Senin, 09 Juli 2012

Tadarus Sastra: Ayo jadi Penulis !!!


Dalam menyemarakkan Ramadhan kali ini (1433 H), FLP Sumatera Utara mengadakan Workshop Penulisan Kreatif selama 5 hari, dan dilaksanakan dalam dua gelombang. (Gelombang I 24-28 Juli 2012 & Gelombang II 30 Juli-3 Agustus 2012)
Cara daftarnya mudah. Via SMS, ketik: Daftar (Nama) (Usia) (Kelas Menulis) (Gel I/ II) (Pagi/Sore)
Kirim ke nomor kontak yang tersedia. Pendaftaran Terakhir 16 JULI 2012.
Pilihan Kelas Penulisan:
1. Cerpen
2. Puisi
3. Opini
4. Resensi
Pilihan Waktu:
1. Pagi 8.30-11.00 WIB
2. Sore 15.00-17.30 WIB
Biaya Pendaftaran perkelas Rp. 80 ribu. Dan dapatkan diskon 25%* untuk pengambilan lebih dari 1 kelas Penulisan.
Sekretariat FLP Sumatera Utara:
Rumah Cahaya Jl. Sei Deli Gg. Sauh No. 18 Y, Medan Petisah. (dekat STIE IBBI)

Contact Person:
Ririn   0852 7016 5789
Cipta   0819 6041 898
Lia      0813 7564 8942
Fadly  0878 6913 2899
NB:
- Maksimal 10 orang perkelas.
- Jika ada 10 orang yang berasal dari 1 instansi/Universitas/Sekolah, tempat pelatihan dapat didiskusikan.
 *Berlaku untuk kelas berikutnya

Jumat, 06 Juli 2012

Tentang Puisi Nesya


Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sastra dan budaya untuk dik Nesya Ardila Simamora.

Hal pertama yang yang ingin saya sampaikan adalah ucapan terimakasih kepada dik Nesya karena telah mengirimkan naskah puisinya untuk dapat diapresiasi oleh saya sebagai peng-apresiasi puisi kamu dari Forum Lingkar Pena Sumut.

Sebelum saya mengapresiasi puisi dik Nesya, ada baiknya kita terlebih dahulu mengenal apa yang disebut puisi. Mari kita simak ulasan singkat berikut ini:

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan perasaan penyairnya lewat tulisan, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan.

Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus. Pada umumnya penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang relatif pendek-pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait), dan tidak jarang menggunakan kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif (bahasa kias).

Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna konotasi yang sering terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi seringkali sulit dipahami.

Nah, pada puisi dik Nesya yang berjudul  Tragedi Di Kilometer Tak Berdayung, secara penulisannya bererti tilusan dik Nesya sudah bisa disebut sebagai puisi karena dik Nesya mengungkapkan gagasannya dalam kalimat yang relatif pendek-pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait). Namun, sebagai pengarang puisi, kita juga harus mengetahui syarat pembuatan puisi yang baik. Sayrat yang pertama sebagi penulis yang baik adalah kita harus membaca beberapa karya puisi orang lain,baik puisi yang ada di koran(media) atau yang ada dibuku-buku puisi. Dengan ini, kita dapat mengetahui bagaimana penulisan puisi yang baik.

Ketika pertama kali saya lihat puisi dik Nesya, saya memperhatikan bentuk penulisannya. Dik Nesya yang baik, dalam puisi setiap kata, kalimat, bahkan tanda baca memiliki arti tersendiri. Karena seperti defenisinya, puisi itu dibuat dengan bahasa yang ringkas dan padat dan mengandung arti.

Pada puisi dik Nesya, saya menemukan banyak sekali tanda baca di akhir setiap kalimat. Nah, dalam puisi, tanda baca juga memiliki makna, Dik.  Seperti koma, tanda tanya, tanda seru, dan juga titik. Tanda titik sebenarnya jarang digunakan dalam puisi seperti yang Dik Nesya tulis, hanya puisi-puisi panjang dan berbentuk narasi saja yang menggunakannya, walau terkadang ada juga yang meggunakannya (itupun di akhir-akhir puisi). Tanda seru dipakai untuk menegaskan kalimat puisi. Tanda tanya digunakan untuk pertanyaan.

