Sabtu, 31 Mei 2014

REGISTRASI ULANG ANGGOTA FLP SUMATERA UTARA

Menindak-lanjuti hasil Munas ke III FLP 29 Agustus- 1 September 2013 di Bali, mengenai tertib administrasi anggota, maka Forum Lingkar Pena Sumut 2013-2015 mengadakan Program Registrasi Ulang bagi seluruh anggota mulai dari angkatan I (pertama) hingga sekarang, angkatan V (kelima).

Adapun kelebihan terdaftar aktif kembali sebagai anggota FLP Sumatera Utara yakni:
1.       mendapatkan info terbaru perkembangan FLP, khususnya FLP Sumatera Utara
2.       mendapatkan info kegiatan FLP Sumatera Utara tiap minggunya via SMS
3.       Berpeluang menjadi tim trainer kepenulisan FLP Sumatera Utara
4.       Berpeluang menjadi delegasi FLP Sumatera Utara pada setiap Event yang diselenggarakan oleh FLP maupun organisasi diluar FLP  

Tata cara registrasi ulang yaitu dengan mengirimkan pesan singkat ke Divisi Kaderisasi FLP Sumatera Utara ( 0878-6939-6397 )
Format:
nama lengkap- no. ponsel - angkatan - akun facebook/twitter/email.

Contoh:
asma nadia- 081333333- pertama- @asma_nadia

Batas waktu SMS konfirmasi keanggotaan diterima pengurus paling lambat tanggal 7 JUNI 2014, 23.59 WIB.

Adapun kewajiban yang harus dijalankan apabila berkenan kembali terdaftar sebagai Anggota Aktif FLP Sumatera Utara 2013-2015 yakni:
1.       Wajib membayar uang kas sebesar Rp. 10.000,- /bulan. Terhitung semenjak JUNI 2014.
2.       Apabila berada di Medan dan sekitarnya, wajib hadir di sekretariat FLP Sumatera Utara Min 1 bulan sekali. d.a Jl. Sei Deli, Gg. Sauh No. 18Y Medan
3.       Apabila berada di luar kota, wajib mengirimkan tulisan minimal 1 tulisan/ bulan ke flpsuofficial@gmail.com ataupun minimal 1 buku/ bulan, ditujukan ke sekretariat FLP Sumatera Utara.

Demikian pengumuman disampaikan, semoga memberi manfaat bagi semua anggota.
Salam, FLP SU 2013-2015

Ttd. Ketum.

Contact Person: 0878-6939-6397

Selasa, 27 Mei 2014

MENJADI AKTOR EKONOMI KREATIF LEWAT INDUSTRI KREATIF BERBASIS MEDIA

Dalam rangka menumbuhkembangkan pelaku kreatif dan meningkatkan akses pasar ekonomi kreatif berbasis media, Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Media, Desain, dan IPTEK, di bawah naungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menghelat “Kegiatan Fasilitasi Publikasi Karya Cerita Fiksi dan Nonfiksi” yang diadakan pada Senin, 19 Mei 2014.

Acara yang rutin dilaksanakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tiap tahunnya sejak 2012. Dan di 2014, Medan mendapatkan kesempatan menjadi kota keempat dari rangkaian kunjungan yang telah dilaksakan di Samarinda, Bengkulu, Palembang, dan berakhir di  Kupang.

Menggandeng Ketua Umum Forum Lingkar Pena wilayah Sumut, Nurul Fauziah, sebagai kordinator peserta acara, mampu menghadirkan peserta yang luar biasa – sampai kedua Narasumber yang dihadirkan, Moammar Emka dan FX Rudy Gunawan terkagum- kagum dengan pengetahuan para  anak muda kota Medan di dunia tulis menulis. Selain Flpers Sumut dan FLPers Labuhan Batu, turut serta hadir komunitas-komunitas penulis dikota Medan seperti KSI Medan, Pers Dinamika IAIN SU, Cerita Medan, Majalah Asy-syifa Ukmi Arrahman Unimed, dll. Acara yang berlangsung di Hotel Soechi International, Medan, Sumatera Utara tersebut menghasilkan diskusi yang hangat dan menarik.

