Ode Malam Buat
Gadisku
Malam adalah debar paling mesra yang selalu nikmat
kusantap bersama kerinduan. Lewat langit angin masih mengabarkan isyarat
tentang getar-getar romansa di wajahmu.
Fragmen malam yang
begitu absurd, kamar yang mendadak jadi kota dengan ribuan pemabuk gila tengah
sibuk berpesta, meracaui segala hal tentang bahasa hati yang tak akan pernah
bisa dimaknai. “Pada detik ini aku bayangkan hujan di luar tengah bergerak
lamban meninabobokan kita dengan cerita penantian. Daun yang purna dilabur
coklat keemasan pun gugur dan mengabadikan segala rentang usia pada
cacing-cacing kecil di tanah gembur milik petani,” lihat di ujung pematang,
pipit-pipit pulang dengan paruh kosong dan perut melompong!
Memang hanya untuk
sebuah malam yang begitu absurd. Di barat awan tengah memilin bintang,
mengingatkanku akan hatimu yang juga selalu menenun setiap episode hari yang
kubangun bersama senyuman dan air mata. Derap langkah kita yang meninggalkan
jejak-jejak cinta kelak akan kembali berubah menjadi kota. Tinggal di sana
kata-kata yang berangkai membariskan diri dalam sebentuk sajak-sajak alit pasal
asmara.
Penantian berarti
deret purnama yang berguguran di tengah ladang. Mengendap dan menjelma benih
bagi hati-hati yang setia mengamsal rindu di geriap kota yang mengabur dari
ingatan. Aku percaya musim itu, hari panen bagi petani dan pipit yang bersarang
di lesung pipi.
Langit dan angin (masih) mengabarkan isyarat tentang
getar-getar romansa di wajahmu.
Rumah Cahaya, 2012
Hatimu
Hatimu yang
tersangkut di tiang listrik sudut jalan pada gerimis malam gasal membuat langit
menjadi begitu terang meski tanpa bulan tanpa bintang. Aku yang merasa takjub
pun lantas segera terbang dan mengambil lembut hatimu untuk kubawa pulang agar
jadi penerang kamarku yang sudah sebulan ini gelap karena bola lampu yang
kubeli dulu hari di kios setengah hidup-setengah mati milik koko Liong telah
memilih untuk mati daripada menjalani hidupnya yang hanya sisa setengah itu.
Dalam pulang perjalanan aku senantiasa berharap semoga terang hatimu selalu
membuatku tersenyum meski perusahaan listrik yang katanya milik negara itu
kadang menyajikan noktah hitam pada malam-malam sederhana kita. Semoga….
Rumah Cahaya, 2012
Pada Suatu Natal
Pelan-pelan kita
berjalan menyusuri semak kabut pada pagi sepi dan gerimis tengah sibuk
wara-wiri. Pinus-pinus yang berbaris di kiri dan kanan kita seakan menjadi
dinding duri yang selalu saja senang menusuk-nusuk kulit kita yang legam.
Sekilas kulihat matamu begitu binar melahirkan bintang dan bulan serta secercah
harap yang bisa juga ditakar sebagai penantian. Karena tak akan ada lagi dingin
selain putihnya salju di bulan Desember, maka biarlah detik terhenti dan
menjadi pigura lukis di kamar tempat kita biasa menutup dan memulai segala
pernak-pernik hari.
Lonceng-lonceng
lahir pada katedral di kota yang lain. Kita melihat ke langit dan kini doa-doa
mengalun merdu dari suara bocah-bocah yang entah kenapa untuk episode sajak ini
memilih tidur pada kaos kaki yang digantung di dinding-dinding rumah mereka.
Cerobong asap adalah jalan bagi bohemian budiman. Abu di unggun mengepul dan
bersiap untuk mati.
: Aku ingin kita beranjak dari hari ini. Melangkah
pelan-pelan sambil sesekali mengerlingkan mata pada debu yang berputar di
belakang punggungmu. Semoga ada tempat untuk kita mati di altar suci misa
nanti.
Rumah Cahaya, 2012
0 komentar:
Posting Komentar