Karena puisi itu merupakan kalimat yang padat, ada baiknya jika puisi yang dik Nesya buat dikurangi kata dan imbuhan (kah, lah, me, ter, ke-,-nya, dll).

Secara makna, ketika saya membaca puisi Dik Nesya, sudah tergambar makna dari puisi tersebut-secara gamblang-yakni protes seseorang terhadap negerinya. Dengan begitu, puisi kamu termasuk yang mudah memaknainya.

Kalimat-kalimat yang dik Nesya pakai sudah baik terutama dalam pemakaian gaya bahasanya (personifikasi, metafora, hiperbola). Nah, yang ini boleh Dik Nesya teruskan dalam menulis puisi. 

Jadi, saran-saran dari saya yang harus Dik Nesya perbaiki dan ubah pada puisi Tragedi di kilometer tak berdayung adalah sebagai berikut:
1.    Hilangkankan tanda baca yang berlebihan.  Pada puisi Dik Nesya, saya rasa baiknya tanda baca dapat dihilangkan pada kalimat-kalimat yang tidak berbentuk penegasan, namun yang berbentuk penegasan, boleh memakai tanda baca.
2.  Kurangilah kata atau imbuhan (kah, lah, me, ter, ke-,-nya, dll) yang dapat dihilangkan untuk menambah kekuatan makna pada puisi.

Selebihnya, menurut saya sudah bagus baik dari pemilihan diksi dan tema serta amanat. Saran saya yang lain adalah: banyak-banyak membaca puisi para sastrawan atau puisi-puisi yang bisa Dik Nesya lihat di media massa (koran) ataupun buku-buku puisi. Yang kedua: jangan takut salah dalam menulis karena itu adalah pembelajaran. Yang ketiga: semangat menulis.

Terima Kasih.

                                                                                                            Salam Hangat
                                                                                                            Arie A. Nasution

Karya Pembaca: Tragedi di Kilometer Tak Berdayung


TRAGEDI DI KILOMETER TAK BERDAYUNG
NESYA ARDELLA SIMAMORA

Seonggok tragedi di wajah usangmu..
Duhai negeriku yang tengah menggigil…!
Di tengah jutaan robekan harapan bangsamu..
Hai.. ! ! aku menyapamu..
dalam sampan buram peraduan ini..

sampan negeriku…
berdayung dengan kibaran harapan bangsa..
berpetualang melintasi setiap sudut jiwa…

Berapa kilometer sudah perjalanan UUD 1945 ?!!
Berapa lembarkah coretan harapan yang telah bangsamu lukiskan ?!
Heyy ! jawab !!
 atau kau sudah lupa dengan janji-janjimu ?
“Mencerdaskan kehidupan bangsa”
Ataukah..?
“Membodohkan kehidupan bangsa” ?!

engkau yang tengah duduk di sana.. !
Kau kah yang ngaku-ngaku bangsa Indonesia ?!
Janjimu mengebiri harapan anak-anak Indonesia !
Tanah ini mulai gersang…!
Segersang lahan pendidikan di negeri ini..
 kau tumbuh suburkan dengan industri-industri pendidikan..!
Hingga panas kian membara..
Menghangatkan tragedi jual beli ijazah..
Jual beli nilai.. jual beli gelar .. !
Duhai negeri ku yang sedang beku..
Dimana cerita anak bangsa !

Tolong ini, negeriku…!!
Yang tak kunjung melaju..
Jangan biarkan sampannya tenggelam…
Lalu hancur terhempas karang…
Tragedi di kilometer tak berdayung…

Senin, 02 Juli 2012

Puisi Jaka Satria


AKU BUDAK SERATUS RIBU TUANKU
Patutkah aku meracau pada dinding kayu
yang mulai membusuk, tempat aku berteduh
untuk mengais tubuh kusutku
memaksa seratus ribu singgah setiap bulan
untuk membayar hiburan, kebersihan, kegelisahan
pada tubuh busuk yang mengkisut.
Aku tahu tuan,
bagimu seratus ribu hanya untuk jajanan
tapi bagiku, ia adalah alat pemuas
pil ketenangan
untuk sekejap saja menghantar tidur.
Seratus ribu tuan,
aku sering melalaikan sujud di hadapan Tuhanku
karena majikan-tuanku yang garang pada waktu
sebab inilah aku budak tak bertuah
berusaha mengais uang ribuan di dompetmu.
Tuan, hanya di dompetmu
bukan rekeningmu
Rumah Cahaya, FLP Sumut. Maret 2012

SEBUAH SEJARAH JUBAH HITAM
Sebuah sejarah yang pernah terlukis di benak negeri ini
menguak kekejaman tangan rakus dari gotgot, selokan pengurai kotoran
inilah sajak tua yang tertimbun dedaunan puluhan tahun lalu
membusuk jadi debu tanpa debu.
Jubah hitam malam itu
kau - aku tak tahu kau
yang telah menjarah isi bumiku, memporak-porandakan jantung negeriku
dan, kau. Bahkan menghabisi keperawanan waktu;
di ranjang pengantin baru semalam
‘kau rampas harta, itu tak cukup’ katamu
kau minum darah, kau semakin haus
ini bukan masalah dendam
tapi ini masalah kebodohan yang kau makan dari bangkai otak para pecundang!
Aku tidak lupa, tak pernah lupa. Jubah hitam (siapapun kau)
ini hanya sebuah sejarah yang tertimbun ribuan hari lalu
tertumpuk bersama jasadku
menjadi udara yang kau hiatuklah di samping jasadku, pecundang.
Rumah Cahaya FLP SUMUT. 2012

DUA GELAS YANG BERBEDA
Bibir itu senyum seperti tak senyum
bicara seperti bisu
mendengar seperti pekak
ia rapi, memakai jas dan sepatu mengkilat
duduk di sofa mobil mewah, tapi selalu gelisah.
Mata itu menangis seperti bahagia
tertawa seperti terluka
berdarah seperti mendapat hadiah
ia dekil, memakai topi dan celana berlapis
duduk di pinggiran sampah, tapi lelap sekali tidurnya.
Aku ingin bertanya pada gelas gelas keduanya:
Gelas gelas kaca
coba kau ceritakan sedikit saja tentang majikanmu
apa saja minuman yang selalu kau suguhkan padanya
tentang makanan yang selalu bersanding denganmu,
sedikit saja, kumohon.
Gelas gelas sampah
aku ingin bertanya mengenai pemulungmu
tapi aku ragu,
aku tak tahu harus bertanya apa lagi
sebab setiap malam ia yang selalu mengutip sampahku
Rumah Cahaya FLP SUMUT, Medan. 2012


Nb: Puisi-puisi ini dimuat pada harian Sumut Pos, Minggu Mei 2012

Resensi: Pincalang Telah Hilang dari Ingatan


"Laut selalu memberi aba-aba lebih dulu sebelum memulai aksinya," (hlm 10). Begitulah salah satu kalimat di dalam novel ini yang menggambarkan akrabnya manusia dengan laut. Pincalang adalah sebuah novel. Penulisnya, Idris Pasaribu, sangat prihatin dengan pincalang yang nyaris punah. Pincalang adalah kapal kayu ukuran menengah dengan 3-4 layar. Idris mencoba mengenalkan kembali pincalang kepada masyarakat modern, khususnya generasi muda. 
Pincalang pernah berjaya di sepanjang pesisir barat Sumatra beserta kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan setempat. Dulu, masyarakat boleh dikata lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa kehidupannya di atas pincalang. Sayang, kini telah hilang dan semakin luntur dari ingatan karena tergerus kemajuan zaman yang lebih modern.
Pincalang bercerita seputar kehidupan manusia "perahu" bernama Amat. Ceritanya dimulai semenjak remaja, tepatnya saat berumur 16 tahun. Ayahnya berpesan agar dia segera menikah. Maka dari itu, dipilihkanlah Maryam yang hanya terpaut usia 2 tahun lebih muda dari Amat sebagai calon istrinya. 
Cerita pun berkembang. Tak lama mereka dikaruniai seorang anak lelaki dinamai Buyung. Amat yang hanya berbekal kepandaian berbahasa Arab merasa apa yang dimilikinya tak cukup. Hal itu disadari setiap kali Amat berkumpul dan berbincang-bincang di kedai kopi bersama orang-orang darek (darat) setiap kali pincalangnya merapat ke dermaga untuk menjual barang miliknya (hlm 92).
Amat lalu berkeras pada Maryam agar Buyung disekolahkan. Sempat Maryam menolak karena harus menerima kenyataan akan terpisah dari anak pertama mereka. Pada akhirnya keputusan Amatlah yang harus dituruti. Buyung bersekolah. Amat berharap anaknya kelak akan menjadi orang pintar dan tak begitu saja dapat dengan mudah ditipu tauke yang kerap mengambil keuntungan dari kekurangtahuan Amat dan masyarakat pincalang lainnya.
Bahkan, kini tak hanya Buyung, Amat pun mulai mengikuti program pemberantasan buta aksara beserta istrinya. Selain itu, mereka merintis usaha dagang. Ternyata, Amat memiliki bakat yang baik dalam hal berdagang. Kegiatan dagangnya terus berkembang. Suami istri itu mulai mencecap hidup yang sangat berkecukupan dan mulai lepas dari menggantungkan seluruh kebutuhan hidup dari laut. 
Keppres

