Rekrutmen Angkatan V FLP-SU
Ini dia kabar yang kamu tunggu-tunggu. Kabar gembira buat kamu-kamu yang ngaku hobi Baca dan Tulis-menulis. Forum Lingkar Pena wilayah Sumatera utara akan segera menyelenggarakan “Audisi Penulis Dan Penerimaan Anggota Baru Angkatan V FLP Sumatera Utara.“
TADARUS SASTRA: Ayo jadi Penulis !!!
Workshop Penulisan Kreatif Tadarus Sastra dengan tema "Ayo jadi Penulis !!!" pada 23 Juli s.d 3 Agustus 2012. Ayo ikuti Tadarus Sastra dan Jadilah Penulis.
Klinik Menulis FLP Sumut
Punya pertanyaan seputar menulis? Pernah kepikiran jadi penulis? Mau belajar nulis tapi gak tau mau berguru dimana? Atau yang sudah punya tulisan, terus merasa kurang pede sama hasil tulisannya sendiri? STOP! Jangan dibuang atau pun disimpan aja. Karena Ada kabar baik buat kamu yang suka menulis atau kamu yang ingin sekali menulis.
Kamis, 26 April 2012
(Aku) Mencari Jasadku
19.01
FLP Sumatera Utara
No comments
Dalam
beberapa hari saja hidupku berubah. Ya. Berubah tanpa sekalipun pernah aku
berpikir tentang ini semua: aku mati. Mati dibunuh. Tragis, bukan? Dan seperti
yang kubilang barusan. Kematian dengan cara dibunuh tidak pernah terpikir di
benakku, apalagi sampai terjadi. Dan sekarang, malangnya jasadku belum
diketemukan, sementara aku sendiri juga tidak tahu, di mana mayatku dibuang .
Maka,
jadilah sekarang aku gentayangan. Wara-wiri mencari mayatku sendiri. Singgah
dari satu pemakaman ke pemakaman lain yang ada di kotaku. Siapa tahu ada namaku
tertera di batu nisan. Meski yang kudapati hanya kelelahan mencari. Percuma
menunggu. Aku sudah hampir putus asa. Sebab semua mayat yang baru saja dikubur
di sini adalah bukan mayat mati dibunuh. Mereka mati wajar; bersebab sakit atau
korban tabrak lari. Sedang aku belum mau mati tapi dipaksa mati.
Aku coba ingat-ingat kejadian tragis malam
itu. Masih pukul sebelas. Usai pulang dari kantor, baru saja sampai di
lobi. Aku disergap oleh beberapa orang
berkaca mata hitam. Mereka membekap mulutku dengan sapu tangan. Pun pula hitam
warnanya. Aku meronta. Kakiku menendang-nendang ke segala arah. Mustahil, sebab
badan mereka besar-besar semua.
Lantas
aku digeret paksa masuk dalam sebuah mobil Zanava
hitam. Aku digiring membabi buta. Meronta dan mau berteriak. Tapi, moncong pistol
telah menekan perutku. Ah, konyol sekali orang-orang ini. Beraninya keroyokan
dan main senjata. Pengecut!
“Kalian
siapa dan mau apa?” kataku waktu itu. Eh, mereka diam. Bergeming dengan dagu
terangkat. Angkuh sekali.
“Kalian
siapa dan mau apa?” aku menanyai lagi. Galak. Dan moncong pistol itu semakin
kuat menekan perutku. Isyarat bahwa aku tak boleh banyak tanya. Dan kedua
pergelangan tanganku semakin dicengkram kuat.
Mobil
terus melaju di tengah malam hampir buta.
Konyol sekali, aku diculik. Apa yang mereka inginkan sebenarnya. Seumur
hidup aku bertekad untuk tidak mencari permusuhan dengan siapapun. Pun aku
hanya seorang pegawai pemerintah biasa, yang bertugas mengungkap kasus penggelapan uang di
negeriku. Itu juga masih sebatas penyidik. Bukan mafia judi kelas paus dengan
semesta kekuasaan apalagi milyuner. Mau apa mereka menculikku.
Aku
pandangi wajah mereka di tengah temaram percikan lampu merkuri yang dilewati
mobil. Tak teraba. Aku tak tahu samasekali siapa orang-orang berkacamata hitam
ini.
“Apa
yang kalian inginkan dariku?” aku bertanya dengan garang.
Lagi,
kali ini bukan hanya moncong pistol. Tapi juga sebilah benda berkilat dengan
ujung runcing dan dingin menembus kemejaku.
Tiba-tiba,suara
ponsel berdering nyaring. Mereka semakin diam membatu ketika salah seorang yang
mengangkat telpon bilang dari si bos.
“Baik,
Pak!”
Hanya
itu yang diucapkan si pengangkat telepon. Entah apa yang mereka bicarakan?
Lantas,
kecepatan mobil kurasakan semakin kencang. Angin malam menyusup pelan dari
jendela mobil yang kacanya tak tertutup sempurna. Ah, ada apa dengan
orang-orang ini sebenarnya? Pikirku saat itu.
***
Aku
masih mencari di mana mayatku. Sejak aku dibunuh aku hampir lupa tentang
semuanya. Aku lupa jalan pulang ke rumahku. Aku lupa di mana aku berada saat
ini; alam kubur atau masih di bumi. Sebab semuanya begitu asing, meski sesekali
aku merasa pernah melewati jalan-jalan
ini. Bahkan beberapa wajah kadang berkelabat. Meski aku lupa-lupa ingat. Hanya
ada empat hal yang masih tersisa dalam kepalaku, pertama istriku, kedua
sepasang anak kembarku, ketiga orangtuaku dan yang terakhir pembunuhku. Ya.
