaca: sekretariat FLP) di Jl. Sei Deli  Gg. Sauh no. 18Y, Medan Petisah, dan via email FLPSU di flpsuofficial@gmail.com. Dimana Berkas yang harus dilampirkan berupa formulir pendaftaran, Identitas diri, pasfoto, dan print-out karya tulis pendaftar.  Namun, di saat berlangsungnya Tes tulis, jumlah pendaftar susut menjadi 65 orang saja.
Meskipun, hanya 65 orang, toh tak mengurangi antusias tiap peserta untuk mengikuti tes tulis yang di mulai pada pukul 9.00 WIB. Lalu berlanjut kepada Tes Wawancara pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB.
Ah, gimana kalau sekarang lihat foto dokumentasinya aja ya. ^-^v
Proses Daftar Ulang Peserta Rekrutmen
(Koq pada gak nyadar kamera ya??? (-_-) )

Ketua Panitia Rekrutmen Angkatan V memberi arahan.
( Oke Master Sifu hahaha ^^v)
Tes Tulis pun dimulai: Ruang I
Tes Tulis di ruang II
Kesibukan Panitia: menyusun berkas peserta yang sudah daftar ulang
Rajin Bener !!!
Tes Wawancara: Keislaman oleh Ririn Anindya dan Fitri A. Batubara
Tes Wawancaara: Keorganisasian oleh Abdillah Putra Srg. dan Arie A. Nst.
Tes Wawancara: Kepenulisan oleh Cipta Arief Wibawa dan Nurul Fauziah
Nasionalisme (Selingan hehehehe ^-^v peace kepada yang bersangkutan)

Baiklah. Mana nama-namanya, Bang Mimin???

HHAHAHAHAHA bentar ya lagi diketik nih. :p