Acara ini dilatarbelakangi atas sebuah gagasan untuk memunculkan pelaku-pelaku kreatif yang dapat menyokong pertumbuhan ekonomi kreatif Indonesia. Acara ini menjadi penting, karena menyangkut arah perekonomi Indonesia di masa depan.

Perlu diketahui, untuk menghadapi laju perkembangan zaman, pengembangan ekonomi Indonesia yang dahulu berbasis pengelolaan SDA diubah menjadi ekonomi kreatif, hal ini berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 06 Tahun 2009 yang akan disahkan menjadi UU tentang pengembangan ekonomi kreatif. Dalam pengembangannya, kiblat perekonomian Indonesia tidak lagi mengeksploitasi kekayaan hasil alam. Jika terus-menerus SDA dieksploitasi, sampai titik kemusnahan SDA tersebut, maka untuk dapat mengembalikannya butuh puluhan bahkan ribuan tahun yang akan datang.

Alhasil, keadaan seperti ini akan menghambat majunya perekonomian Indonesia. Nah, Ekonomi Kreatif berfokus pada eksplorasi kreativitas dari berbagai bidang yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Bidang yang dimaksud misalnya kuliner, lifestyle, fashion, seni dan budaya, serta media ‘cetak maupun non cetak’.

Setelah Kementerian Pariwisata menjembatani pelaku kreatif dari bidang fashion, bidang seni, kuliner, dan bidang budaya untuk menembus akses pasar ekonomi kreatif ke kancah persaingan Global, maka pada momen ini diadakan acara yang mengarahkan para pelaku kreatif di bidang media, khususnya para penulis untuk menuju ekonomi kreatif.

Harapan besar ditujukan bagi para pelaku kreatif untuk mengeksplorasi kreativitasnya dalam menulis yang dapat menjadi katalis peningkatan akses pasar ekonomi kreatif berbasis media. Artinya, kreativitas pun dapat menyejahterakan kehidupan ekonomi para pelaku kreatifnya.

Ibu Poppy Savitri, Sekretaris Direktoriat Jendral Ekonomi EKMDI, pun menguatkan. Saat ini Indonesia sedang menggalakkan “Gerakan Indonesia Menulis” yang melalui program ini diharapkan bisa menuntaskan kemiskinan, memperluas lapangan pekerjaan. Ekonomi Kreatif bisa berkembang jika akarnya dijaga, yaitu kebudayaan.

Diskusi berlanjut pada mengarahkan bagaimana para pelaku kreatif bidang media tak hanya sebatas menembus industri kreatif, mempublikasikan karyanya, dan memperoleh keuntungan komersial saja, tetapi sampai pada menjadikannya sebagai satu pilihan profesi yang secara mutlak diakui.

Yah, secara general, pelaku kreatif kepenulisan memiliki tipe yang berbeda, ada yang menulis sekedar hobi, cari kesibukan, ikut-ikutan, mencari eksistensi, komersial, kepentingan profesi, sampai kepada menulis karena sebuah misi tertentu. Para pelaku kreatif tinggal menentukan pilihannya. Jika berani menentukan pilihan menulis sebagai sebuah profesi, maka persiapkan diri menangguhkan kreativitas dan intensitas berkarya untuk menaklukkan indutri kreatif.


Turut menjadi penting adalah dasar dan tujuan menulis, agar sesuai orientasi yang ingin dicapai. Ingat, setiap kreativitas yang ada pada diri tiap manusia itu memiliki nilai jual masing-masing, baik yang diukur lewat sisi material, manfaat, atau pun hal lain. Hm, pertanyaan penting adalah apakah penulis mampu menjawab tantangan ekonomi kreatif? Ayo berikan jawaban kita! (Fitrah N. Nst/ Fadly) 

Rabu, 14 Mei 2014

CERPEN: AZAN

SEBULAN belakangan ini, semenjak pindah dari tempat orangtua dan mengontrak rumah, Romli--seorang bujang yang mulai lapuk karena teramat tinggi menakar pendamping--kerap merasa terganggu apabila pagi beranjak tiba. Tidurnya yang renyap dibuai mimpi langsung lipur setiap kali ia dengar suara azan meraung-raung dari mesjid yang berdiri di tepi jalan sekitar 50 meter dari rumahnya. “Hayya alash sholahh….”