Empat hal itulah yang paling aku ingat. Selebihnya, aku tak tahu ke mana.
Jujur,
aku seperti orang gila sekarang. Bajuku penuh bercak darah. Wajahku kurasakan
kumal luar biasa. Bahkan kuku jempol kakiku tercerabut sudah. Tapi tak sakit,
kepalaku apa lagi. Darah merembes dan syukurlah sudah berhenti. Aku binggung aku harus bertanya pada siapa.
Sebab setiap orang yang kutanyai di mana tubuhku selalu menjerit dan lari
tunggang langgang seperti baru saja melihat hantu. Ah, bodoh sekali orang-orang
itu.
Jadilah,
aku termanggu seperti orang linglung di pinggir jalan dekat pemakaman umum. Aku
selalu mengawasi di situ , siapa tahu ada mayat baru yang akan dikebumikan dan
itu aku. Tapi, jujur, aku belum mau mati sekarang. Aku masih ingin menegakkan
keadilan. Aku tidak akan bisa tenang jika orang-orang yang menculik, membunuh
dan merampas harta negara hidup dengan tenang. Aku harus segera menemukan
jasadku dan masuk kembali ke dalamnya. Mencari titik kehidupan, siapa tahu aku
masih punya harapan.
Oya,
aku belum menceritakan kemana aku dibawa. Seingatku, malam itu di bawah temaram
bulan sabit, mobil itu berhenti entah di mana, di sebuah lobi rumah sangat
mewah. Sebuah kawasan yang sangat sunyi.
Jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang selalu bunyi klakson. Ini benar-benar
tempat impianku; sebuah tempat yang asri dan baru kali itu aku ke sini dan
hanya ada satu bangunan saja.
Lalu,
mataku ditutup mereka. Tanganku diborgol. Percuma meronta, sebab mereka tak
segan meninju perutku dengan bringgas. Aku menurut saja ketika mereka
menggelandangku turun dari mobil hitam itu. Hampir semacam digeret. Aku hanya
bisa menduga-duga. Naluriku berkata, nyawaku terancam saat itu. Otakku sibuk
berpikir bagaimana bisa terlepas dari ketengangan ini. Nihil. Bahkan aku tidak
tahu lagi apa yang harus aku lakukan kecuali pasrah saja menuruti kemauan
mereka.
Aku
rasakan saat itu udara dingin begitu menyungkup. Jelas ini udara AC. Hidungku
mencium aroma segar. Lalu, penutup mataku dibuka paksa. Aku membelalakkan mata.
Mengitari sekitar. Masih buram. Retinaku belum fokus. Kukedipkan mata
berulang-ulang. Masih samar tapi perlahan mulai normal. Tak lama, aku mendengar
sebuah suara ritmis memantul. Suara langkah. Empat orang berkaca mata itu
keluar ruangan tiba-tiba. Aku baru sadar, teryata aku berada di sebuah ruangan
sangat mewah; sofa-sofa besar dan bukan buatan negeriku. Lemari-lemari antik
dan sederet keramik besar mengkilap yang juga bukan buatan negeriku.
Barang-barang di sini terkesan lux
dan tak sembarang orang mampu memilikinya.
“Selamat
datang di kediaman saya.” Sebuah suara menyergapku. Aku tergeragap ringan. Memutar
tubuhku mencari suara itu. Sebuah wajah yang begitu kental : Danu Atmajda, Orang
nomor satu negeri ini.
“Bapak?”
aku terkejut. Membungkuk sedikit penuh takzim. Tersenyum simetris.
“Silahkan
duduk. Tidak usah terlalu sungkan.”
Aku
menurut.
“Langsung
saja. Rumah ini akan saya berikan untuk anda. Jika anda mau bekerja sama.”
Aku
bergidik. Tak mengerti.
“Bunuh
saudara Nazared.”
Tercengang.
Ya. Aku sampai terlonjak dan berdiri dari kursiku.
“Anda?”
“Ya.
Tugasmu hanya itu. Saya yakin, tak akan ada satu orangpun yang akan mencurigai
anda.”
Kata-kataku
dipotongnya.
Aku
bergeming. Membunuh Nazared sama saja membenam bukti-bukti yang sebentar lagi
akan terkuak. Bukti yang sedang ditunggu-tunggu berjuta orang di seantero
pelosok negeri: siapa yang menjual negeri ini sampai habis babak belur dan
rakyatnya menjadi zombie.
“Tidak.
Saya tidak bisa.” Aku mengucapkan dengan nada dingin dan angkuh.
“Kau
menolak?” Laki-laki dengan pesona bagai malaikat itu menyipitkan matanya.
Alisnya menyatu.
Aku
tersenyum. Senyum satire. Lalu dengan
langkah gagah menyeret kedua kakiku meninggalkan tempat mewah ini. Setenang
mungkin. Seringan kapas. Merogoh saku. Mengambil ponsel. Menelepon pihak
penyidik. Namun…
DOOR!!
Sebuah
suara tembakan tiba-tiba. Aku limbung. Ambruk segera. Kepalaku pecah. Berhamburan
isinya. Darah muncrat. Berceceran di lantai. Setelah itu, aku mati.
***
Gelap
kembali menyungkup. Sudah berbulan-bulan aku seperti orang gila. Entah kemana
akan pergi. Aku mengikut saja langkah kaki membawa. Namun, yang masih aku
sesalkan, berita pembunuhan, penggelapan uang, peculikan, pemerkosaan kini
bosan dibicarakan. Malah, berita tentang penampakan hantu dengan isi kepala
terburai menjadi trending topik di
setiap media.
