Oleh: Fitri
A.B.*
Puisi berbeda dengan jenis tulisan lainnya, khususnya
karya tulis nonfiksi. Puisi, meski ada banyak teori yang “mengatur” geraknya,
namun hakikatnya puisi adalah hasil pemikiran jiwa seseorang. Ia adalah tulisan
yang berperasaan, sekalipun puisi tidak melulu soal cinta dan elegi kehidupan.
Lewat puisi, hal besar “dibicarakan” dengan indah dan sederhana. Bagi sebagian
orang, puisi pun menjadi semacam “penawar” apa yang menggelisahkan hati. Puisi
adalah rumah yang mengindahkan masalah kehidupan.
Menyimak puisi Rara Silvia Anggraini, sejak dari judul
hingga penghujung puisinya, ada beberapa hal yang menarik untuk dibincangkan. Salah
satunya adalah mengenai salah satu kecenderungan yang biasanya diterapkan oleh
penulis dalam menulis puisi, yaitu kecenderungan
stilistik. Kecenderungan ini berupa penggunaan bahasa yang lugas (bahasa
sehari-hari) pada tiap kata demi kata dalam puisi ditulis oleh penulis. Dan
saya menemukan itu pada hampir setiap kata di puisi ini, termasuk pada judul
puisi ini. Meskipun begitu, kecenderungan stilistis pada puisi ini masih kurang
begitu “menggigit”. Sehingga kesannya, pembaca seperti membaca sebuah tulisan
biasa. Padahal meskipun puisi ini menggunakan kata-kata lugas, tapi jika
ditempatkan pada tempatnya pasti akan indah. Misalnya pada penggalan ini:
parasmu mewarisi setengah dari ayahmu
tingkahmu mewarisi setengah dari ibumu
kelak nanti kau sudah besar
jadilah seorang wanita pemurah hati dan tidak sombong
Pun ada sebuah
keganjilan pada bait pertama puisi ini.
Tubuh mungilnya yang dulu terangkum jelas dalam memori ingatku.
Saat kau akan terlahir kedunia
Ibu dan ayahmu sangat antusias menati kehadiranmu
Yang jika nanti dia seorang putri dia akan menjadi calon wanita
penghuni surga
Jika nanti dia adalah lelaki dialah yang akan menjadi khalifa
dibumi
Ada semacam
ketidakkonsistenan dalam penggunaan kata sehingga menimbulkan kebingungan bagi
pembaca. Di awal sekali penulis menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal
pada kata “tubuh mungilnya”. Lalu, selanjutnya penulis menggunakan kata ganti
orang kedua tunggal pada kata “saat kau”, “ibu dan ayahmu”, begitu seterusnya
hingga bait terakhir. Alangkah lebih baik jika sejak awalnya menggunakan kata
ganti orang ketiga tunggal atau kata ganti orang kedua tunggal saja.
Pada puisi “Calon Wanita Penghuni Surga” ini saya tidak menemukan kode sastra (A. Teeuw dalam buku Membaca dan Menilai Sastra: 1983), kecuali pada bait terakhir puisi ini, yaitu pada kata “mutiara putih” dan
“perhiasan dunia”. Namun itu pun, terasa kurang sempurna dan klise sekali.
Padahal jika ditelaah, ada banyak metafora atau kata-kata konotatif yang bisa
menggantikannya.
kau
pasti sangat cantik
maka
jadilah wanita sholeha yang berakhlak
selalu
tersenyum dan dirindui sapaanmu oleh banyak orang
jadilah
perhiasan dunia yang dirindui
serta
jadilah mutiaraputih yang disayangi
Penulis pun tampaknya perlu mencermati
penggunaan tanda baca dalam puisinya ini. Sebab dalam puisi, tanda baca menjadi
sesuatu yang sensitif dan bermakna sekali. Ada pula beberapa kata yang tidak
sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia tertulis di puisi ini. Misalnya pada bait
kedua, pada kata “legah”. Seharusnya kata ini ditulis menjadi “lega”.
Begitupun, saya meyakini puisi ini lahir
dengan satu maksud dan pesan yang baik. Puisi ini pun tampaknya lahir sebagai
gambaran kegelisahan transendental. Kegelisahan yang membincangkan kedekatan
manusia dengan Tuhannya. Dan sejak judul pun hal ini bisa pembaca tangkap
dengan mudah.
Pada akhirnya, sebuah puisi meskipun ia
cenderung sebentuk ungkapan hati tapi ia butuh “penguat” untuk dapat hidup di
tengah pembacanya lewat pemilihan dan penempatan diksi yang tepat dan indah.
Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, bahwa puisi
adalah ingin mengatakan begini dengan cara begitu. Kita mungkin bisa memulainya
dengan “mengakrabkan” diri dengan puisi-puisi W.S. Rendra, Sapardi Djoko
Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, Goenawan Mohammad dan lain
sebagainya. Sejatinya, menulis puisi akan selalu bersandingan dengan rutinitas
membaca puisi orang lain untuk kemudian ditelaah dan dijadikan pelajaran yang
bermakna. Dengan begitu kita akan menemukan bahwa puisi memang rumah untuk
mengindahkan masalah kehidupan. Semoga bermanfaat dan tetap semangat berkarya!
*Fitri A.B.
adalah nama pena dari Fitri Amaliyah Batubara. Merupakan mahasiswi Pascasarjana
UNIMED dan bergiat di FLP Sumut.
wahh,masih banyak yang kurang ya mbak???
BalasHapusalhamdulilah ini saran yang membangun :)
karena saya masih pemula,jadi mohon bimbingannya ya mbak :)