Dalam
beberapa hari saja hidupku berubah. Ya. Berubah tanpa sekalipun pernah aku
berpikir tentang ini semua: aku mati. Mati dibunuh. Tragis, bukan? Dan seperti
yang kubilang barusan. Kematian dengan cara dibunuh tidak pernah terpikir di
benakku, apalagi sampai terjadi. Dan sekarang, malangnya jasadku belum
diketemukan, sementara aku sendiri juga tidak tahu, di mana mayatku dibuang .
Maka,
jadilah sekarang aku gentayangan. Wara-wiri mencari mayatku sendiri. Singgah
dari satu pemakaman ke pemakaman lain yang ada di kotaku. Siapa tahu ada namaku
tertera di batu nisan. Meski yang kudapati hanya kelelahan mencari. Percuma
menunggu. Aku sudah hampir putus asa. Sebab semua mayat yang baru saja dikubur
di sini adalah bukan mayat mati dibunuh. Mereka mati wajar; bersebab sakit atau
korban tabrak lari. Sedang aku belum mau mati tapi dipaksa mati.
Aku coba ingat-ingat kejadian tragis malam
itu. Masih pukul sebelas. Usai pulang dari kantor, baru saja sampai di
lobi. Aku disergap oleh beberapa orang
berkaca mata hitam. Mereka membekap mulutku dengan sapu tangan. Pun pula hitam
warnanya. Aku meronta. Kakiku menendang-nendang ke segala arah. Mustahil, sebab
badan mereka besar-besar semua.
Lantas
aku digeret paksa masuk dalam sebuah mobil Zanava
hitam. Aku digiring membabi buta. Meronta dan mau berteriak. Tapi, moncong pistol
telah menekan perutku. Ah, konyol sekali orang-orang ini. Beraninya keroyokan
dan main senjata. Pengecut!
“Kalian
siapa dan mau apa?” kataku waktu itu. Eh, mereka diam. Bergeming dengan dagu
terangkat. Angkuh sekali.
“Kalian
siapa dan mau apa?” aku menanyai lagi. Galak. Dan moncong pistol itu semakin
kuat menekan perutku. Isyarat bahwa aku tak boleh banyak tanya. Dan kedua
pergelangan tanganku semakin dicengkram kuat.
Mobil
terus melaju di tengah malam hampir buta.
Konyol sekali, aku diculik. Apa yang mereka inginkan sebenarnya. Seumur
hidup aku bertekad untuk tidak mencari permusuhan dengan siapapun. Pun aku
hanya seorang pegawai pemerintah biasa, yang bertugas mengungkap kasus penggelapan uang di
negeriku. Itu juga masih sebatas penyidik. Bukan mafia judi kelas paus dengan
semesta kekuasaan apalagi milyuner. Mau apa mereka menculikku.
Aku
pandangi wajah mereka di tengah temaram percikan lampu merkuri yang dilewati
mobil. Tak teraba. Aku tak tahu samasekali siapa orang-orang berkacamata hitam
ini.
“Apa
yang kalian inginkan dariku?” aku bertanya dengan garang.
Lagi,
kali ini bukan hanya moncong pistol. Tapi juga sebilah benda berkilat dengan
ujung runcing dan dingin menembus kemejaku.
Tiba-tiba,suara
ponsel berdering nyaring. Mereka semakin diam membatu ketika salah seorang yang
mengangkat telpon bilang dari si bos.
“Baik,
Pak!”
Hanya
itu yang diucapkan si pengangkat telepon. Entah apa yang mereka bicarakan?
Lantas,
kecepatan mobil kurasakan semakin kencang. Angin malam menyusup pelan dari
jendela mobil yang kacanya tak tertutup sempurna. Ah, ada apa dengan
orang-orang ini sebenarnya? Pikirku saat itu.
***
Aku
masih mencari di mana mayatku. Sejak aku dibunuh aku hampir lupa tentang
semuanya. Aku lupa jalan pulang ke rumahku. Aku lupa di mana aku berada saat
ini; alam kubur atau masih di bumi. Sebab semuanya begitu asing, meski sesekali
aku merasa pernah melewati jalan-jalan
ini. Bahkan beberapa wajah kadang berkelabat. Meski aku lupa-lupa ingat. Hanya
ada empat hal yang masih tersisa dalam kepalaku, pertama istriku, kedua
sepasang anak kembarku, ketiga orangtuaku dan yang terakhir pembunuhku. Ya.
Empat hal itulah yang paling aku ingat. Selebihnya, aku tak tahu ke mana.
Jujur,
aku seperti orang gila sekarang. Bajuku penuh bercak darah. Wajahku kurasakan
kumal luar biasa. Bahkan kuku jempol kakiku tercerabut sudah. Tapi tak sakit,
kepalaku apa lagi. Darah merembes dan syukurlah sudah berhenti. Aku binggung aku harus bertanya pada siapa.
Sebab setiap orang yang kutanyai di mana tubuhku selalu menjerit dan lari
tunggang langgang seperti baru saja melihat hantu. Ah, bodoh sekali orang-orang
itu.