Tapi
aku tidak akan berhenti. Aku masih akan terus mencari, di mana mereka membuang
jasadku. Tolong, kalian bantu aku menemukan tubuhku atau jadilah saksi
kematianku.
Medan,
Rumah Baca FLP-SU 2011.
Oleh Abdillah Putra Siregar.
Puisi: Suci Widyasari
17.35
FLP Sumatera Utara
No comments
Sebuah Asa di Negeri Tercinta
Di Negeri ini Aku ada.
Sebuah perjalanan di tengah rasa galau remaja yang terus kutinggalkan.
Sedikitnya, gambaran jadi dewasa mulai ku gantungkan pada posisi yang serius
Dan di Negeri ini Aku telah ada.
Duduk sebagai kaum intelektual.
Kini kepalaku dua. Berkutat pada masalah sosial.
Masih pada Negeri yang kutinggali.
Kelak Aku tak ingin jadi penghuni setia, hanya menajdi patung.
Menjadi hiasan tapi tak menghiasi.
Lagi-lagi Aku sekarang ada.
Dan pada hitungan waktu yang kueja.
Tekadku bulat, beberapa bulan kedepan, Aku tidak berada di Negeri ini.
Agar kembali menjadi manusia yang bernyawa dan berkaya.
Sebuah perjalanan di tengah rasa galau remaja yang terus kutinggalkan.
Sedikitnya, gambaran jadi dewasa mulai ku gantungkan pada posisi yang serius
Dan di Negeri ini Aku telah ada.
Duduk sebagai kaum intelektual.
Kini kepalaku dua. Berkutat pada masalah sosial.
Masih pada Negeri yang kutinggali.
Kelak Aku tak ingin jadi penghuni setia, hanya menajdi patung.
Menjadi hiasan tapi tak menghiasi.
Lagi-lagi Aku sekarang ada.
Dan pada hitungan waktu yang kueja.
Tekadku bulat, beberapa bulan kedepan, Aku tidak berada di Negeri ini.
Agar kembali menjadi manusia yang bernyawa dan berkaya.
3 Maret 2012
Kisi-kisi Cinta Kita
Ya, aku menyebutnya
sebagai mimpi.
Tentang rumah yang di dalamnya ada Maple.
Ada celana goyang yang kusiapkan setiap mentari mulai terbangun.
Ada sarapan dan senyum hangat di atas meja makan.
Ya, juga tentang kemeja yang kau kenakan.
Warnanya cocok sekali dengan warna kulitmu.
Apalagi tentang rambutmu yang keikal-ikalan.
Aku sangat suka menatanya.
Sungguh gagah kau.
Tentang rumah yang di dalamnya ada Maple.
Ada celana goyang yang kusiapkan setiap mentari mulai terbangun.
Ada sarapan dan senyum hangat di atas meja makan.
Ya, juga tentang kemeja yang kau kenakan.
Warnanya cocok sekali dengan warna kulitmu.
Apalagi tentang rambutmu yang keikal-ikalan.
Aku sangat suka menatanya.
Sungguh gagah kau.
Januari 2012
Momiji Cinta
Tentang rumah Maple kita, si Momiji.
Kadang kusebut ia Maple, kadang kupanggil ia Momiji.
Ada Aku dan kelak buah hati kita.
Momiji kita harus tumbuh menjadikan romantisme sepanjang perjalanan cinta menujuNya.
Kadang kusebut ia Maple, kadang kupanggil ia Momiji.
Ada Aku dan kelak buah hati kita.
Momiji kita harus tumbuh menjadikan romantisme sepanjang perjalanan cinta menujuNya.
Lagi-lagi Aku mengintip
dari jari-jari daun Maple.
Apa ya, yang tak kusuka darimu?
Akh, mungkin karena Aku belum melihatmu secara terang-terangan. Ya, bisa jadi.
Selama ini, Aku hanya mengendap-endap jika pada suatu waktu yang sama.
Dan lagi-lagi, Aku berharap pada Tuhan kita.
Kelak, kau jadi terang bersamaku atau hillang.
Itu rahasia Tuhanku.
Apa ya, yang tak kusuka darimu?
Akh, mungkin karena Aku belum melihatmu secara terang-terangan. Ya, bisa jadi.
Selama ini, Aku hanya mengendap-endap jika pada suatu waktu yang sama.
Dan lagi-lagi, Aku berharap pada Tuhan kita.
Kelak, kau jadi terang bersamaku atau hillang.
Itu rahasia Tuhanku.
Januari 2012
Rabu, 25 April 2012
Puisi: Cipta Arief Wibawa
12.11
FLP Sumatera Utara
No comments
Ode Malam Buat
Gadisku
Malam adalah debar paling mesra yang selalu nikmat
kusantap bersama kerinduan. Lewat langit angin masih mengabarkan isyarat
tentang getar-getar romansa di wajahmu.
Fragmen malam yang
begitu absurd, kamar yang mendadak jadi kota dengan ribuan pemabuk gila tengah
sibuk berpesta, meracaui segala hal tentang bahasa hati yang tak akan pernah
bisa dimaknai. “Pada detik ini aku bayangkan hujan di luar tengah bergerak
lamban meninabobokan kita dengan cerita penantian. Daun yang purna dilabur
coklat keemasan pun gugur dan mengabadikan segala rentang usia pada
cacing-cacing kecil di tanah gembur milik petani,” lihat di ujung pematang,
pipit-pipit pulang dengan paruh kosong dan perut melompong!