Kenapa bisa demikian ribut suara azan itu, pikir Romli, dan kenapa pula harus si Jupri yang tiap hari mengazankan subuh? Suaranya yang lengking dipadu speaker pengeras masjid benar-benar bisa jadi obat mujarab pemancing darah tinggi. Alhasil, Romli tak jadi mengkatamkan niat ke masjid yang telah disusunnya sejak tadi malam. Ia memilih menutup telinga dengan bantal sambil terus menggiring kesal di dalam hati.  Azan berakhir. Romli mengangsur lelap kembali lagi hingga matahari mulai agak tinggi.
***

Romli sehari-hari bekerja sebagai pegawai di kecamatan. Gajinya tergolong lumayanlah mengingat ia masih hidup melajang dan kerjanya juga sesuka hati. Cukup datang, setor muka, ngobrol barang sepukul-dua pukul, makan siang, pulang. Begitu hampir setiap hari kecuali kalau datang petugas inspeksi dari pemerintah. Barulah Romli kelihatan sibuk ini-sibuk itu. Tapi setelah itu, semua kembali damai, aman sentosa.

Pulang bekerja Romli sering mampir ke warung Bu Inah untuk ngopi sambil main catur atau gaple. Di sana pula ia sambungkan silaturahmi dengan banyak tetangga yang belakangan telah naik pangkat menjadi sohib-sohibnya. Biasanya mereka memperbincangkan apa saja hingga malam teramat larut: politiklah, gosip-gosip selebritilah, atau kadang juga anak-anak gadis sekitaran rumah yang demplon lagi bahenol. Tapi kali ini ada cerita lain yang hendak Romli buka.

“Kalau kupikir-pikir, rasanya ribut kali ya suara azan masjid kita itu.”

“Bah, ribut macam mana pulak itu, Romli?” Seorang warga  mulai tertarik mengikuti.

“Ya ributlah. Coba kelien dengar baik-baik, tiap hari, apalagi subuh, Si Jupri selalu azan keras-keras. Benar-benar mengganggu pendengaran,” sesaat Romli menyulut kretek. Ia hisap cukup dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Lalu dilanjutkannya kalimat yang sempat terpotong. “Aku saja sering jadi tak konsentrasi menyiapkan pekerjaanku yang setumpuk itu di rumah.”

“Ah, iya juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tak kuat, taklah sampai panggilan azan itu ke rumah-rumah tetangga yang jauh di ujung sana.” Seorang warga lain menyambung kalimat sambil menunjuk jalan panjang yang membelah-belah dirinya pada tepi-tepi gang sempit.

“Iya, tapi kan ga mesti keras-keras juga, kawan. Kalau memang orang beriman, ngertinya dia itu kapan waktu salat datang tanpa meski geger azan dikumandangkan. Lagian, tak eloklah memanggil Tuhan pakai teriak-teriak begitu. Lembut saja, yang penting kan ramah menyapa telinga, sampai ke hati.”

“Benar kata si Romli itu. Aku pun sebenarnya agak kurang pas juga sama suara azan ini. Ya tau-lah kelien, di sini kan banyak pulak tetangga kita yang lain keyakinan. Kadang tak enak hati juga. Kita saja pun merasa risih, apalagi mereka. Cuman tak enak saja mungkin kawan-kawan kita ini membilangnya. Iya kan?”

Semua orang di situ mengangguk-angguk mengamini. Romli tersenyum puas. Malam makin menghitam pekat, perbincangan di warung Bu Inah pun bertambah panas. Malah kini sudah sampai menyerempet ke hadis dan firman pula. Tapi tak perlu juga semua yang mereka bahas disampaikan dalam cerita yang singkat ini, intinya saja. Ketika malam akhirnya berdamping nama dengan dini hari, mereka pun telah rampung pada keputusan. 
***

Pagi kembali tiba. Kebetulan ini akhir pekan. Saat yang benar-benar cocok untuk mengapungkan rencana yang telah dibicarakan beberapa malam silam. Hari-hari belakangan ini setengah mati Romli mengusahakan bangun sedikit lebih awal dari azan yang ia rasa membisingkan itu. Meski mengantuk berat, ia paksakan juga kakinya menyeret langkah menuju masjid. Di masjid, setiap hari ia amati jamaah-jamaah yang datang agar tahu siapa saja yang harus diperhitungkan. Satu yang ia catat tak pernah absen tentu saja Haji Sobirin, ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) ini memang terkenal dengan kealiman dan tegas sifatnya. Baginya tak ada main-main kalau sudah urusan agama. Tulang pipi yang menonjol kala ia menggeram makin menyahihkan perangainya itu.

Yang lain tentu saja si Jupri, “Tukang azan ribut” (begitu Romli menjulukinya) merangkap penjaga masjid di lingkungan ini. Sisanya sekitar sepuluhan orang tua yang memang merasa perlu mengingat sisa usia.

Selepas subuh Romli bergegas menuju rumah. Begitu sampai di kamar langsung diraihnya telepon genggam dan ia kirimkan pesan singkat kepada beberapa orang rekan agar berkumpul di rumahnya sesuai dengan jam yang sebelumnya telah sama-sama mereka tentukan.
***

Akhirnya, tepat pukul sembilan beberapa warga telah berkumpul di depan kediaman Romli. Dengan senyum yang lebar Romli berdiri di depan dan mengingatkan tentang duduk persoalan. Hari ini orang-orang itu akan menuju ke rumah Ketua RT guna membahas perkara azan yang telah dibicarakan tempo hari. Sesampainya di rumah yang dituju, setelah mendapatkan sambutan sekadarnya, Ketua RT mulai membuka ruang diskusi.

“Sebenarnya apa tujuan saudara-saudara ramai begini datang ke rumah Saya?”

Romli yang sejak lama telah mematangkan rencana jadi yang paling pertama memulai bicara, “Kami datang ke sini sebenarnya ingin mendiskusikan masalah azan di lingkungan kita, Pak.” Ujar Romli dengan intonasi diberat-beratkan agar tampak wibawa.

“Lho, memangnya ada masalah apa dengan azan di lingkungan kita?”
“Begini, Pak. Suara azan di lingkungan kita ini sebenarnya cukup mengganggu karena mengusik ketenangan sebagian besar warga.”

Orang-orang di dekat Romli mengangguk dan hal itu semakin menambah masuk akal apa yang Romli barusan sampaikan meski tanpa harus banyak-banyak menyertakan bukti dan penjelasan. Memang di mana-mana suara orang banyak lebih mudah diterima jadi kebenaran.

Ketua RT mulai terpengaruh namun masih bertanya-tanya, “Mengganggu yang bagaimana ya maksud saudara? Bukannya azan itu baik karena mengingatkan orang untuk salat?”

“Baik sih baik, Pak. Cuman Jupri yang saban hari jadi tukang azan itu terlalu melengking suaranya kalau didengar dari speaker masjid. Sudah banyak warga yang merasa terusik, Pak. Ya kami-kami inilah di antaranya. Bapak sendiri pasti juga pernah merasa demikian, kan?”

Kali ini Romli mengajukan pertanyaan yang mengarahkan jawaban. Dalam hati, Ketua RT ikut mengamini apa yang sejenak ini Romli utarakan. Pasalnya, setiap azan isya ia pun selalu saja harus menambah volume televisi lantaran tak terdengarnya suara artis itu beradu akting di sinetron kesukaannya. Kalau sudah begitu, bagaikan efek domino, giliran istrinya yang merepet karena tak nyaman mendengar bunyi volume yang terlalu tinggi. Ujungnya sudah bisa kita tebak bersama-sama, mereka saling cekcok sampai berhari-hari. Termasuklah hari ini, makanya tak ada nampak batang hidung Bu RT itu daritadi.

“Mmh…. Saya tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Masalah ini harus kita bicarakan juga dengan Haji Sobirin. Bagaimana?”