Tak semua yang awalnya baik juga berakhir dengan baik pula. Seperti kehadiran Keputusan Presiden (Keppres) yang mau membantu kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat pinjaman agar dapat memiliki kapal bermotor dengan sistem kredit melalui bank (hlm 150). Hasilnya, perlahan setiap orang mulai dapat memiliki kapal motor yang sekaligus ikut mendongkrak gengsi pemilik.
Dengan hadirnya Keppres baru yang menyiapkan dana lebih besar dalam pemberian fasilitas bagi kapal-kapal penangkap ikan (hlm 183), pertumbuhan di pesisir pantai Barat semakin berkembang pesat. Aktivitas perdagangan di laut juga meningkat. 
Kawasan industri turut tumbuh. Imbasnya, segala kekayaan alam yang tersedia dikeruk dengan sangat rakus. Demi rupiah yang akan lebih banyak mengalir ke kantong, alam tak lagi diperhatikan. Apalagi dipelihara keberlangsungannya. 
Idris Pasaribu yang pernah aktif di Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) untuk Sibolaga dan Medan, mungkin, mendapati keadaan yang sama dalam kenyataan yang terjadi di pesisir pantai barat. Kritikan itu diceritakan kembali dalam Pincalang, beserta kritikan-kritikannya. Juga disinggung masa kekuasaan Orde Baru, ketidakadilan yang terjadi pada rakyat kecil, dan masalah kemanusiaan. 
Buku ini belum sempurna benar karena masih banyak salah tik, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi kalau editornya teliti, kemudian tentang rentang waktu pembuka novel juga tidak jelas. Pembaca harus mengernyitkan dahi untuk menerka-nerka. Meski begitu, toh tak ketahuan juga. Namun, Pincalang benar-benar dapat memuaskan ekspektasi pembaca akan kualitas cerita yang dihadirkan pengarang. Begitu pun penggambaran yang sangat baik mengenai manusia-manusia pincalang.
Kepiawaian Idris Pasaribu dalam pemilihan kata yang imajinatif, namun tetap komunikatif dan informatif adalah kelebihan yang membuat novel ini semakin terasa sayang untuk dilewatkan dari daftar referensi bacaan.
Diresensi Fadly Pratama, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Unimed 
Judul            : Pincalang
Penulis         : Idris Pasaribu
Penerbit       : Salsabila
Cetakan       : Pertama, April 2012
Halaman       : 256 halaman
ISBN           : 987-602-98544-1-1
Nb: Resensi ini dimuat pada Koran Jakarta, Kamis 28 Juni 2012

Resensi: Catatan Kisah Seorang Pasien Jantung

“Bagaimanapun, kami tahu seperti apa proses operasimu. Kulitmu dibedah. Setelah itu, tulang dadamu digergaji supaya mudah mengangkat jantungmu. Barulah jantungmu diangkat, dibelah, dan diperbaiki katup di dalamnya.”