Memang hanya untuk
sebuah malam yang begitu absurd. Di barat awan tengah memilin bintang,
mengingatkanku akan hatimu yang juga selalu menenun setiap episode hari yang
kubangun bersama senyuman dan air mata. Derap langkah kita yang meninggalkan
jejak-jejak cinta kelak akan kembali berubah menjadi kota. Tinggal di sana
kata-kata yang berangkai membariskan diri dalam sebentuk sajak-sajak alit pasal
asmara.
Penantian berarti
deret purnama yang berguguran di tengah ladang. Mengendap dan menjelma benih
bagi hati-hati yang setia mengamsal rindu di geriap kota yang mengabur dari
ingatan. Aku percaya musim itu, hari panen bagi petani dan pipit yang bersarang
di lesung pipi.
Langit dan angin (masih) mengabarkan isyarat tentang
getar-getar romansa di wajahmu.
Rumah Cahaya, 2012
Hatimu
Hatimu yang
tersangkut di tiang listrik sudut jalan pada gerimis malam gasal membuat langit
menjadi begitu terang meski tanpa bulan tanpa bintang. Aku yang merasa takjub
pun lantas segera terbang dan mengambil lembut hatimu untuk kubawa pulang agar
jadi penerang kamarku yang sudah sebulan ini gelap karena bola lampu yang
kubeli dulu hari di kios setengah hidup-setengah mati milik koko Liong telah
memilih untuk mati daripada menjalani hidupnya yang hanya sisa setengah itu.
Dalam pulang perjalanan aku senantiasa berharap semoga terang hatimu selalu
membuatku tersenyum meski perusahaan listrik yang katanya milik negara itu
kadang menyajikan noktah hitam pada malam-malam sederhana kita. Semoga….
Rumah Cahaya, 2012
Pada Suatu Natal
Pelan-pelan kita
berjalan menyusuri semak kabut pada pagi sepi dan gerimis tengah sibuk
wara-wiri. Pinus-pinus yang berbaris di kiri dan kanan kita seakan menjadi
dinding duri yang selalu saja senang menusuk-nusuk kulit kita yang legam.
Sekilas kulihat matamu begitu binar melahirkan bintang dan bulan serta secercah
harap yang bisa juga ditakar sebagai penantian. Karena tak akan ada lagi dingin
selain putihnya salju di bulan Desember, maka biarlah detik terhenti dan
menjadi pigura lukis di kamar tempat kita biasa menutup dan memulai segala
pernak-pernik hari.
Lonceng-lonceng
lahir pada katedral di kota yang lain. Kita melihat ke langit dan kini doa-doa
mengalun merdu dari suara bocah-bocah yang entah kenapa untuk episode sajak ini
memilih tidur pada kaos kaki yang digantung di dinding-dinding rumah mereka.
Cerobong asap adalah jalan bagi bohemian budiman. Abu di unggun mengepul dan
bersiap untuk mati.
: Aku ingin kita beranjak dari hari ini. Melangkah
pelan-pelan sambil sesekali mengerlingkan mata pada debu yang berputar di
belakang punggungmu. Semoga ada tempat untuk kita mati di altar suci misa
nanti.
Rumah Cahaya, 2012
Menyusuri Mata Ketiga Cinta
12.01
FLP Sumatera Utara
No comments
Judul Buku :
Mata Ketiga Cinta
Penulis : Helvy Tiana Rosa
Penerbit : AsmaNadia Publishing House
Cetakan : I, Februari 2012
Halaman : 84 Halaman
Penulis : Helvy Tiana Rosa
Penerbit : AsmaNadia Publishing House
Cetakan : I, Februari 2012
Halaman : 84 Halaman
Puisi sebagaimana diungkapkan Horatius
memiliki dua fungsi penting, yaitu fungsi keindahan/ kenikmatan dan
kegunaan/bermanfaat. Tidak semua puisi memiliki kedua fungsi tersebut. Ada yang
hanya memiliki fungsi keindahan/ kenikmatan saja, dimana kata-kata yang puitis
dan indah menjadi ciri utamanya. Dan ada yang hanya mengandung fungsi kegunaan/
bermanfaat saja, dimana makna dalam puisi tersebut menjadi pengantar bagi
pembaca untuk menyimpulkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Tiap penyair pun punya alasan kuat kenapa
sebuah puisi bisa tercipta dari penanya sendiri. Alasan-alasan yang bagi Ignas
Kleden disebut sebagai bentuk kegelisahan penyair. Ia menyebutkan bahwa ada
tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra (puisi
Pertama, kegelisahan politik, yang
mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah
struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan
alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan
menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Ada lagi
kegelisahan transedental, istilah yang lahir dari "tangan"
Kuntowijoyo pada 1982. Kegelisahan ini merupakan gambaran tentang hubungan
manusia dengan sang pencipta, yang menitikberatkan pada makna di balik kata,
sehingga karya sastra (puisi) yang dihasilkan tidak menonjolkan keindahan saja,
tapi juga bermanfaat buat kehidupan dan peradaban manusia.
"Mata Ketiga Cinta", sebagai buku
kumpulan puisi pilihan tentang cinta karya Helvy Tiana Rosa jika disusuri lebih
dalam merupakan kumpulan puisi yang memiliki fungsi keindahan dan kegunaan.