Jadilah,
aku termanggu seperti orang linglung di pinggir jalan dekat pemakaman umum. Aku
selalu mengawasi di situ , siapa tahu ada mayat baru yang akan dikebumikan dan
itu aku. Tapi, jujur, aku belum mau mati sekarang. Aku masih ingin menegakkan
keadilan. Aku tidak akan bisa tenang jika orang-orang yang menculik, membunuh
dan merampas harta negara hidup dengan tenang. Aku harus segera menemukan
jasadku dan masuk kembali ke dalamnya. Mencari titik kehidupan, siapa tahu aku
masih punya harapan.
Oya,
aku belum menceritakan kemana aku dibawa. Seingatku, malam itu di bawah temaram
bulan sabit, mobil itu berhenti entah di mana, di sebuah lobi rumah sangat
mewah. Sebuah kawasan yang sangat sunyi.
Jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang selalu bunyi klakson. Ini benar-benar
tempat impianku; sebuah tempat yang asri dan baru kali itu aku ke sini dan
hanya ada satu bangunan saja.
Lalu,
mataku ditutup mereka. Tanganku diborgol. Percuma meronta, sebab mereka tak
segan meninju perutku dengan bringgas. Aku menurut saja ketika mereka
menggelandangku turun dari mobil hitam itu. Hampir semacam digeret. Aku hanya
bisa menduga-duga. Naluriku berkata, nyawaku terancam saat itu. Otakku sibuk
berpikir bagaimana bisa terlepas dari ketengangan ini. Nihil. Bahkan aku tidak
tahu lagi apa yang harus aku lakukan kecuali pasrah saja menuruti kemauan
mereka.
Aku
rasakan saat itu udara dingin begitu menyungkup. Jelas ini udara AC. Hidungku
mencium aroma segar. Lalu, penutup mataku dibuka paksa. Aku membelalakkan mata.
Mengitari sekitar. Masih buram. Retinaku belum fokus. Kukedipkan mata
berulang-ulang. Masih samar tapi perlahan mulai normal. Tak lama, aku mendengar
sebuah suara ritmis memantul. Suara langkah. Empat orang berkaca mata itu
keluar ruangan tiba-tiba. Aku baru sadar, teryata aku berada di sebuah ruangan
sangat mewah; sofa-sofa besar dan bukan buatan negeriku. Lemari-lemari antik
dan sederet keramik besar mengkilap yang juga bukan buatan negeriku.
Barang-barang di sini terkesan lux
dan tak sembarang orang mampu memilikinya.
“Selamat
datang di kediaman saya.” Sebuah suara menyergapku. Aku tergeragap ringan. Memutar
tubuhku mencari suara itu. Sebuah wajah yang begitu kental : Danu Atmajda, Orang
nomor satu negeri ini.
“Bapak?”
aku terkejut. Membungkuk sedikit penuh takzim. Tersenyum simetris.
“Silahkan
duduk. Tidak usah terlalu sungkan.”
Aku
menurut.
“Langsung
saja. Rumah ini akan saya berikan untuk anda. Jika anda mau bekerja sama.”
Aku
bergidik. Tak mengerti.
“Bunuh
saudara Nazared.”
Tercengang.
Ya. Aku sampai terlonjak dan berdiri dari kursiku.
“Anda?”
“Ya.
Tugasmu hanya itu. Saya yakin, tak akan ada satu orangpun yang akan mencurigai
anda.”
Kata-kataku
dipotongnya.
Aku
bergeming. Membunuh Nazared sama saja membenam bukti-bukti yang sebentar lagi
akan terkuak. Bukti yang sedang ditunggu-tunggu berjuta orang di seantero
pelosok negeri: siapa yang menjual negeri ini sampai habis babak belur dan
rakyatnya menjadi zombie.
“Tidak.
Saya tidak bisa.” Aku mengucapkan dengan nada dingin dan angkuh.
“Kau
menolak?” Laki-laki dengan pesona bagai malaikat itu menyipitkan matanya.
Alisnya menyatu.
Aku
tersenyum. Senyum satire. Lalu dengan
langkah gagah menyeret kedua kakiku meninggalkan tempat mewah ini. Setenang
mungkin. Seringan kapas. Merogoh saku. Mengambil ponsel. Menelepon pihak
penyidik. Namun…
DOOR!!
Sebuah
suara tembakan tiba-tiba. Aku limbung. Ambruk segera. Kepalaku pecah. Berhamburan
isinya. Darah muncrat. Berceceran di lantai. Setelah itu, aku mati.
***
Gelap
kembali menyungkup. Sudah berbulan-bulan aku seperti orang gila. Entah kemana
akan pergi. Aku mengikut saja langkah kaki membawa. Namun, yang masih aku
sesalkan, berita pembunuhan, penggelapan uang, peculikan, pemerkosaan kini
bosan dibicarakan. Malah, berita tentang penampakan hantu dengan isi kepala
terburai menjadi trending topik di
setiap media.
Tapi
aku tidak akan berhenti. Aku masih akan terus mencari, di mana mereka membuang
jasadku. Tolong, kalian bantu aku menemukan tubuhku atau jadilah saksi
kematianku.
Medan,
Rumah Baca FLP-SU 2011.
Oleh Abdillah Putra Siregar.
0 komentar:
Posting Komentar