Kau suka senja
ya?
Ya.
Aku begitu tergila-gila dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu.
Ungu seperti kita. Seperti darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak
kemana-mana, hahahaha walau kita tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja
dengan mati.

Untuk
kita yang kekasih, apakah perjumpaan memiliki kadar yang sama pentingnya dengan
perpisahan? Kuperhatikan kedalaman matamu yang pekat. Hanya ada segaris senja
yang kusam di sana. Ah, apakah selama ini rasa yang kau uraikan adalah sebuah
kebohongan? (Tapi bagaimana mungkin sebuah cinta bisa berbohong, bukankah ia
lahir dari ketulusan?).
Deret
hari bagi kita adalah detik yang pasti telah mengkhianati waktu sebab terlalu
cepat jalannya, begitulah candamu suatu ketika saat senja hampir tiba di tubir
cakrawala. Kau terus menatapku, matamu seperti tombak yang runcing menusuk
setiap jengkal rasa di dalam dada. Aku tak perduli. Jika memang seperti ini
nikmatnya terluka, maka biarlah luka itu terus tumbuh di tubuhku, mengalirkan
tetes-tetes darah untuk terus kunikmati. Ada sesuatu yang dengan begini akan
membuatku mengerti….
****
Ini
senja yang keberapa sejak bumi tercipta? Mungkin sama tak terjawabnya jika kau
bertanya itu kepada pagi, siang, atau malam. Tak penting.
“Apa
mungkin perasaan itu bisa digambarkan”
“Tentu
saja.” Aku menjawab dengan cepat.
“Bagaimana
bisa? Tak ada yang pernah menggambar perasaan sebelumnya, kan?”
Ah,
senja ini hampir padam. Wajah manismu yang sendu pun sebentar lagi akan padam.
Aku belum lagi sempat belajar untuk menerima sakitnya perpisahan. Harus
bagaimana sekarang?
“Kau
tahu perasaan dia padamu?” Aku menunjuk dadaku. Ada hati di sana.
“Tahu?
Tentu saja tidak.”
“Maukah
kau kugambarkan bagaimana perasaannya saat ini?”
Kau
mengangguk dengan cepat. Antusias sekali. Mata sendumu untuk sekejap
berbinar-binar seperti satu-dua bintang yang saat ini mulai muncul meski masih
terlihat pucat. Aku tak melakukan apa pun. Hanya diam menatapmu dengan lamat.
Sampai lama. Sampai mungkin kau merasa risih dan lantas tersipu. Harusnya
sekarang kau telah paham, kita bisa menggambar tak hanya dengan kuas dan
kanvas. Lewat kata, tatap mata, senyuman, dan banyak hal lain selalu bisa jadi
medium untuk kita menggambar beragam hal, sayang. Seperti saat ini, saat
pelan-pelan hujan turun, kau dan aku semakin dekat dan kita terus menggambar,
entah apa itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu. Ah, ya. Ini senja yang
keberapa ya sejak bumi tercipta?
****
Aku
ingat sekali, September tahun itu untuk pertama kalinya aku belajar mengucap
janji. Sungguh ini hal yang amat bersejarah bagiku. Buatku yang tak pernah
mengerti arti dari keseriusan ini, janji adalah barang mahal yang tidak setiap
hari bisa kubeli. Sialnya lagi, kaulah justru yang jadi orang pertama yang mau
menerima janjiku. Maka lagi-lagi saat senja, ketika ombak sedang
pasang-pasangnya dan angin tengah kencang membelai tubuh kita, malaikat pun
bertaburan dari langit membawa sekantung mawar yang lalu ia taburkan ke
hati-hati kita.
“Mungkin
ini senja yang indah ya. Maukah kau bernyanyi untukku?”
“Hah?
Aku tak pandai menyanyi. Lagipula untuk apa?”
“Untuk
perpisahan kita. Memangnya ada alasan lain selain itu?” Begitulah kau bertutur
seolah semua yang baru saja keluar dari bibirmu adalah hal yang biasa.
“Kau
aneh!”
“Biar. Please, mau ya?”
Setelahnya
musim begitu cepat berlalu. Setiap hari aku begitu sibuk melingkari sederet
angka di dinding sambil menghitung sudah berapa lama sejak hari terakhir kita
bertemu. Sekarang adalah hari ulang tahunku. Begitu banyak orang yang
memberikan doa serta selamat di hari ini. Tapi semua begitu terasa kosong.