Penulis mampu meramu dan memadu-padankan kata-kata sederhana menjadi istimewa
dan puitis. Kiranya dari sini, pembaca akan mengaminkan bahwa beberapa puisi di
buku ini memang memiliki fungsi keindahan. Misalnya saja pada penggalan puisi
yang berjudul "Mata Ketiga Cinta" ini. Sebuah puisi yang menurut
penafsiran saya merupakan puisi yang mengungkapkan kehebatan dan kekuatan cinta
yang sebenarnya. Diksi pada puisi ini memang terkesan biasa, tapi kemampuan
penulis dalam meramunya menjadikan puisi ini menjadi begitu apik, nikmat dan
istimewa.
"Apakah dua mataku
yang kau larung dalam malam?
lalu hari-hari pun terbenam dalam secangkir kopi tanpa gula
daun-daun jatuh di luar jendela
dan sunyi menyanyikan lagi
lagu gergaji"
yang kau larung dalam malam?
lalu hari-hari pun terbenam dalam secangkir kopi tanpa gula
daun-daun jatuh di luar jendela
dan sunyi menyanyikan lagi
lagu gergaji"
Ada 40 puisi lagi dalam buku ini selain puisi
di atas yang ditulis antara tahun 1986 hingga 2011. Meski kesemua puisi
tersebut merupakan puisi tentang cinta tapi tiap puisi dalam buku ini memiliki
kegelisahan tersendiri hingga benar-benar lahir menjadi puisi yang puitis dan
sarat makna. Jika merunut pada apa yang dikatakan Ignas Kleden dan Kuntowijoyo,
puisi-puisi dalam buku ini merupakan puisi yang lahir dari kegelisahan politik
(puisi "Kepada Tuan Teroris"), metafisik (puisi "Thawaf),
eksistensial (puisi "1987" dan transedental (puisi "Fi
Sabilillah").
Helvy Tiana Rosa sudah menulis 50 buku dan
memperoleh berbagai penghargaan di bidang kepenulisan. Karena itu pula, tak
berbeda dengan buku-bukunya yang lain, "Mata Ketiga Cinta" ini pun
menjadi buku yang sangat nikmat untuk dibaca. Akhirnya, menyusuri "Mata
Ketiga Cinta", Helvy Tiana Rosa ini, kita seperti diajak bertualang untuk
memaknai cinta dari berbagai sudut pandang. Kita pun seperti dibujuk untuk
memaknai hakikat kehadiran cinta di tengah-tengah kita. "Mata Ketiga
Cinta" adalah ruang kita menyusuri makna cinta yang sebenarnya.
Oleh Fitri A. Batubara
Selasa, 17 April 2012
Resep Agar Istiqomah
11.39
FLP Sumatera Utara
No comments
“Yaa
Muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinika” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Siapapun di antara kita pastilah
ingin terus istiqomah di atas jalan yang haq. Namun permasalahan istiqomah
memang bukanlah perkara yang mudah, butuh perjuangan ekstra untuk bisa
mewujudkannya. Sebab kita manusia selalu lebih cenderung pada keburukan. Maka
tak salah jika kita mengamalkan doa yang di ajarkan oleh Rasullah SAW di atas.
Karena beliau pun senantiasa mengamalkannya, hal ini menunjukkan bahwa tak
seorang pun dari kita dapat memastikan bahwa kita akan terus istiqomah di atas
iman dan islam.
Terkait masalah istiqomah, Rasullah
SAW pernah didatangi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki itu bertanya: “Wahai
Rasullah, katakanlah kepadaku satu ungkapan tentang Islam, yang saya tidak
memintanya kepada seorang pun kecuali kepadamu.” Rasullah SAW bersabda
“Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah’”. (HR. Muslim)
Lagi-lagi kita kembali diingatkan
bahwa istiqomah adalah perkara yang urgen. Lalu hal apa saja yang dapat membuat
kita istiqomah hingga akhir hayat kita. Berikut jawabannya:
1.
Mengikhlaskan
niat dan amalan hanya kepada Allah Ta’ala
Niat
adalah suatu perkara yang harus senantiasa kita perbaiki dalam tiap perbuatan
kita, karena niat dapat berubah sewaktu-waktu. Suatu amal itu bernilai baik
atau buruk tergantung dari niatnya. Di sinilah kita sebagai seorang hamba
dituntut untuk senantiasa memurnikan niat hanya untuk Allah ta’ala dengan
tujuan agar mendapatkan ridho dariNya.
“Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaatiNya semata-mata
karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
2.
Mengikuti
sunnah Rasullah SAW
Yang
dikatakan istiqomah adalah istiqomah dalam hal kebaikan sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Rasullah SAW, jadi bukan disebut istiqomah jika kita tekun
mengamalkan amalan yang tidak diajarkan oleh Rasullah SAW.
Dari
Abu narjih, Al ‘Irbad bin sariyah Radhiallhu ‘anhu ia berkata: ‘”Rasulullah
telah memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati
dan membuat airmata bercucuran”, kami bertanya ‘Wahai Rasullah, nasehat itu
seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah selamanya (meninggal), maka
berilah kami nasehat’, Rasulullah bersabda “Saya memberi nasehat kepadamu agar
tetap bertaqwa kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar
dan ta’at meskipun yang memerintahmu seorang hamba sahaya (budak). Sesungguhnya
barangsiapa di anatara kalian masih hidup niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan.
Karena itu berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus
dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal yang baru
karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat. “ (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
3.
