
Pincalang pernah berjaya di sepanjang pesisir
barat Sumatra beserta kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan setempat. Dulu,
masyarakat boleh dikata lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa kehidupannya
di atas pincalang. Sayang, kini telah hilang dan semakin luntur dari ingatan
karena tergerus kemajuan zaman yang lebih modern.
Pincalang bercerita seputar kehidupan manusia
"perahu" bernama Amat. Ceritanya dimulai semenjak remaja, tepatnya
saat berumur 16 tahun. Ayahnya berpesan agar dia segera menikah. Maka dari itu,
dipilihkanlah Maryam yang hanya terpaut usia 2 tahun lebih muda dari Amat
sebagai calon istrinya.
Cerita pun berkembang. Tak lama mereka
dikaruniai seorang anak lelaki dinamai Buyung. Amat yang hanya berbekal
kepandaian berbahasa Arab merasa apa yang dimilikinya tak cukup. Hal itu
disadari setiap kali Amat berkumpul dan berbincang-bincang di kedai kopi
bersama orang-orang darek (darat) setiap kali pincalangnya merapat ke dermaga
untuk menjual barang miliknya (hlm 92).
Amat lalu berkeras pada Maryam agar Buyung disekolahkan.
Sempat Maryam menolak karena harus menerima kenyataan akan terpisah dari anak
pertama mereka. Pada akhirnya keputusan Amatlah yang harus dituruti. Buyung
bersekolah. Amat berharap anaknya kelak akan menjadi orang pintar dan tak
begitu saja dapat dengan mudah ditipu tauke yang kerap mengambil keuntungan
dari kekurangtahuan Amat dan masyarakat pincalang lainnya.
Bahkan, kini tak hanya Buyung, Amat pun mulai
mengikuti program pemberantasan buta aksara beserta istrinya. Selain itu,
mereka merintis usaha dagang. Ternyata, Amat memiliki bakat yang baik dalam hal
berdagang. Kegiatan dagangnya terus berkembang. Suami istri itu mulai mencecap
hidup yang sangat berkecukupan dan mulai lepas dari menggantungkan seluruh
kebutuhan hidup dari laut.
Keppres
Tak semua yang awalnya baik juga berakhir dengan
baik pula. Seperti kehadiran Keputusan Presiden (Keppres) yang mau membantu
kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat pinjaman agar dapat memiliki kapal
bermotor dengan sistem kredit melalui bank (hlm 150). Hasilnya, perlahan setiap
orang mulai dapat memiliki kapal motor yang sekaligus ikut mendongkrak gengsi
pemilik.
Dengan hadirnya Keppres baru yang menyiapkan
dana lebih besar dalam pemberian fasilitas bagi kapal-kapal penangkap ikan (hlm
183), pertumbuhan di pesisir pantai Barat semakin berkembang pesat. Aktivitas
perdagangan di laut juga meningkat.
Kawasan industri turut tumbuh. Imbasnya, segala
kekayaan alam yang tersedia dikeruk dengan sangat rakus. Demi rupiah yang akan
lebih banyak mengalir ke kantong, alam tak lagi diperhatikan. Apalagi
dipelihara keberlangsungannya.
Idris Pasaribu yang pernah aktif di Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN) untuk Sibolaga dan Medan, mungkin, mendapati keadaan
yang sama dalam kenyataan yang terjadi di pesisir pantai barat. Kritikan itu
diceritakan kembali dalam Pincalang, beserta kritikan-kritikannya. Juga
disinggung masa kekuasaan Orde Baru, ketidakadilan yang terjadi pada rakyat
kecil, dan masalah kemanusiaan.
Buku ini belum sempurna benar karena masih
banyak salah tik, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi kalau editornya teliti,
kemudian tentang rentang waktu pembuka novel juga tidak jelas. Pembaca harus
mengernyitkan dahi untuk menerka-nerka. Meski begitu, toh tak ketahuan juga.
Namun, Pincalang benar-benar dapat memuaskan ekspektasi pembaca akan kualitas
cerita yang dihadirkan pengarang. Begitu pun penggambaran yang sangat baik
mengenai manusia-manusia pincalang.
Kepiawaian Idris Pasaribu dalam pemilihan kata
yang imajinatif, namun tetap komunikatif dan informatif adalah kelebihan yang
membuat novel ini semakin terasa sayang untuk dilewatkan dari daftar referensi
bacaan.
Diresensi Fadly Pratama, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris, Unimed
Judul : Pincalang
Penulis : Idris Pasaribu
Penerbit : Salsabila
Cetakan : Pertama, April 2012
Halaman : 256 halaman
ISBN : 987-602-98544-1-1
Penulis : Idris Pasaribu
Penerbit : Salsabila
Cetakan : Pertama, April 2012
Halaman : 256 halaman
ISBN : 987-602-98544-1-1
Nb: Resensi ini dimuat pada Koran Jakarta, Kamis 28 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar