Kamis, 26 April 2012

(Aku) Mencari Jasadku



Dalam beberapa hari saja hidupku berubah. Ya. Berubah tanpa sekalipun pernah aku berpikir tentang ini semua: aku mati. Mati dibunuh. Tragis, bukan? Dan seperti yang kubilang barusan. Kematian dengan cara dibunuh tidak pernah terpikir di benakku, apalagi sampai terjadi. Dan sekarang, malangnya jasadku belum diketemukan, sementara aku sendiri juga tidak tahu, di mana mayatku dibuang .
Maka, jadilah sekarang aku gentayangan. Wara-wiri mencari mayatku sendiri. Singgah dari satu pemakaman ke pemakaman lain yang ada di kotaku. Siapa tahu ada namaku tertera di batu nisan. Meski yang kudapati hanya kelelahan mencari. Percuma menunggu. Aku sudah hampir putus asa. Sebab semua mayat yang baru saja dikubur di sini adalah bukan mayat mati dibunuh. Mereka mati wajar; bersebab sakit atau korban tabrak lari. Sedang aku belum mau mati tapi dipaksa mati.
 Aku coba ingat-ingat kejadian tragis malam itu. Masih pukul sebelas. Usai pulang dari kantor, baru saja sampai di lobi.  Aku disergap oleh beberapa orang berkaca mata hitam. Mereka membekap mulutku dengan sapu tangan. Pun pula hitam warnanya. Aku meronta. Kakiku menendang-nendang ke segala arah. Mustahil, sebab badan mereka besar-besar semua.
Lantas aku digeret paksa masuk dalam sebuah mobil Zanava hitam. Aku digiring membabi buta. Meronta dan mau berteriak. Tapi, moncong pistol telah menekan perutku. Ah, konyol sekali orang-orang ini. Beraninya keroyokan dan main senjata. Pengecut!
“Kalian siapa dan mau apa?” kataku waktu itu. Eh, mereka diam. Bergeming dengan dagu terangkat. Angkuh sekali.
“Kalian siapa dan mau apa?” aku menanyai lagi. Galak. Dan moncong pistol itu semakin kuat menekan perutku. Isyarat bahwa aku tak boleh banyak tanya. Dan kedua pergelangan tanganku semakin dicengkram kuat.
Mobil terus melaju di tengah malam hampir buta.  Konyol sekali, aku diculik. Apa yang mereka inginkan sebenarnya. Seumur hidup aku bertekad untuk tidak mencari permusuhan dengan siapapun. Pun aku hanya seorang pegawai pemerintah biasa, yang bertugas  mengungkap kasus penggelapan uang di negeriku. Itu juga masih sebatas penyidik. Bukan mafia judi kelas paus dengan semesta kekuasaan apalagi milyuner. Mau apa mereka menculikku.
Aku pandangi wajah mereka di tengah temaram percikan lampu merkuri yang dilewati mobil. Tak teraba. Aku tak tahu samasekali siapa orang-orang berkacamata hitam ini.
“Apa yang kalian inginkan dariku?” aku bertanya dengan garang.
Lagi, kali ini bukan hanya moncong pistol. Tapi juga sebilah benda berkilat dengan ujung runcing dan dingin menembus kemejaku.
Tiba-tiba,suara ponsel berdering nyaring. Mereka semakin diam membatu ketika salah seorang yang mengangkat telpon bilang dari si bos.
“Baik, Pak!”
Hanya itu yang diucapkan si pengangkat telepon. Entah apa yang mereka bicarakan?
Lantas, kecepatan mobil kurasakan semakin kencang. Angin malam menyusup pelan dari jendela mobil yang kacanya tak tertutup sempurna. Ah, ada apa dengan orang-orang ini sebenarnya? Pikirku saat itu.
***
Aku masih mencari di mana mayatku. Sejak aku dibunuh aku hampir lupa tentang semuanya. Aku lupa jalan pulang ke rumahku. Aku lupa di mana aku berada saat ini; alam kubur atau masih di bumi. Sebab semuanya begitu asing, meski sesekali aku merasa pernah melewati  jalan-jalan ini. Bahkan beberapa wajah kadang berkelabat. Meski aku lupa-lupa ingat. Hanya ada empat hal yang masih tersisa dalam kepalaku, pertama istriku, kedua sepasang anak kembarku, ketiga orangtuaku dan yang terakhir pembunuhku. Ya. Empat hal itulah yang paling aku ingat. Selebihnya, aku tak tahu ke mana.
Jujur, aku seperti orang gila sekarang. Bajuku penuh bercak darah. Wajahku kurasakan kumal luar biasa. Bahkan kuku jempol kakiku tercerabut sudah. Tapi tak sakit, kepalaku apa lagi. Darah merembes dan syukurlah sudah berhenti.  Aku binggung aku harus bertanya pada siapa. Sebab setiap orang yang kutanyai di mana tubuhku selalu menjerit dan lari tunggang langgang seperti baru saja melihat hantu. Ah, bodoh sekali orang-orang itu.
Jadilah, aku termanggu seperti orang linglung di pinggir jalan dekat pemakaman umum. Aku selalu mengawasi di situ , siapa tahu ada mayat baru yang akan dikebumikan dan itu aku. Tapi, jujur, aku belum mau mati sekarang. Aku masih ingin menegakkan keadilan. Aku tidak akan bisa tenang jika orang-orang yang menculik, membunuh dan merampas harta negara hidup dengan tenang. Aku harus segera menemukan jasadku dan masuk kembali ke dalamnya. Mencari titik kehidupan, siapa tahu aku masih punya harapan.
Oya, aku belum menceritakan kemana aku dibawa. Seingatku, malam itu di bawah temaram bulan sabit, mobil itu berhenti entah di mana, di sebuah lobi rumah sangat mewah.  Sebuah kawasan yang sangat sunyi. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang selalu bunyi klakson. Ini benar-benar tempat impianku; sebuah tempat yang asri dan baru kali itu aku ke sini dan hanya ada satu bangunan saja.
Lalu, mataku ditutup mereka. Tanganku diborgol. Percuma meronta, sebab mereka tak segan meninju perutku dengan bringgas. Aku menurut saja ketika mereka menggelandangku turun dari mobil hitam itu. Hampir semacam digeret. Aku hanya bisa menduga-duga. Naluriku berkata, nyawaku terancam saat itu. Otakku sibuk berpikir bagaimana bisa terlepas dari ketengangan ini. Nihil. Bahkan aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan kecuali pasrah saja menuruti kemauan mereka.
Aku rasakan saat itu udara dingin begitu menyungkup. Jelas ini udara AC. Hidungku mencium aroma segar. Lalu, penutup mataku dibuka paksa. Aku membelalakkan mata. Mengitari sekitar. Masih buram. Retinaku belum fokus. Kukedipkan mata berulang-ulang. Masih samar tapi perlahan mulai normal. Tak lama, aku mendengar sebuah suara ritmis memantul. Suara langkah. Empat orang berkaca mata itu keluar ruangan tiba-tiba. Aku baru sadar, teryata aku berada di sebuah ruangan sangat mewah; sofa-sofa besar dan bukan buatan negeriku. Lemari-lemari antik dan sederet keramik besar mengkilap yang juga bukan buatan negeriku. Barang-barang di sini terkesan lux dan tak sembarang orang mampu memilikinya.
“Selamat datang di kediaman saya.” Sebuah suara menyergapku. Aku tergeragap ringan. Memutar tubuhku mencari suara itu. Sebuah wajah yang begitu kental : Danu Atmajda, Orang nomor satu negeri ini.
“Bapak?” aku terkejut. Membungkuk sedikit penuh takzim. Tersenyum simetris.
“Silahkan duduk. Tidak usah terlalu sungkan.”
Aku menurut.
“Langsung saja. Rumah ini akan saya berikan untuk anda. Jika anda mau bekerja sama.”
Aku bergidik. Tak mengerti.
“Bunuh saudara Nazared.”
Tercengang. Ya. Aku sampai terlonjak dan berdiri dari kursiku.
“Anda?”
“Ya. Tugasmu hanya itu. Saya yakin, tak akan ada satu orangpun yang akan mencurigai anda.”
Kata-kataku dipotongnya.
Aku bergeming. Membunuh Nazared sama saja membenam bukti-bukti yang sebentar lagi akan terkuak. Bukti yang sedang ditunggu-tunggu berjuta orang di seantero pelosok negeri: siapa yang menjual negeri ini sampai habis babak belur dan rakyatnya menjadi zombie.
“Tidak. Saya tidak bisa.” Aku mengucapkan dengan nada dingin dan angkuh.
“Kau menolak?” Laki-laki dengan pesona bagai malaikat itu menyipitkan matanya. Alisnya menyatu.
Aku tersenyum. Senyum satire.  Lalu dengan langkah gagah menyeret kedua kakiku meninggalkan tempat mewah ini. Setenang mungkin. Seringan kapas. Merogoh saku. Mengambil ponsel. Menelepon pihak penyidik. Namun…
DOOR!!
Sebuah suara tembakan tiba-tiba. Aku limbung. Ambruk segera. Kepalaku pecah. Berhamburan isinya. Darah muncrat. Berceceran di lantai. Setelah itu, aku mati.
***
Gelap kembali menyungkup. Sudah berbulan-bulan aku seperti orang gila. Entah kemana akan pergi. Aku mengikut saja langkah kaki membawa. Namun, yang masih aku sesalkan, berita pembunuhan, penggelapan uang, peculikan, pemerkosaan kini bosan dibicarakan. Malah, berita tentang penampakan hantu dengan isi kepala terburai menjadi trending topik di setiap media. 
Tapi aku tidak akan berhenti. Aku masih akan terus mencari, di mana mereka membuang jasadku. Tolong, kalian bantu aku menemukan tubuhku atau jadilah saksi kematianku.

Medan, Rumah Baca FLP-SU 2011.


Oleh Abdillah Putra Siregar.

Puisi: Suci Widyasari


Sebuah Asa di Negeri Tercinta

Di Negeri ini Aku ada.
Sebuah perjalanan di tengah rasa galau remaja yang terus kutinggalkan.
Sedikitnya, gambaran jadi dewasa mulai ku gantungkan pada posisi yang serius
Dan di Negeri ini Aku telah ada.
Duduk sebagai kaum intelektual.
Kini kepalaku dua. Berkutat pada masalah sosial.

Masih pada Negeri yang kutinggali.
Kelak Aku tak ingin jadi penghuni setia, hanya menajdi patung.
Menjadi hiasan tapi tak menghiasi.
Lagi-lagi Aku sekarang ada.

Dan pada hitungan waktu yang kueja.
Tekadku bulat, beberapa bulan kedepan, Aku tidak berada di Negeri ini.

Agar kembali menjadi manusia yang bernyawa dan berkaya.

3 Maret 2012



Kisi-kisi Cinta Kita

Ya, aku menyebutnya sebagai mimpi.
Tentang rumah yang di dalamnya ada Maple.

Ada celana goyang yang kusiapkan setiap mentari mulai terbangun.
Ada sarapan dan senyum hangat di atas meja makan.

Ya, juga tentang kemeja yang kau kenakan.
Warnanya cocok sekali dengan warna kulitmu.

Apalagi tentang rambutmu yang keikal-ikalan.

Aku sangat suka menatanya.
Sungguh gagah kau.

Januari 2012



Momiji Cinta

Tentang rumah Maple kita, si Momiji.
Kadang kusebut ia Maple, kadang kupanggil ia Momiji.
Ada Aku dan kelak buah hati kita.
Momiji kita harus tumbuh menjadikan romantisme sepanjang perjalanan cinta menujuNya.
Lagi-lagi Aku mengintip dari jari-jari daun Maple.
Apa ya, yang tak kusuka darimu?
Akh, mungkin karena Aku belum melihatmu secara terang-terangan. Ya, bisa jadi.
Selama ini, Aku hanya mengendap-endap jika pada suatu waktu yang sama.

Dan lagi-lagi, Aku berharap pada Tuhan kita.
Kelak, kau jadi terang bersamaku atau hillang.
Itu rahasia Tuhanku.
Januari 2012



Rabu, 25 April 2012

Puisi: Cipta Arief Wibawa


Ode Malam Buat Gadisku
Malam adalah debar paling mesra yang selalu nikmat kusantap bersama kerinduan. Lewat langit angin masih mengabarkan isyarat tentang getar-getar romansa di wajahmu.
Fragmen malam yang begitu absurd, kamar yang mendadak jadi kota dengan ribuan pemabuk gila tengah sibuk berpesta, meracaui segala hal tentang bahasa hati yang tak akan pernah bisa dimaknai. “Pada detik ini aku bayangkan hujan di luar tengah bergerak lamban meninabobokan kita dengan cerita penantian. Daun yang purna dilabur coklat keemasan pun gugur dan mengabadikan segala rentang usia pada cacing-cacing kecil di tanah gembur milik petani,” lihat di ujung pematang, pipit-pipit pulang dengan paruh kosong dan perut melompong!
Memang hanya untuk sebuah malam yang begitu absurd. Di barat awan tengah memilin bintang, mengingatkanku akan hatimu yang juga selalu menenun setiap episode hari yang kubangun bersama senyuman dan air mata. Derap langkah kita yang meninggalkan jejak-jejak cinta kelak akan kembali berubah menjadi kota. Tinggal di sana kata-kata yang berangkai membariskan diri dalam sebentuk sajak-sajak alit pasal asmara.
Penantian berarti deret purnama yang berguguran di tengah ladang. Mengendap dan menjelma benih bagi hati-hati yang setia mengamsal rindu di geriap kota yang mengabur dari ingatan. Aku percaya musim itu, hari panen bagi petani dan pipit yang bersarang di lesung pipi.
Langit dan angin (masih) mengabarkan isyarat tentang getar-getar romansa di wajahmu.
Rumah Cahaya, 2012


Hatimu
Hatimu yang tersangkut di tiang listrik sudut jalan pada gerimis malam gasal membuat langit menjadi begitu terang meski tanpa bulan tanpa bintang. Aku yang merasa takjub pun lantas segera terbang dan mengambil lembut hatimu untuk kubawa pulang agar jadi penerang kamarku yang sudah sebulan ini gelap karena bola lampu yang kubeli dulu hari di kios setengah hidup-setengah mati milik koko Liong telah memilih untuk mati daripada menjalani hidupnya yang hanya sisa setengah itu. Dalam pulang perjalanan aku senantiasa berharap semoga terang hatimu selalu membuatku tersenyum meski perusahaan listrik yang katanya milik negara itu kadang menyajikan noktah hitam pada malam-malam sederhana kita. Semoga….
Rumah Cahaya, 2012


Pada Suatu Natal
Pelan-pelan kita berjalan menyusuri semak kabut pada pagi sepi dan gerimis tengah sibuk wara-wiri. Pinus-pinus yang berbaris di kiri dan kanan kita seakan menjadi dinding duri yang selalu saja senang menusuk-nusuk kulit kita yang legam. Sekilas kulihat matamu begitu binar melahirkan bintang dan bulan serta secercah harap yang bisa juga ditakar sebagai penantian. Karena tak akan ada lagi dingin selain putihnya salju di bulan Desember, maka biarlah detik terhenti dan menjadi pigura lukis di kamar tempat kita biasa menutup dan memulai segala pernak-pernik hari.
Lonceng-lonceng lahir pada katedral di kota yang lain. Kita melihat ke langit dan kini doa-doa mengalun merdu dari suara bocah-bocah yang entah kenapa untuk episode sajak ini memilih tidur pada kaos kaki yang digantung di dinding-dinding rumah mereka. Cerobong asap adalah jalan bagi bohemian budiman. Abu di unggun mengepul dan bersiap untuk mati.
: Aku ingin kita beranjak dari hari ini. Melangkah pelan-pelan sambil sesekali mengerlingkan mata pada debu yang berputar di belakang punggungmu. Semoga ada tempat untuk kita mati di altar suci misa nanti.
Rumah Cahaya, 2012

Menyusuri Mata Ketiga Cinta


Judul Buku      : Mata Ketiga Cinta
Penulis             : Helvy Tiana Rosa
Penerbit           : AsmaNadia Publishing House
Cetakan           : I, Februari 2012
Halaman          : 84 Halaman




Puisi sebagaimana diungkapkan Horatius memiliki dua fungsi penting, yaitu fungsi keindahan/ kenikmatan dan kegunaan/bermanfaat. Tidak semua puisi memiliki kedua fungsi tersebut. Ada yang hanya memiliki fungsi keindahan/ kenikmatan saja, dimana kata-kata yang puitis dan indah menjadi ciri utamanya. Dan ada yang hanya mengandung fungsi kegunaan/ bermanfaat saja, dimana makna dalam puisi tersebut menjadi pengantar bagi pembaca untuk menyimpulkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Tiap penyair pun punya alasan kuat kenapa sebuah puisi bisa tercipta dari penanya sendiri. Alasan-alasan yang bagi Ignas Kleden disebut sebagai bentuk kegelisahan penyair. Ia menyebutkan bahwa ada tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra (puisi
Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Ada lagi kegelisahan transedental, istilah yang lahir dari "tangan" Kuntowijoyo pada 1982. Kegelisahan ini merupakan gambaran tentang hubungan manusia dengan sang pencipta, yang menitikberatkan pada makna di balik kata, sehingga karya sastra (puisi) yang dihasilkan tidak menonjolkan keindahan saja, tapi juga bermanfaat buat kehidupan dan peradaban manusia.
"Mata Ketiga Cinta", sebagai buku kumpulan puisi pilihan tentang cinta karya Helvy Tiana Rosa jika disusuri lebih dalam merupakan kumpulan puisi yang memiliki fungsi keindahan dan kegunaan. Penulis mampu meramu dan memadu-padankan kata-kata sederhana menjadi istimewa dan puitis. Kiranya dari sini, pembaca akan mengaminkan bahwa beberapa puisi di buku ini memang memiliki fungsi keindahan. Misalnya saja pada penggalan puisi yang berjudul "Mata Ketiga Cinta" ini. Sebuah puisi yang menurut penafsiran saya merupakan puisi yang mengungkapkan kehebatan dan kekuatan cinta yang sebenarnya. Diksi pada puisi ini memang terkesan biasa, tapi kemampuan penulis dalam meramunya menjadikan puisi ini menjadi begitu apik, nikmat dan istimewa.

"Apakah dua mataku
yang kau larung dalam malam?
lalu hari-hari pun terbenam dalam secangkir kopi tanpa gula
daun-daun jatuh di luar jendela
dan sunyi menyanyikan lagi
lagu gergaji"