Menuntut
ilmu syar’i dan sering duduk di Majelis ilmu
Keistiqomahan
akan lahir apabila kita sering duduk di majelis ilmu bersama dengan orang-orang
sholih. Sebab hanya di majelis ilmulah kita menemukan wajah-wajah para perindu
surga, dengan begitu keinginan untuk terus berlomba-lomba dalam kebaikan akan
hadir dengan sendirinya. Rasullah SAW bersabda:
“Apabila
kamu melewati taman-taman surga, mak minumlah sampai puas”, para sahabat
bertanya “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan taman-taman surga itu?” Rasul
menjawab “Majelis-majelis ilmu.” (HR. Thabrani)
4.
Berteman
dengan orang yang baik akhlaknya (sholih)
“Seseorang
berada di atas agama sahabat karibnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian
memperhatikan siapakah yang menjadi sahabat karibnya.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi)
Memilih
teman dekat adalah prioritas utama dalam Islam, sebab seorang teman sangat
berpengaruh untuk kita, maka hendaklah kita hanya berteman dengan orang-orang
yang baik akhlaknya. Yang senantiasa bisa memberikan teladan yang baik pada kita,
senantiasa mengingatkan kita akan kebaikan, karena merekalah sebaik-baik teman.
5.
Meninggalkan
Ma’siat
Ketika
melakukan suatu kejahatan (ma’siat) maka pada hakikatnya akan tercipta satu
noda di hati kita. Dan noda tersebut akan terus bertambah seiring dengan
seringnya kita melakukan ma’siat hingga lambat laun hati kita menjadi pekat.
Demikianlah perumpaan orang yang berma’siat. Hati menjadi sulit menerima
hidayah dan dengan begitu ia akan jatuh pada kefuturan sebab tak ada lagi
lentera dalam hatinya. Maka salah satu kunci istiqomah adalah meninggalkan
ma’siat dan bertaubat dengan sebenar-benar taubat kepada Allah ta’ala.
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kepada Allah dengan sebenar-benar
taubat, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan
memasukkan kamu kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
(QS:66:8)
6.
Perbanyak
Tahajud
Sepertiga
malam adalah waktu paling berharga karena di saat itulah Allah turun ke bumi
dan mengabulkan permohonan hambaNya yang sungguh-sungguh. Maka bruntunglah
orang-orang yang senantiasa menegakkan sholat Tahajud karena ia akan menjadi suatu
lentera yang dapat menjaga keimanan seorang muslim.
“Mereka
sedikit sekali tidur pada waktu malam”. (QS:51:17)
Dan
mari kita berdoa semoga kita senantiasa menjadi hamba yang istiqomah di atas
DienNya yang haq. Wallahu A’lam.
*Penulis
adalah Tholibat Ma’had Abu Ubaidah bin Al Jarrah Medan bergiat di FLP SU, WSC,
dan LRS Medan.
Puisi: Eza Budiono
09.30
FLP Sumatera Utara
1 comment
Musim Hujan
Di
Negeriku sedang musim hujan
Setiap
malam hujan, setiap pagi juga hujan
Tapi
aku tidak pernah basah oleh hujan
Padahal
aku tepat berada dibawah langit yang mencurahkan hujan
Padahal
aku tidak berteduh di bawah kolong jembatan ataupun atap hotel bernama
kemewahan
Tapi
aku tidak pernah basah oleh hujan
Soalnya,
aku sudah membayar hujan untuk tak mengguyurku
Bocor
Seperti
biasa, aku membaca berita Online di
dunia maya
Katanya,
antara Mesi dan Ronaldo ada Falcao
Antara
presiden dan rakyat ada penyusup yang membocorkan pidato
Ah,
aku jadi curiga. Jangan-jangan dia juga yang membocorkan atap sekolah kami
Pun aku semakin curiga, bahwa dia yang telah membocorkan soal UN kami
Berita
Sebuah
supermarket yang biasanya buka hingga 24 jam akhir-akhir ini tutup karena takut
atas gang motor yang semakin menjadi-jadi.
Para orang tua memperingatkan anaknya untuk tidak pulang terlarut malam
akibat isu yang semakin merebak ini, terakhir, Genk motor yang bringas ini
berhasil membuat empat remaja tanggung babak belur dan di duga turut andil atas
ditemukannya sebuah mayat yang hangus terbakar di daerah persawahan di Jawa.
Tapi polisi mengatakan pada warga agar jangan takut untuk keluar malam.
Sebuah
Negara tetap buka hingga saat ini walau semakin banyak pemimpinnya yang
korupsi, yang tidak perduli pada keadaan rakyat malah menghabiskan waktu untuk
mencari pelaku pembocoran pidato masal yang dilakukan. Tuhan baru saja
mengingatkan negeri itu dengan sebuah goncangan gempa yang dahsat yang berulang-ulang. Para orang tua
mengatakan pada anaknya untuk tidak mencontoh para pemimpin negeri ini,
orang-orang cerdas senantiasa meninggalkan negeri ini untuk menikmati
kecerdasan mereka di negeri lain yang mengakui kecerdasan, bukan negeri yang
mengakui tikus berdasi. Pengaman Negara mengatakan pada tikus-tikus itu agar
jangan takut untuk korupsi lagi asal saya dapat bagian.
Kisah Liris di Setiap Senja
07.45
FLP Sumatera Utara
No comments
Kau suka senja
ya?
Ya.
Aku begitu tergila-gila dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu.
Ungu seperti kita. Seperti darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak
kemana-mana, hahahaha walau kita tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja
dengan mati.
Kita
ini sebenarnya tak pernah memahami bagaimana kesedihan sejatinya berjalan.