“Oke, Pak. Kami setuju-setuju saja.”

Setelah beberapa saat Ketua RT bersiap-siap, mereka pun bersama-sama berangkat menuju mukim Haji Sobirin. Di rumah Haji Sobirin mereka langsung dipersilahkan masuk oleh seorang pembantu sembari diminta untuk menunggu. Beberapa menit kemudian Haji Sobirin keluar dari kamar dengan mengenakan kopiah, baju koko, sarung, dan tasbih yang terus memutar di jemari kanan.

Dan seiya seirama seperti pertemuan di rumah Ketua RT sebelumnya, Haji Sobirin pun bertanya maksud tujuan para warga repot-repot bertandang. Segera Ketua RT bersama Romli yang merangkap juru bicara warga menyampaikan kembali inti permasalahan.

Belum lagi Romli dan Ketua RT selesai bicara, mata Haji Sobirin sudah membeliak. Makin cepat digilir-putarnya biji tasbih sambil terus merapal zikir. Rahangnya mengeras dan tampaklah tulang pipi yang selama ini mencirikan kewibawaannya itu. Demi melihat momen langka begitu, ciut juga nyali Romli serta Ketua RT meneruskan bicara. Akhirnya mereka bersama seluruh warga yang datang memilih menundukkan kepala karena sangking takutnya.

“Astagfirullah! Bagaimana bisa pikiran macam itu singgah di batok kepala kelien, hah?” Haji Sobirin berdiri dari duduknya. Dipelototinya setiap warga satu-satu. Geram betul dia mendengar kabar konyol seperti ini. “Puluhan tahun aku hidup, baru sekaranglah kudengar ada orang risih dengar suara azan. Kalian anggap apa rupanya panggilan Tuhan itu?!”

Ruangan itu senyap barang sepersekian saat. Hanya tik-tok jam di dinding serta kesiur angin yang sayup-sayup terdengar dari luar jendela.

“Maaf Pak Haji…,” ragu-ragu Romli membuka suara. Lidahnya seperti bergetar menyambung-nyambung kalimat. Hampir-hampir buyar rencana yang disusunnya rapi-rapi itu. Baru sadar ia ternyata ketegasan Haji Sobirin bukan sekadar cakap kosong belaka. Kalau sudah begini, harus hati-hati ia menyusun logika. Salah sedikit saja alamat malu yang diterima. “S…, se…, sebenarnya tak ada terniat di hati kami mengabaikan panggilan azan. Hanya saja, kalau bisa agak dikurangilah volumenya supaya warga kita yang lain agamanya itu tidak sampai merasa terganggu. Nyaring kali soalnya suara si Jupri itu, Pak Haji.”

“Betul itu Haji Sobirin. Seandainya bisa dipelankan saja suara azan itu pasti lebih enak orang mendengarnya sebab sayup ia menyentuh hati. Bisa makin ramai nanti masjid kita,” sambung Ketua RT sambil (lagi-lagi) diamini oleh anggukan segenap warga yang ragu-ragu.

Haji Sobirin tetap berdiri terdiam. Keringat menetes dari pelipis matanya yang mulai sayu. Dahinya mengerut dan satu-dua uratnya menonjol keluar tanda sedang berpikir keras. Hati-hati ia jejaki kesabaran. Haji Sobirin sadar masalah umat tentu bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan. Kalau salah ia melacak solusi, bisa-bisa makin runyam urusan agama nanti.

“Sebenarnya sulit buat aku ngambil keputusan,” suara Haji Sobirin sedikit melunak. Beberapa saat sebelum mulai bicara tadi ia tampak menarik napas dan membuang seluruhnya lewat mulut dengan cepat. “Ini memang masalah berat, daripada kita terus bertekak di sini, lebih baik aku ambil jalan tengahnya saja,” Haji Sobirin diam sejenak. Romli dan warga lainnya bertanya-tanya kira-kira jalan tengah seperti apa yang akan diajukan lelaki tua itu. “Aku minta suara azan tetap memakai speaker tapi akan kukecilkan volumenya seperti yang kalian minta. Semoga betul makin ramai kalian yang memakmurkan masjid. Dan satu lagi, tolong jangan pernah kelien bilang aku tak pernah coba mengingatkan kalau tiba masanya hari pertanggungjawaban. Gimana, cocok kelien rasa?”