Dalam pengantar buku ini, disebutkan ada tiga jenis manusia: selalu mengeluh, menganggap ringan ujian hidup, dan menikmati tantangan. 
Nurul termasuk yang terakhir karena dia menikmati tantangan yang dihadapi. Ia sanggup, tegar, dan berhasil mengambil banyak pelajaran dalam hidup. 
Buku ini menceritakan perjalanan seorang Nurul F Huda dengan penyakit kelainan jantung yang dialami sejak usia 11 tahun. "Saat itu, aku belum genap berusia 11, tepatnya kelas V SD. Aku tinggal di kota kecil dan selama hidup sangat jarang sakit, apalagi sampai paraH..." (hlm. 19).
Pada usia semuda itu, kondisi itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak mudah bagi Nurul kecil. Siapa sangka, gadis tomboi yang tahan banting, lincah seperti bola bekel, serta terkenal sebagai murid berprestasi di sekolahnya, tiba-tiba sering sesak napas, mudah lelah, berkeringat dingin, dan pucat. Ternyata setelah menjalani proses pemeriksaan, dokter menyatakan dia mengidap kelainan jantung rematik, Rheumatic Heart Disease (RHD).
Perjalanan kisah mengharu biru pun dimulai. Pada lembar-lembar berikutnya, Nurul menjelaskan segala hal tentang penyakitnya dan proses pengobatan yang dijalani hingga sampailah pada proses kepindahan Nurul ke Jakarta pada usia 14 untuk berobat ke RSJ Harapan Kita. Dia menjalani proses operasi Jantung. 
Pendeskripsian Nurul tentang proses operasi dalam buku ini membuat pembaca menahan napas dan berdebar. Nurul menceritakan ulang yang dilihat ayah dan ibu saat operasi berlangsung. "Bagaimanapun, kami tahu seperti apa proses operasimu. Kulitmu dibedah. Setelah itu, tulang dadamu digergaji supaya mudah mengangkat jantungmu. Barulah jantungmu diangkat, dibelah, dan diperbaiki katup di dalamnya." (hlm. 92).
Penyakit kelainan jantung yang diderita Nurul menyebabkan kompleksnya masalah yang terjadi dalam organ vital tersebut karena katup yang bermasalah. Akhirnya, katup Nurul diganti dengan mekanis dari platina yang harganya puluhan juta (tahun 1990). Itulah yang menimbulkan bunyi seperti suara jam, 'Tik... tik... tik' dari dalam tubuhnya. Nurul sudah mempersiapkan jawaban setiap ditanya. "Jam Kehidupan", jawab Nurul diplomatis. Dia harus mengonsumsi obat pengencer darah seumur hidup demi meringankan kerja katup buatan dan jantung dalam mengalirkan darah. 
Syukur
Tidak selalu ada jawaban untuk pertanyaan mengapa atau atas apa yang Tuhan tetapkan. Hanya Tuhan yang tahu dan aku hanya mampu berusaha untuk mencari tahu, tanpa pernah benar-benar tahu, begitu tulis Nurul pada Bab 1 "Mengapa Terjadi Padaku?"
Buku ini bukan novel kesekian dari Nurul F Huda yang berlatar belakang seorang novelis. Buku ini ditulis seorang pengidap penyakit jantung untuk memotivasi dan menginspirasi orang lain. Berkali-kali pembaca harus mengeja kata 
"syukur" di tiap bab kisah yang dipaparkan Nurul. Bagaimana seorang Nurul harus menjalani hari-harinya di rumah sakit pascaoperasi? 
Proses membuka benang jahitan yang menempel di dada, ngilunya serasa menyihir pembaca. Tapi, semua itu dijalani secara ikhlas. Yang pasti, lanjut Nurul, dalam menutup Bab 1, "Mengapa Terjadi Padaku?", aku tidak bisa menolak yang aku alami. Aku harus terus belajar menerima dengan lapang dada. Aku mencoba memahami makna ujian, cobaan. Aku sabar dan ikhlas.
Namun, sesungguhnya, Nurul menghadirkan kisahnya tanpa mau membuat pembaca mengurai air mata. Dia menulis dengan gaya kocak khas anak-anak. Namun, sampai tahap kisah memasuki remaja dan dewasa, dia mencoba menyesuaikan. 
Layaknya otobiografi, tapi versi sederhana dan bukan hardcover, penuh ilustrasi dan foto. Ini buku semiobiografi yang sarat hikmah dan kata syukur di dalamnya. Pembaca bisa mengetahui sekilas tentang penyakit jantung. Bagi orang tua, ini memberi pelajaran, tidak mudah mendampingi anak pengidap penyakit jantung. 
Namun, di buku ini, Nurul menguraikan rasa syukurnya diberi ayah dan ibu yang menyayangi dengan cinta, tanpa syarat! 
Sampai buku ini terbit, Nurul masih bertahan. Namun, Tuhan lebih sayang padanya sehingga memanggilnya pada usia 35, 17 Mei 2011, bukan karena jantungny, melainkan karena tuberkulosisnya yang semakin parah. Nurul meninggal dunia. Selamat jalan saudariku.
Diresensi Nurul Fauziah, mahasiswa IAIN Sumut