Ada 40 puisi lagi dalam buku ini selain puisi di atas yang ditulis antara tahun 1986 hingga 2011. Meski kesemua puisi tersebut merupakan puisi tentang cinta tapi tiap puisi dalam buku ini memiliki kegelisahan tersendiri hingga benar-benar lahir menjadi puisi yang puitis dan sarat makna. Jika merunut pada apa yang dikatakan Ignas Kleden dan Kuntowijoyo, puisi-puisi dalam buku ini merupakan puisi yang lahir dari kegelisahan politik (puisi "Kepada Tuan Teroris"), metafisik (puisi "Thawaf), eksistensial (puisi "1987" dan transedental (puisi "Fi Sabilillah").
Helvy Tiana Rosa sudah menulis 50 buku dan memperoleh berbagai penghargaan di bidang kepenulisan. Karena itu pula, tak berbeda dengan buku-bukunya yang lain, "Mata Ketiga Cinta" ini pun menjadi buku yang sangat nikmat untuk dibaca. Akhirnya, menyusuri "Mata Ketiga Cinta", Helvy Tiana Rosa ini, kita seperti diajak bertualang untuk memaknai cinta dari berbagai sudut pandang. Kita pun seperti dibujuk untuk memaknai hakikat kehadiran cinta di tengah-tengah kita. "Mata Ketiga Cinta" adalah ruang kita menyusuri makna cinta yang sebenarnya.
Oleh Fitri A. Batubara

Selasa, 17 April 2012

Resep Agar Istiqomah



            “Yaa Muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinika” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
            Siapapun di antara kita pastilah ingin terus istiqomah di atas jalan yang haq. Namun permasalahan istiqomah memang bukanlah perkara yang mudah, butuh perjuangan ekstra untuk bisa mewujudkannya. Sebab kita manusia selalu lebih cenderung pada keburukan. Maka tak salah jika kita mengamalkan doa yang di ajarkan oleh Rasullah SAW di atas. Karena beliau pun senantiasa mengamalkannya, hal ini menunjukkan bahwa tak seorang pun dari kita dapat memastikan bahwa kita akan terus istiqomah di atas iman dan islam.
            Terkait masalah istiqomah, Rasullah SAW pernah didatangi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki itu bertanya: “Wahai Rasullah, katakanlah kepadaku satu ungkapan tentang Islam, yang saya tidak memintanya kepada seorang pun kecuali kepadamu.” Rasullah SAW bersabda “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah’”. (HR. Muslim)
            Lagi-lagi kita kembali diingatkan bahwa istiqomah adalah perkara yang urgen. Lalu hal apa saja yang dapat membuat kita istiqomah hingga akhir hayat kita. Berikut jawabannya:

1.             Mengikhlaskan niat dan amalan hanya kepada Allah Ta’ala
Niat adalah suatu perkara yang harus senantiasa kita perbaiki dalam tiap perbuatan kita, karena niat dapat berubah sewaktu-waktu. Suatu amal itu bernilai baik atau buruk tergantung dari niatnya. Di sinilah kita sebagai seorang hamba dituntut untuk senantiasa memurnikan niat hanya untuk Allah ta’ala dengan tujuan agar mendapatkan ridho dariNya.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaatiNya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

2.             Mengikuti sunnah Rasullah SAW
Yang dikatakan istiqomah adalah istiqomah dalam hal kebaikan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasullah SAW, jadi bukan disebut istiqomah jika kita tekun mengamalkan amalan yang tidak diajarkan oleh Rasullah SAW.
Dari Abu narjih, Al ‘Irbad bin sariyah Radhiallhu ‘anhu ia berkata: ‘”Rasulullah telah memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan membuat airmata bercucuran”, kami bertanya ‘Wahai Rasullah, nasehat itu seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah selamanya (meninggal), maka berilah kami nasehat’, Rasulullah bersabda “Saya memberi nasehat kepadamu agar tetap bertaqwa kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar dan ta’at meskipun yang memerintahmu seorang hamba sahaya (budak). Sesungguhnya barangsiapa di anatara kalian masih hidup niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat. “ (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

3.             Menuntut ilmu syar’i dan sering duduk di Majelis ilmu
Keistiqomahan akan lahir apabila kita sering duduk di majelis ilmu bersama dengan orang-orang sholih. Sebab hanya di majelis ilmulah kita menemukan wajah-wajah para perindu surga, dengan begitu keinginan untuk terus berlomba-lomba dalam kebaikan akan hadir dengan sendirinya. Rasullah SAW bersabda:
“Apabila kamu melewati taman-taman surga, mak minumlah sampai puas”, para sahabat bertanya “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan taman-taman surga itu?” Rasul menjawab “Majelis-majelis ilmu.” (HR. Thabrani)

4.             Berteman dengan orang yang baik akhlaknya (sholih)
“Seseorang berada di atas agama sahabat karibnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan siapakah yang menjadi sahabat karibnya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Memilih teman dekat adalah prioritas utama dalam Islam, sebab seorang teman sangat berpengaruh untuk kita, maka hendaklah kita hanya berteman dengan orang-orang yang baik akhlaknya. Yang senantiasa bisa memberikan teladan yang baik pada kita, senantiasa mengingatkan kita akan kebaikan, karena merekalah sebaik-baik teman.