Romli dan Ketua RT saling menatap. Sejenak kemudian mereka sudah mengangguk dengan mantap!
***

Pagi yang lain beranjak tiba. Kokok-kokok ayam mulai merambati medium udara dan sampai ke telinga. Romli tersentak bangun dari tidurnya ketika sayup ia dengar iqamat diserukan. Buru-buru ia berlari menuju masjid. Ah, tak dengar azannya, pasti masbuk aku ini, rutuk Romli dalam hati. Sesampainya di masjid Romli malah terpelongo. Jupri salat sendiri! [*]
  
ditulis oleh Cipta Arief Wibawa


Strategi dan Tuntunan Mengelola Asmara


Berbicara tentang cinta tentu tidak ada habisnya, apalagi bagi remaja. Di antara mereka bahkan ada yang sampai menjadi "stupid" karena jatuh cinta. 

Kisah tentang cinta agar para pembaca lebih bijak dalam menyikapi arah hati ketika sedang jatuh cinta ini ditulis ramai-ramai oleh kelompok yang empati pada dunia remaja. Isinya terdiri dari 12 kisah cinta yang masing-masing memiliki keunikan.

Pada bagian pertama, diceritakan kisah mantan playboy yang memiliki banyak pengalaman cinta. Penulis juga melakukan wawancara eksklusif dengan mantan playboy. Pada bagian ini, dijelaskan seseorang memiliki banyak pacar karena tidak mendapat kehangatan dalam keluarganya (halaman 21).

Kisah cinta "stupid" juga dialami seorang gadis yang sangat disayangi sang ayah. Saking khawatir dengan pergaulan bebas remaja sekarang, ayah melarang anak gadisnya berpacaran. Toh, suatu hari, putrinya jatuh cinta pada laki-laki. Dia lupa nasihat ayahnya dan nyaris kehilangan kehormatan andai saja tidak ditolong warga setempat. 

"Andai malam itu Eric dan teman-temannya berhasil mendapatkan keinginan mereka dariku, sungguh aku nggak hanya tidak akan memaafkan Eric seumur hidup, tetapi aku juga nggak akan pernah memaafkan diri sendiri" (halaman 66).

Di bagian lain, juga diceritakan kisah tentang seorang siswa SMA yang didekati gadis populer di sekolahnya. Sampai akhirnya dia tahu bahwa gadis itu mendekati untuk dijadikan objek penelitian ilmiah tingkat nasional. Judulnya "Pengaruh Cokelat pada Siswa SMA dalam Mengekspresikan Cinta" (hal 165).

Terkadang, cinta juga hanya untuk dijadikan ajang eksistensi diri di depan teman. Seperti dilakukan seorang mahasiswa yang rela minta bantuan seorang eyang untuk bertaruh demi mendapat bunga kampus. 

"Kalau sampai cincin itu dibawa masuk ke kamar mandi, khasiatnya akan hilang. Jika hilang, gue bakal kalah taruhan sama Johan buat ngerebutin Arimbi," (halaman 132).

Lain halnya dengan Zain, mahasiswa sebuah universitas negeri di Batam yang jatuh hati pada seorang gadis sejak pandangan pertama, Andin. Zain dan Andin bersama tiga mahasiswa dari universitas terpilih mewakili kampus mengikuti pertukaran mahasiswa ke Korea. 

Selama persiapan menuju keberangkatan ke Korea, Zain berusaha menarik hati Andin meskipun selalu ditolak. Suatu hari, Zain cemburu melihat keakraban Pak Fatan, instruktur bahasa Korea di Lembaga Bahasa Asing, tempat Zain dan Andin kursus. Dari Pak Fatan, Zain mengetahui bahwa selama ini Andin menjaga jarak dengannya karena sudah bertunangan.