Lanskap pantai, karang, dan camar-camar yang mengantar senja pulang seharusnya
jadi salah satu cerita romantis bagi kita yang kekasih. Mungkin memang
beginilah cara semesta mengajarkan hidup bagi setiap makhluk. Termasuk bagi
kau, seorang yang biasa kuakrabi sebagai, “senja”. Seorang yang lalu merubah
segala skenario yang—boleh jadi—pernah disusun Tuhan terhadapku….
Untuk
kita yang kekasih, apakah perjumpaan memiliki kadar yang sama pentingnya dengan
perpisahan? Kuperhatikan kedalaman matamu yang pekat. Hanya ada segaris senja
yang kusam di sana. Ah, apakah selama ini rasa yang kau uraikan adalah sebuah
kebohongan? (Tapi bagaimana mungkin sebuah cinta bisa berbohong, bukankah ia
lahir dari ketulusan?).
Deret
hari bagi kita adalah detik yang pasti telah mengkhianati waktu sebab terlalu
cepat jalannya, begitulah candamu suatu ketika saat senja hampir tiba di tubir
cakrawala. Kau terus menatapku, matamu seperti tombak yang runcing menusuk
setiap jengkal rasa di dalam dada. Aku tak perduli. Jika memang seperti ini
nikmatnya terluka, maka biarlah luka itu terus tumbuh di tubuhku, mengalirkan
tetes-tetes darah untuk terus kunikmati. Ada sesuatu yang dengan begini akan
membuatku mengerti….
****
Ini
senja yang keberapa sejak bumi tercipta? Mungkin sama tak terjawabnya jika kau
bertanya itu kepada pagi, siang, atau malam. Tak penting.
“Apa
mungkin perasaan itu bisa digambarkan”
“Tentu
saja.” Aku menjawab dengan cepat.
“Bagaimana
bisa? Tak ada yang pernah menggambar perasaan sebelumnya, kan?”
Ah,
senja ini hampir padam. Wajah manismu yang sendu pun sebentar lagi akan padam.
Aku belum lagi sempat belajar untuk menerima sakitnya perpisahan. Harus
bagaimana sekarang?
“Kau
tahu perasaan dia padamu?” Aku menunjuk dadaku. Ada hati di sana.
“Tahu?
Tentu saja tidak.”
“Maukah
kau kugambarkan bagaimana perasaannya saat ini?”
Kau
mengangguk dengan cepat. Antusias sekali. Mata sendumu untuk sekejap
berbinar-binar seperti satu-dua bintang yang saat ini mulai muncul meski masih
terlihat pucat. Aku tak melakukan apa pun. Hanya diam menatapmu dengan lamat.
Sampai lama. Sampai mungkin kau merasa risih dan lantas tersipu. Harusnya
sekarang kau telah paham, kita bisa menggambar tak hanya dengan kuas dan
kanvas. Lewat kata, tatap mata, senyuman, dan banyak hal lain selalu bisa jadi
medium untuk kita menggambar beragam hal, sayang. Seperti saat ini, saat
pelan-pelan hujan turun, kau dan aku semakin dekat dan kita terus menggambar,
entah apa itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu. Ah, ya. Ini senja yang
keberapa ya sejak bumi tercipta?
****
Aku
ingat sekali, September tahun itu untuk pertama kalinya aku belajar mengucap
janji. Sungguh ini hal yang amat bersejarah bagiku. Buatku yang tak pernah
mengerti arti dari keseriusan ini, janji adalah barang mahal yang tidak setiap
hari bisa kubeli. Sialnya lagi, kaulah justru yang jadi orang pertama yang mau
menerima janjiku. Maka lagi-lagi saat senja, ketika ombak sedang
pasang-pasangnya dan angin tengah kencang membelai tubuh kita, malaikat pun
bertaburan dari langit membawa sekantung mawar yang lalu ia taburkan ke
hati-hati kita.
“Mungkin
ini senja yang indah ya. Maukah kau bernyanyi untukku?”
“Hah?
Aku tak pandai menyanyi. Lagipula untuk apa?”
“Untuk
perpisahan kita. Memangnya ada alasan lain selain itu?” Begitulah kau bertutur
seolah semua yang baru saja keluar dari bibirmu adalah hal yang biasa.
“Kau
aneh!”
“Biar. Please, mau ya?”
Setelahnya
musim begitu cepat berlalu. Setiap hari aku begitu sibuk melingkari sederet
angka di dinding sambil menghitung sudah berapa lama sejak hari terakhir kita
bertemu. Sekarang adalah hari ulang tahunku. Begitu banyak orang yang
memberikan doa serta selamat di hari ini. Tapi semua begitu terasa kosong.
Seolah semua kata yang mereka berikan hanyalah nasi yang takkan pernah enak
dimakan tanpa lauk-pauk yang menyertainya.
“Hmm,
seseorang itu hanya akan berarti ketika ia menjadi yang pertama atau terakhir.
Tidak jika di tengah.” Dulu, dulu sekali kau pernah bercerita itu di senja yang
syahdu. Sebelum malaikat mengajakmu menari.
****
Ini
senja yang keberapa sejak bumi tercipta? Ini senja yang keberapa sejak aku tak
lagi memanggil namamu ya? Tunas-tunas rindu begitu subur tersemai di ladang
hatiku. Padahal tak pernah disiram. Mungkin rindu ini seperti perdu yang tak
membutuhkan perhatian untuk terus hidup. Ia akan terus tumbuh dan semakin
besar. Tak akan pernah mati meski kau memangkasnya. Hingga nanti saat
kesadaranmu perlahan kembali, kau telah terlanjur kehilangan dan tak lagi mampu
memahami tentang rasamu
Sejauh
yang masih kuingat dengan samar adalah senyummu yang perlahan memudar menjadi
mimpi di hampir setiap malamku. Semua hal ini begitu berat untuk kulalui
sendiri. Pelan-pelan aku mulai bingung mencari beda antara absurdisme dan
realita atas bayang wajahmu. Dalam sendiri begini aku coba menciptakan senjaku.