5.             Meninggalkan Ma’siat
Ketika melakukan suatu kejahatan (ma’siat) maka pada hakikatnya akan tercipta satu noda di hati kita. Dan noda tersebut akan terus bertambah seiring dengan seringnya kita melakukan ma’siat hingga lambat laun hati kita menjadi pekat. Demikianlah perumpaan orang yang berma’siat. Hati menjadi sulit menerima hidayah dan dengan begitu ia akan jatuh pada kefuturan sebab tak ada lagi lentera dalam hatinya. Maka salah satu kunci istiqomah adalah meninggalkan ma’siat dan bertaubat dengan sebenar-benar taubat kepada Allah ta’ala.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan sebenar-benar taubat, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS:66:8)

6.             Perbanyak Tahajud
Sepertiga malam adalah waktu paling berharga karena di saat itulah Allah turun ke bumi dan mengabulkan permohonan hambaNya yang sungguh-sungguh. Maka bruntunglah orang-orang yang senantiasa menegakkan sholat Tahajud karena ia akan menjadi suatu lentera yang dapat menjaga keimanan seorang muslim.
“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam”. (QS:51:17)
Dan mari kita berdoa semoga kita senantiasa menjadi hamba yang istiqomah di atas DienNya yang haq. Wallahu A’lam.


 Oleh: Fitri Arniza
*Penulis adalah Tholibat Ma’had Abu Ubaidah bin Al Jarrah Medan bergiat di FLP SU, WSC, dan LRS Medan. 

Puisi: Eza Budiono


Musim Hujan
Di Negeriku sedang musim hujan
Setiap malam hujan, setiap pagi juga hujan
Tapi aku tidak pernah basah oleh hujan
Padahal aku tepat berada dibawah langit yang mencurahkan hujan
Padahal aku tidak berteduh di bawah kolong jembatan ataupun atap hotel bernama kemewahan
Tapi aku tidak pernah basah oleh hujan
Soalnya, aku sudah membayar hujan untuk tak mengguyurku


Bocor
Seperti biasa, aku membaca berita Online di dunia maya
Katanya, antara Mesi dan Ronaldo ada Falcao
Antara presiden dan rakyat ada penyusup yang membocorkan pidato
Ah, aku jadi curiga. Jangan-jangan dia juga yang membocorkan atap sekolah kami
Pun aku semakin curiga, bahwa dia yang telah membocorkan soal UN kami


Berita
Sebuah supermarket yang biasanya buka hingga 24 jam akhir-akhir ini tutup karena takut atas gang motor yang semakin menjadi-jadi.  Para orang tua memperingatkan anaknya untuk tidak pulang terlarut malam akibat isu yang semakin merebak ini, terakhir, Genk motor yang bringas ini berhasil membuat empat remaja tanggung babak belur dan di duga turut andil atas ditemukannya sebuah mayat yang hangus terbakar di daerah persawahan di Jawa. Tapi polisi mengatakan pada warga agar jangan takut untuk keluar malam.

Sebuah Negara tetap buka hingga saat ini walau semakin banyak pemimpinnya yang korupsi, yang tidak perduli pada keadaan rakyat malah menghabiskan waktu untuk mencari pelaku pembocoran pidato masal yang dilakukan. Tuhan baru saja mengingatkan negeri itu dengan sebuah goncangan gempa yang dahsat  yang berulang-ulang. Para orang tua mengatakan pada anaknya untuk tidak mencontoh para pemimpin negeri ini, orang-orang cerdas senantiasa meninggalkan negeri ini untuk menikmati kecerdasan mereka di negeri lain yang mengakui kecerdasan, bukan negeri yang mengakui tikus berdasi. Pengaman Negara mengatakan pada tikus-tikus itu agar jangan takut untuk korupsi lagi asal saya dapat bagian.

Kisah Liris di Setiap Senja

Kau suka senja ya?
Ya. Aku begitu tergila-gila dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu. Ungu seperti kita. Seperti darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak kemana-mana, hahahaha walau kita tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja dengan mati.

Kita ini sebenarnya tak pernah memahami bagaimana kesedihan sejatinya berjalan. Lanskap pantai, karang, dan camar-camar yang mengantar senja pulang seharusnya jadi salah satu cerita romantis bagi kita yang kekasih. Mungkin memang beginilah cara semesta mengajarkan hidup bagi setiap makhluk. Termasuk bagi kau, seorang yang biasa kuakrabi sebagai, “senja”. Seorang yang lalu merubah segala skenario yang—boleh jadi—pernah disusun Tuhan terhadapku….

Untuk kita yang kekasih, apakah perjumpaan memiliki kadar yang sama pentingnya dengan perpisahan? Kuperhatikan kedalaman matamu yang pekat. Hanya ada segaris senja yang kusam di sana. Ah, apakah selama ini rasa yang kau uraikan adalah sebuah kebohongan? (Tapi bagaimana mungkin sebuah cinta bisa berbohong, bukankah ia lahir dari ketulusan?).