Seolah semua kata yang mereka berikan hanyalah nasi yang takkan pernah enak
dimakan tanpa lauk-pauk yang menyertainya.
“Hmm,
seseorang itu hanya akan berarti ketika ia menjadi yang pertama atau terakhir.
Tidak jika di tengah.” Dulu, dulu sekali kau pernah bercerita itu di senja yang
syahdu. Sebelum malaikat mengajakmu menari.
****
Ini
senja yang keberapa sejak bumi tercipta? Ini senja yang keberapa sejak aku tak
lagi memanggil namamu ya? Tunas-tunas rindu begitu subur tersemai di ladang
hatiku. Padahal tak pernah disiram. Mungkin rindu ini seperti perdu yang tak
membutuhkan perhatian untuk terus hidup. Ia akan terus tumbuh dan semakin
besar. Tak akan pernah mati meski kau memangkasnya. Hingga nanti saat
kesadaranmu perlahan kembali, kau telah terlanjur kehilangan dan tak lagi mampu
memahami tentang rasamu
Sejauh
yang masih kuingat dengan samar adalah senyummu yang perlahan memudar menjadi
mimpi di hampir setiap malamku. Semua hal ini begitu berat untuk kulalui
sendiri. Pelan-pelan aku mulai bingung mencari beda antara absurdisme dan
realita atas bayang wajahmu. Dalam sendiri begini aku coba menciptakan senjaku.
Sebuah dunia dengan kilau ungu yang bersinar kala matahari hampir jatuh di
batas horison. Mungkin kau bertanya kenapa bukan warna lembayung yang
melengkapi senja. Aku tak tahu jawabnya. Ini duniaku. Semua terjadi begitu saja
atas apa yang aku pikirkan. Senja, mari kita menari dalam suasana yang romantis
ini.
“Aku
rindu saat-saat seperti ini.” Tuturmu begitu lembut dan renyah sampai
telingaku.
“Ya.
Begitu hangat, begitu damai. Mungkinkah ini yang namanya surga ya?”
“Jangan
bercanda, di surga kurasa takkan ada yang namanya hati”
“Bagaimana
mungkin hati tak ada? Kau mengarang.”
“Jelas
tak ada. Hati itu memiliki dua sisi. Suka dan duka. Di surga tak ada duka”
“Benarkah?
Aku baru tahu hal itu”
Ya,
kekasih. Ternyata kisah ini bukanlah sebuah duka yang harus kubawa sepanjang
hari. Aku akan selalu melangkah menjalani seluruh musim. Menghadiri setiap
pesta senja meski kau tak ada. Meski kau tak ada, Senja.
****
Sebuah
nisan yang bertuliskan namamu terus kupandangi dengan amat lekat. Sama seperti
saat pertama kalinya aku mencontohkan bagaimana rasa itu bisa digambar meski
bukan di atas kanvas. Senja, tidakkah kau lihat sore ini begitu indah.
Bulir-bulir air di bola mataku tampak berkilauan di terpa lembayung. Senja ini
belum akan berakhir. Setidaknya sampai tetes-tetes ungu yang mengalir di nadiku
ini habis….
“Percayakah
kau, andai kehidupan masih ada untuk kita, maka aku memilih untuk hidup
bersamamu.”
“Benarkah?
Aku juga….” Tersenyum
“Hanya
begitu?”
“Ya.
Memang apa lagi? Ayo, senja sudah hampir berakhir.”
Kita
pun saling bergandengan tangan. Berlari dengan kencang menuju muara senja.
Sangat kencang. Dan pelan-pelan tubuh kita bercahaya. Mulai dari tangan, kaki,
wajah, hati, dan seluruh tubuh kita kini telah menjadi cahaya. Bukan ungu. Tapi
oranye. Untuk yang terakhir aku bisa melihat kau tersenyum. Manis. Amat manis
untuk kuabadikan dalam memori terakhir imajiku.
****
Aku
begitu tergila-gila dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu. Ungu
seperti kita. Seperti darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak
kemana-mana, hahahaha walau kita tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja
dengan mati. Mati yang indah tentunya….
Rumah cahaya, 2012
0 komentar:
Posting Komentar