Tidak
seperti biasa, baru beberapa menit dari jam 9 malam, kelopak mata Rei sudah
minta ditutup dan tubuhnya telah nyaman berbaring di ranjang dengan seprei
putih kesukaannya. Tiba-tiba ponsel yang memang seperti biasa tidur bersamanya
dengan semangat mengabarkan sms masuk. Rei yang kalah semangat berlemah-lemah
menggapai.
Tolong bantu
menyebarkan. Mohon bantuannya, butuh darah bergolongan darah B. Untuk Aidina
Maya, kelas 1 SMP, sedang kritis karena kecelakaan di Rumah Sakit Dahlia. Cp.
Kiki: 087731684xxx. Tolong disebar, jangan sampai sms ini terputus.
Pengirim: Rani
+623808098xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Rei yang berlimpah
bonus sms, ditengah usaha melawan ketaksadaran karena kantuk yang
bertambah-tambah, menyebar sms tersebut sekenanya, seberapa ia mampu.
****
Pagi masih biru, meski
begitu jendela rumah sudah terbuka lebar. Memersilahkan udara segar masuk
dengan sesuka kerumah itu, akhirnya para penghuni pun telah segar karena
dirasuk udara pagi. Seperti tubuhnya, isi kepala perempuan 23 tahun berpiyama
hijau pun sudah siap untuk menerima perintah. Memeriksa sms masuk adalah
aktivitas yang tak terlewatkan gadis itu setiap pagi. Ia membaca sms yang
bermunculan, termasuk membaca ulang sms perihal membutuhkan donor darah. Kali
ini, ia dengan semangat menekan keypad buram ponsel, meneruskan sms tersebut ke
banyak teman.
Rei punya kesan manis
akan donor darah pertamanya dan juga telah memiliki pemahaman yang baik
tentangnya-tentu donor darah sukarela. Ia mengagendakan untuk donor darah hari
itu. Ya, ia bergolongan darah B, persis seperti yang tengah dibutuhkan.
Selang beberapa jam,
sms baru sundul-menyundul, tak lain tak bukan menanyakan kepastian berita Si
Adik Kecil – Aidina Maya. Adalah mengirim dan berbalas pesan kini tengah
dilakukan.
Kakak kenal dengan
pasien?
Pengirim: Arni
+628578945xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Enggak Dek, kakak
dapat kabar dari Kak Rani. Tapi nanti kakak akan ke Rumah Sakit itu, Dek.
Pengirim: Rei
+628187896xxx
Penerima: Arni
+628578945xxx
Kak Rani, itu Rumah
Sakit di kota kita ini, atau dimana? Kakak kesana?
Pengirim: Rei
+628187896xxx
Penerima: Rani
+623808098xxx
Kayaknya gitu, Rei.
Kakak baru bulan lalu donor, belum bisa lagi.
Pengirim: Rani
+623808098xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Kak, lagi demam,
enggak boleh donor darah…
Pengirim: Fifi
+6287620163xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Kak, Yul bisanya sore.
Kak cp nya kok gak bisa dihubungi?
Pengirim: Yuli
+6289747107xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Contact person tidak bisa dihubungi? Ah, Rei pun belum
ada menghubungi contact person-nya. Ia mencoba menghubungi, namun
tidak ada nada sambung. Ia coba sms , sms ditolak. Selang beberapa menit,
menghubungi lagi, tapi hasilnya tetap sama. Tak lama, ponsel tuanya berdering
“Mbak, saya Wiah, mau
tanya tentang donor darah itu, kami bertiga mau donor, Mbak.”
“Mbak, tahu dari sms
ya? Apa disms itu contact person-nya saya ya, Mbak?” Rei sedikit
heran, karena ia tidak sedikit menerima telelpon atau sms bernada sama.
“Bukan, Mbak. Tapi
Mbak Kiki, cepe-nya enggak bisa dihubungi, teman saya yang kirim
sms bilang, dia tahu dari Mbak Rei.”
“Saya juga dapat dari
teman, Mbak. Tapi itu pun, nanti saya akan ke Rumah Sakit Dahlia, nanti saya
kabari ya, Mbak.”
Rei menanyakan Kak
Rani yang meng-sms-nya, ternyata Kak Rani pun dapat dari temannya, dan temannya
dapat dari teman temannya, dan kesimpulannya tidak pasti darimana sms itu
berasal. Rei yang memang sudah berniat donor, ditambah tanda tanya yang telah
memukul-mukul kepala memutuskan untuk pergi juga.
****
Rumah sakit punya
aroma khas. Dan kebanyakan ummat manusia tidak menyukai aromanya. Wajah gadis
itu jelas menyimpan rasa penasaran. Antara berharap dan tidak atas kebenaran
sms tersebut. Mendatangi pusat informasi pertama kali sesampai Rei di sana.
“Bu, saya ingin
menemui pasien bernama Aidina Maya, usianya…” Ingatannya tak sekuat
keinginannya. Dia membuka kembali sms yang bersemayam di ponsel.
“Anak kelas 1 SMP, Bu.
Sedang kritis karena kecelakaan.”
“Kapan masuknya, Dek?”
Perawat yang sudah paruh baya itu bertanya ramah.
“Tidak tahu, Bu. Saya
dapat kabar dari SMS.”
Perawat yang Rei sapa
Ibu itu, segera membolak balik daftar pasien, ia menggeleng. “Coba ke bagian
anak, Dek. Kalau masih umur segitu, ditangani oleh bagian anak.”
Di ruang anak pun
sama, perawat yang berjaga masih tetap menggeleng. “Coba, lihat namanya di
papan tulis yang ada di depan ruang UGD, Mbak. Kalau dia kritis, dia akan
dirawat disitu. Dan namanya tercantum di papan itu."
Langkahnya cepat,
namun pendek-pendek karena rok panjang yang dikenakan hari itu tidak cukup
lebar. Jika ponselnya adalah manusia, ponsel itu pasti sudah
terengah-engah, meneriaki gadis itu. Ponselnya telah berdering berkali-kali
tapi Rei tak juga dengar. Ponsel itu berbunyi lagi. Telepon dari adik stambuk
di kampus.
“Kak, kami dapat sms
daricall center Rohis kampus, ada yang butuh donor darah ya, Kak? “
“Hah,call center?”
Rei jelas terkejut, kapan ia mengirim sms ke call center Rohis
kampus. Di zaman ia kuliah saja, saat ia menjadi admin, tepatnya
dua tahun lalu, call center sudah beranggotakan 600-an orang.
“Hasanah bilang dia
dapat sms dari kakak, lalu dia kirim ke call center, lalu di share ke member. Ini
kak, ada tiga orang yang mau donor.”
“Nanti kakak hubungi,
kakak lagi di Rumah Sakit, juga mau donor tapi sepertinya info tersebut… Nanti
kakak kabari.”
Kepalanya naik-turun
membaca nama-nama yang tertera di papan UGD. Berulang-ulang dicocokkan nama
yang ada di sms dengan di papan. Bahkan ia nyaris seperti orang hendak
menghapal tujuh nama yang ada di papan UGD beserta nama dokter yang merawat.
Nihil.
Tanda tanya yang
semula hanya menumbuki kepala, kini menjalar bersama alir darah. Siapa dalang
semua ini? Apa ini cuma mau buat sensasi? Ah, bagaimana dengan ratusan sms
serupa yang tersebar? Bagaiman dengan ratusan tanggapan? Bagaimana dengan
puluhan niat?
Menggelengkan kepala
dengan kencangnnya, seakan berontak dengan segala tanya. Lalu meluap syukur
dibalik kehampaan yang menyelinap. Rei menepis prasangka-prasangkanya dengan
kenyataan selama ini, sms semacam itu kerap ia terima, dan memang benar adanya.
Mungkin di lain waktu ia akan memeriksa lebih dulu, menghubungi contact person
sms semacam itu, terutama jika ia tak mengenali Si Pasien dan Si Contact
person. Ia khawatir hal-hal semacam ini justru akan mengurangi keinginan kuat
seseorang untuk membantu jika ada sms yang tak jauh berbeda datang di waktu
depan. Tubuh mungilnya tetap berjalan tegak, ia tersenyum ketika menyadari
fakta lain, banyak kepedulian bahkan reaksi cepat untuk membantu orang yang
tidak dikenalinya secara sukarela, ditambah pada umumnya orang-orang tersebut
masih mendiami usia yang terbilang muda. Menyenangkan, batinnya.
Sambil menunggu angkot
di teduh pohon beringin tepi jalan, Rei cekatan merancang sms pemberitahuan,
Saya (+628187896xxx
)siang ini telah memeriksa sms yang menyatakan butuh donor darah B a.n Aidina
Maya (sebagaimana sms yang di-forward ke saya dan saya forward pula, dimana cp
tidak bisa dihubugi, di ruang informasi, ruang anak, UGD RS. Dahlia Medan, dan
tidak menemukan pasien yang dimaksud. Bisa jadi info tidak valid, karena tidak
update, informasi tempat – salah, dsbg. Semoga hal ini tidak mengurangi
keinginan kita membantu yang membutuhkan donor darah dikemudian hari, karena
sms-sms serupa yang saya terima sebelumnya baru kali ini tidak pas.
Dengan cekatan ia
mengirim sms yang telah mencapai lima layar tersebut. Ditengah kesibukannya
itu, ia menyetop angkot. Secara tak sadar, ia menyetop angkot yang salah.
Harusnya angkot bernomor 06 tapi malah menyetop angkot 60. Masih tak menyadari.
Di angkot pun masih ber sms ria. Ponsel putih digenggaman kembali kencang
berdering. Merampas perhatian penumpang lain akan jalanan.
“Ini dengan, Mbak
Rei?”
“Ya.”
“Saya Irsyad. Saya dan
empat teman saya berniat donor darah sukarela untuk adik itu, Mbak.”
“…”
****
Rumah Cahaya
Oleh: Ririn Anindya. Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Matematika FMIPA
UNIMED. Saat ini bergiat di FLP SU. (Terbit
di Harian Mimbar Umum, Sabtu 7 April 2012)
0 komentar:
Posting Komentar