Deret hari bagi kita adalah detik yang pasti telah mengkhianati waktu sebab terlalu cepat jalannya, begitulah candamu suatu ketika saat senja hampir tiba di tubir cakrawala. Kau terus menatapku, matamu seperti tombak yang runcing menusuk setiap jengkal rasa di dalam dada. Aku tak perduli. Jika memang seperti ini nikmatnya terluka, maka biarlah luka itu terus tumbuh di tubuhku, mengalirkan tetes-tetes darah untuk terus kunikmati. Ada sesuatu yang dengan begini akan membuatku mengerti….

****

Ini senja yang keberapa sejak bumi tercipta? Mungkin sama tak terjawabnya jika kau bertanya itu kepada pagi, siang, atau malam. Tak penting.

“Apa mungkin perasaan itu bisa digambarkan”

“Tentu saja.” Aku menjawab dengan cepat.

“Bagaimana bisa? Tak ada yang pernah menggambar perasaan sebelumnya, kan?”

Ah, senja ini hampir padam. Wajah manismu yang sendu pun sebentar lagi akan padam. Aku belum lagi sempat belajar untuk menerima sakitnya perpisahan. Harus bagaimana sekarang?

“Kau tahu perasaan dia padamu?” Aku menunjuk dadaku. Ada hati di sana.

“Tahu? Tentu saja tidak.”

“Maukah kau kugambarkan bagaimana perasaannya saat ini?”

Kau mengangguk dengan cepat. Antusias sekali. Mata sendumu untuk sekejap berbinar-binar seperti satu-dua bintang yang saat ini mulai muncul meski masih terlihat pucat. Aku tak melakukan apa pun. Hanya diam menatapmu dengan lamat. Sampai lama. Sampai mungkin kau merasa risih dan lantas tersipu. Harusnya sekarang kau telah paham, kita bisa menggambar tak hanya dengan kuas dan kanvas. Lewat kata, tatap mata, senyuman, dan banyak hal lain selalu bisa jadi medium untuk kita menggambar beragam hal, sayang. Seperti saat ini, saat pelan-pelan hujan turun, kau dan aku semakin dekat dan kita terus menggambar, entah apa itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu. Ah, ya. Ini senja yang keberapa ya sejak bumi tercipta?

****

Aku ingat sekali, September tahun itu untuk pertama kalinya aku belajar mengucap janji. Sungguh ini hal yang amat bersejarah bagiku. Buatku yang tak pernah mengerti arti dari keseriusan ini, janji adalah barang mahal yang tidak setiap hari bisa kubeli. Sialnya lagi, kaulah justru yang jadi orang pertama yang mau menerima janjiku. Maka lagi-lagi saat senja, ketika ombak sedang pasang-pasangnya dan angin tengah kencang membelai tubuh kita, malaikat pun bertaburan dari langit membawa sekantung mawar yang lalu ia taburkan ke hati-hati kita.

“Mungkin ini senja yang indah ya. Maukah kau bernyanyi untukku?”

“Hah? Aku tak pandai menyanyi. Lagipula untuk apa?”

“Untuk perpisahan kita. Memangnya ada alasan lain selain itu?” Begitulah kau bertutur seolah semua yang baru saja keluar dari bibirmu adalah hal yang biasa.

“Kau aneh!”

“Biar. Please, mau ya?”

Setelahnya musim begitu cepat berlalu. Setiap hari aku begitu sibuk melingkari sederet angka di dinding sambil menghitung sudah berapa lama sejak hari terakhir kita bertemu. Sekarang adalah hari ulang tahunku. Begitu banyak orang yang memberikan doa serta selamat di hari ini. Tapi semua begitu terasa kosong. Seolah semua kata yang mereka berikan hanyalah nasi yang takkan pernah enak dimakan tanpa lauk-pauk yang menyertainya.

“Hmm, seseorang itu hanya akan berarti ketika ia menjadi yang pertama atau terakhir. Tidak jika di tengah.” Dulu, dulu sekali kau pernah bercerita itu di senja yang syahdu. Sebelum malaikat mengajakmu menari.

****

Ini senja yang keberapa sejak bumi tercipta? Ini senja yang keberapa sejak aku tak lagi memanggil namamu ya? Tunas-tunas rindu begitu subur tersemai di ladang hatiku. Padahal tak pernah disiram. Mungkin rindu ini seperti perdu yang tak membutuhkan perhatian untuk terus hidup. Ia akan terus tumbuh dan semakin besar. Tak akan pernah mati meski kau memangkasnya. Hingga nanti saat kesadaranmu perlahan kembali, kau telah terlanjur kehilangan dan tak lagi mampu memahami tentang rasamu

Sejauh yang masih kuingat dengan samar adalah senyummu yang perlahan memudar menjadi mimpi di hampir setiap malamku. Semua hal ini begitu berat untuk kulalui sendiri. Pelan-pelan aku mulai bingung mencari beda antara absurdisme dan realita atas bayang wajahmu. Dalam sendiri begini aku coba menciptakan senjaku. Sebuah dunia dengan kilau ungu yang bersinar kala matahari hampir jatuh di batas horison. Mungkin kau bertanya kenapa bukan warna lembayung yang melengkapi senja. Aku tak tahu jawabnya. Ini duniaku. Semua terjadi begitu saja atas apa yang aku pikirkan. Senja, mari kita menari dalam suasana yang romantis ini.