Judul              : Hingga Detak Jantungku Berhenti
Penulis           : Nurul F Huda
Penerbit         : Jendela
Cetakan         : 1, Maret 2011
Halaman         : 272 halaman
Nb: Resensi ini dimuat pada Koran Jakarta, Jumat 30 Maret 2012

Puisi Cipta Arief Wibawa


Sepotong Kisah yang Lalu
Ia berjalan pulang dan melihat semut-semut kecil tengah berbaris pada sebuah dinding yang telah kusam catnya. Waktu itu langit begitu mendung dan ia tetap lamat menatap semut-semut kecil membariskan diri dengan berjongkok dan mata yang sendu. Siul-siul burung di pohon dan gemerisik dedaunan yang bermain bersama angin membuatnya semakin terjaga. Gerimis mulai turun satu-satu, beberapa meluncur dan rebah di kepalanya. Ia tak perduli, pandangannya tetap sama pada semut-semut kecil yang sekarang mulai sibuk berlari menuju sarang. Apakah setiap yang hidup harus pergi dan pulang? Begitu tanyanya dalam hati. Ketika ia menoleh ke ujung jalan tampak ibunya tengah berlari membawakan payung dengan warna pelangi.
2012


Yunus
Di Ninawa dulu, ribuan peluh telah lenyap menjejak bumiku. Mungkin semua hari sekedar jam yang mengulang pada putaran yang sama. Begitu gelap Tuhan memberikan tempat bagi aku yang selalu setia menunggu. Sekarang hanya tinggal doa, sedang di luar cuaca begitu mendung dan hujan teramat lebat. Setelah hampir 40 hari di perut yang berenang ini aku pun mengerti, ada amarah yang kadang membuatku buta bahkan untuk sekedar berjalan dan kembali.
2012


Lalu
Aku mereka-reka bait senyummu di pertemuan kita yang terakhir. Tiba-tiba malam gelap dan hilanglah semua. Tak ada apa kecuali retak-retak kecil yang mengelupas di tubuhku. Otakku pecah dan dari sana bait-bait senyummu berloncatan lalu pergi menuju arah yang hilang. Angin begitu dingin menjemput rindu. Langkah kakiku lalu mengilu-beku pada kecemasan yang terlanjur mengapung.
Pernah ingin aku melanggar seluruh pantang dan larang. Agar pertemuan-pertemuan kita tahu bahwa yang hidup selalu memanfaatkan yang mati. Meski tentu pada pengertian sejatinya yang matilah yang tengah memainkan setiap napas yang memburu. Tak apa, setidaknya masih ada secuil senyum batarimu yang sempat lengket di urat nadiku. Itu telah cukup untuk menutup cerita ini dengan moksa.
2012


Kaca
Kaca yang jadi tempatmu mematut-matut senyum adalah kaca yang kemarin pecah di malam sesaat sebelum lelakimu memutus rindu. Dari kaca kautahu bahwa ada nanah yang begitu menganga di sebalik senyum milik lelakimu. Ternyata kaca selama ini terus membohongimu. Sebab baru semalam juga kau paham ada kaca di dalam kaca tempat kaca telah disekap oleh kaca.
Ketika kaca pecah maka lelakimu tak lagi berkaca. Tubuhnya ikut retak dan memantulkan sesosok daging yang bukan milik lelakimu. Sekarang hanya tinggal matamu yang berkaca. Dari kedalamannya masih jelas bagaimana kaca berkaca di jantung milik lelakimu yang telah lupa berkaca.
2012

Nb: Seluruh Puisi ini dimuat pada harian Suara Merdeka, 27 Mei 2012

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India