Di Kota Tua
Sebab
pada kota tua. Barus. Tak ada kendaraan yang berkejaran, tak ada pasar yang
berdendang dan tak ada pembangunan yang tumbuh membesar. Yang terdengar hanya
dendangan ombak di landai pantai, kepiting yang berkejaran dari lubang ke
sarang, kehidupan yang membesar bagi partai partai.
Antara
Sibolga Barus, kutemukan sejengkal layar. Tak ada kapal yang tak sampai.
Bingkisan botol kertaspun tak akan lunglai menyeberang antaranya. Tak ada
kendaraan, tak ada pasar, tak ada pembangunan. Yang kutemukan hanya partai
partai.
Lencana
sejarah yang ia kenakan, mungkin telah luntur dimakan zaman. Gelar peradaban
yang dulu ia sandang, mungkin telah habis ditelan bumi. Entah dimana
kerangkanya.
Barus
kota tua, telah mati. Mati karena usia, mati karena lelah. Yang kini hidup
hanyalah bukti umur saja. Pada Papan Tinggi, setinggi barisan bukit bukit
pengeja. Di tangannya telah tumbuh angsana dosa dosa. Dari tungkai sampai ke
tangkai. Di pinggir kakinya, ternak babi berkeliaran: di makam suci ulama
pembawa ajaran Islam. Di gubuk tua, terdapat makam makam pengikutnya. Tak ada
permata hanya airmata.
Di
kota tua, telah pupus sejarah. Mungkin karena usia ataupun sudah renta.
Medan,
September 2011
Diterbitkan
dalam antologi puisi Narasi Tembuni KSI Award 2012
0 komentar:
Posting Komentar