“Aku rindu saat-saat seperti ini.” Tuturmu begitu lembut dan renyah sampai telingaku.

“Ya. Begitu hangat, begitu damai. Mungkinkah ini yang namanya surga ya?”

“Jangan bercanda, di surga kurasa takkan ada yang namanya hati”

“Bagaimana mungkin hati tak ada? Kau mengarang.”

“Jelas tak ada. Hati itu memiliki dua sisi. Suka dan duka. Di surga tak ada duka”

“Benarkah? Aku baru tahu hal itu”

Ya, kekasih. Ternyata kisah ini bukanlah sebuah duka yang harus kubawa sepanjang hari. Aku akan selalu melangkah menjalani seluruh musim. Menghadiri setiap pesta senja meski kau tak ada. Meski kau tak ada, Senja.

****

Sebuah nisan yang bertuliskan namamu terus kupandangi dengan amat lekat. Sama seperti saat pertama kalinya aku mencontohkan bagaimana rasa itu bisa digambar meski bukan di atas kanvas. Senja, tidakkah kau lihat sore ini begitu indah. Bulir-bulir air di bola mataku tampak berkilauan di terpa lembayung. Senja ini belum akan berakhir. Setidaknya sampai tetes-tetes ungu yang mengalir di nadiku ini habis….

“Percayakah kau, andai kehidupan masih ada untuk kita, maka aku memilih untuk hidup bersamamu.”

“Benarkah? Aku juga….” Tersenyum

“Hanya begitu?”

“Ya. Memang apa lagi? Ayo, senja sudah hampir berakhir.”

Kita pun saling bergandengan tangan. Berlari dengan kencang menuju muara senja. Sangat kencang. Dan pelan-pelan tubuh kita bercahaya. Mulai dari tangan, kaki, wajah, hati, dan seluruh tubuh kita kini telah menjadi cahaya. Bukan ungu. Tapi oranye. Untuk yang terakhir aku bisa melihat kau tersenyum. Manis. Amat manis untuk kuabadikan dalam memori terakhir imajiku.

****

Aku begitu tergila-gila dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu. Ungu seperti kita. Seperti darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak kemana-mana, hahahaha walau kita tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja dengan mati. Mati yang indah tentunya….

Rumah cahaya, 2012

Puisi: Jaka Satria


NAFAS RINDU


Telah kunyalakan api di ujung rindu
jika kau mengerti tambahkan tetes rindumu
agar ia semakin semerbak
menjadi api cinta dalam jarak bahgia duka
luka liku suka cita
mari kita tambahkan lilin kecil di keliling taman hati
biarkan nafasmu dan nafasku
nafas kita
menjadi api yang tak pernah padam
dalam taman doa, kolam asmara
bunga-bunga dzikir malam kita

Rumcay FLP Sumut, Februari 2012



DOA CINTA PADA PAGI YANG BERANJAK


Ya Robbi
ini adalah rindu yang tak mungkin
kuikatkan di hatiku selain padaMu

Ya Robbi
ini adalah kasih yang kusemai
dan kutanam di jiwaku
hanya untukMu

Ya Robbi
inilah cinta
yang selalu kupasrahkan dalam doa
dan sujud padaMu

PadaMu Rabb ku
yang telah menutup mata hati dari kemolekan duniawi
dalam keteguhan menahan diri

Rumah Cahaya



PERAYAAN MAULID


Puisi adalah lantang suara perkenalan jiwa
di romantisme malam percintaan
Ku dengan hujan yang menjadi musik pengiring
dan gemuruh sahutan penghargaan.
Sungguh rindu ini Maha nikmatnya
untuk terus meneguk berkah anggur cintaMu
dalam perayaan malam yang hujan airmata doa, dan
hati yang telah basah.
Aku kekal di taman doa, taman rindu, taman cinta kita
Kekasih

Malam Maulid di Beranda Mesjid. 2012




PERTANYAAN TAK TERJAWAB

 
Ah, kenapa malam tak lari saja ke bibir pantai
lalu berenang
memecah hening di samudera luas
            menabur bunga mimpi
kemudian berharap pada zikir, agar lautan kembali terang
karangkarang bermekaran, ikanikan kegirangan
(laut masih tidur)
Huh, apa pagi tak bisa pindah ke hutan?
terlalu gersang tanpa dedaunan
            sujud dhuha tak lagi diritualkan
lalu, dimana bukitbukit tengadah
beragam doa
beragam kata

Pada siapa aku harus bertanya
Semua membisu.
Pada mu?

Rumah Cahaya, Desember 2011


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India