Sebuah dunia dengan kilau ungu yang bersinar kala matahari hampir jatuh di
batas horison. Mungkin kau bertanya kenapa bukan warna lembayung yang
melengkapi senja. Aku tak tahu jawabnya. Ini duniaku. Semua terjadi begitu saja
atas apa yang aku pikirkan. Senja, mari kita menari dalam suasana yang romantis
ini.
“Aku
rindu saat-saat seperti ini.” Tuturmu begitu lembut dan renyah sampai
telingaku.
“Ya.
Begitu hangat, begitu damai. Mungkinkah ini yang namanya surga ya?”
“Jangan
bercanda, di surga kurasa takkan ada yang namanya hati”
“Bagaimana
mungkin hati tak ada? Kau mengarang.”
“Jelas
tak ada. Hati itu memiliki dua sisi. Suka dan duka. Di surga tak ada duka”
“Benarkah?
Aku baru tahu hal itu”
Ya,
kekasih. Ternyata kisah ini bukanlah sebuah duka yang harus kubawa sepanjang
hari. Aku akan selalu melangkah menjalani seluruh musim. Menghadiri setiap
pesta senja meski kau tak ada. Meski kau tak ada, Senja.
****
Sebuah
nisan yang bertuliskan namamu terus kupandangi dengan amat lekat. Sama seperti
saat pertama kalinya aku mencontohkan bagaimana rasa itu bisa digambar meski
bukan di atas kanvas. Senja, tidakkah kau lihat sore ini begitu indah.
Bulir-bulir air di bola mataku tampak berkilauan di terpa lembayung. Senja ini
belum akan berakhir. Setidaknya sampai tetes-tetes ungu yang mengalir di nadiku
ini habis….
“Percayakah
kau, andai kehidupan masih ada untuk kita, maka aku memilih untuk hidup
bersamamu.”
“Benarkah?
Aku juga….” Tersenyum
“Hanya
begitu?”
“Ya.
Memang apa lagi? Ayo, senja sudah hampir berakhir.”
Kita
pun saling bergandengan tangan. Berlari dengan kencang menuju muara senja.
Sangat kencang. Dan pelan-pelan tubuh kita bercahaya. Mulai dari tangan, kaki,
wajah, hati, dan seluruh tubuh kita kini telah menjadi cahaya. Bukan ungu. Tapi
oranye. Untuk yang terakhir aku bisa melihat kau tersenyum. Manis. Amat manis
untuk kuabadikan dalam memori terakhir imajiku.
****
Aku
begitu tergila-gila dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu. Ungu
seperti kita. Seperti darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak
kemana-mana, hahahaha walau kita tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja
dengan mati. Mati yang indah tentunya….
Rumah cahaya, 2012
Puisi: Jaka Satria
07.33
FLP Sumatera Utara
No comments
NAFAS RINDU
Telah
kunyalakan api di ujung rindu
jika
kau mengerti tambahkan tetes rindumu
agar
ia semakin semerbak
menjadi
api cinta dalam jarak bahgia duka
luka
liku suka cita
mari
kita tambahkan lilin kecil di keliling taman hati
biarkan
nafasmu dan nafasku
nafas
kita
menjadi
api yang tak pernah padam
dalam
taman doa, kolam asmara
bunga-bunga
dzikir malam kita
Rumcay
FLP Sumut, Februari 2012
DOA CINTA PADA PAGI YANG BERANJAK
Ya
Robbi
ini
adalah rindu yang tak mungkin
kuikatkan
di hatiku selain padaMu
Ya
Robbi
ini
adalah kasih yang kusemai
dan
kutanam di jiwaku
hanya
untukMu
Ya
Robbi
inilah
cinta
yang
selalu kupasrahkan dalam doa
dan
sujud padaMu
PadaMu
Rabb ku
yang
telah menutup mata hati dari kemolekan duniawi
dalam
keteguhan menahan diri
Rumah
Cahaya
PERAYAAN MAULID
Puisi
adalah lantang suara perkenalan jiwa
di
romantisme malam percintaan
Ku
dengan hujan yang menjadi musik pengiring
dan
gemuruh sahutan penghargaan.
Sungguh
rindu ini Maha nikmatnya
untuk
terus meneguk berkah anggur cintaMu
dalam
perayaan malam yang hujan airmata doa, dan
hati
yang telah basah.
Aku
kekal di taman doa, taman rindu, taman cinta kita
Kekasih
Malam
Maulid di Beranda Mesjid. 2012
PERTANYAAN TAK TERJAWAB
Ah,
kenapa malam tak lari saja ke bibir pantai
lalu
berenang
memecah
hening di samudera luas
menabur bunga mimpi
kemudian
berharap pada zikir, agar lautan kembali terang
karangkarang
bermekaran, ikanikan kegirangan
(laut
masih tidur)
Huh,
apa pagi tak bisa pindah ke hutan?
terlalu
gersang tanpa dedaunan
sujud dhuha tak lagi diritualkan
lalu,
dimana bukitbukit tengadah
beragam
doa
beragam
kata
Pada
siapa aku harus bertanya
Semua
membisu.
Pada
mu?
Rumah
Cahaya, Desember 2011