Keduanya akan menikah setelah pertukaran mahasiswa selesai. Pak Fatan akrab dengan Andin karena tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Buku ini menuntun mengelola asmara.

Diresensi Hidayati Khairani, lulusan IAIN Sumatera Utara 
Judul               : My Stupid Love
Penulis           : Afifaf Afra, dkk
Penerbit         : Indiva
Tebal              : 232 halaman
Terbit             : Januari 2014
ISBN               : 9786021614150

Rabu, 07 Mei 2014

PUISI: F. Pratama

INGIN KE KOTA ITU SAJA

ingin bertemu denganmu di kota itu, lalu

kubayangkan di sana akan ada segulung sunyi
menyekap perbincangan kita,
tentang kebisuan yang tak kunjung pecah.

ingin besahaja di hadapanmu di kota itu, lalu

sama seperti cara senja mulai larut dalam gulita,
ada sayat yang bekasnya semerah saga.

Dan musim sunyi ruapkan wangi senyap yang kukenali benar.
ingin ke kota itu saja,
aku.



TERTANDA

Oh, mengapa sulit. Jemariku bungkam seperti tak pernah belajar aksara. Meskipun sekian tahun belakangan tak ada kutemukan kesulitan mengeja huruf, merangkai arti.

Setiap kata kudengar hampa. Hidup hanya kata. Tiada pergerakan makna yang akan terus menarik bebulir oksigen ke tubuh. Paling tidak jadiah sebuah mantra. Yang akan kujual pada perapal sebagai penganan menghadapi pelanggan yang banyak pinta.

Oh. Kata. Lepaslah dari anganku. Keluarkan pula kesepuluh jemarimu. Menarilah di panggung peka mereka. Paling tidak mereka akan bereaksi atas kepasifanmu. Lepaslah langkahmu. Kau tak butuh sebuah kakipun untuk menjelajah. Mereka yang singgahimulah yang akan mengajakmu di pundak tengkorak, mulai mempelajari dunia.

Ini lah pesanku. Kau bukan anak dari jemariku lagi. Durhakailah aku, biarkan aku bangga menelantarkanmu di tengah carut marut kekacauanku.

Tertanda: Jemari, Ibumu.



NUN!

Nun!
telunjuk melontar arah,
ke sebuah tempat
diam

: sepetak peti kayu kecil tanpa ukiran
tanam sedepa di antara akar yang menjalar
di antara dedaun tua yang membusuk
di antara bunyi hutan yang lekas redam
di antara ingatan samar dan keyakinan

jalan yang kuretas,
dulu,
sudah ditumbuhi belukar

dan hanya nun 
di dalam peti kayu,
kusimpan sepasang sayap 
bebulunya kecoklatan, kubalut kafan
kusisipi beragam bunga, kusirami sejuta doa
agar ia tak lekas jadi bangkai.

sayapku
tak akan meruapkan busuk
kelak,  bila aku telah paham semua,
kau akan kujenguk.

namun
berbisik aku dulu pada setiap helai daun
agar menyapa bila langkah salah kuayun
menuju nun
sedang daun telah berganti daun
dan usia memberi pikun


Nun. 

Terbit di IndoPos, 22 Juni 2013

CERPEN: GADIS KANGKUNG

Gadis kecil bernama Hera itu, melongok ke dalam kamar sempit yang disesaki baju-baju lusuh yang bergantungan di dinding dan ada sebuah lemari pakaian terbuat dari tripleks yang sudah tampak rapuh di sudut kamar. Ia tengok ayahnya masih berbalut selimut di atas ranjang. Ia tahu, sudah pasti ayahnya pulang dari pakter tuak tengah malam tadi. Dan ia tahu, sebenarnya tak penting lagi menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada ayahnya di subuh ini. Percuma saja, selalu begitu, tak ada tanggapan, bahkan malah marah-marah, pikirnya. Maka ia abaikan ayahnya, dan lebih baik ia segera mencuci wajah, lalu melakukan apa yang bisa ia kerjakan.

Ibunya yang sedang buang air besar di kakus belakang rumah, mendengar pintu dapur berderit. Ia tahu, Hera mengeluarkan sepeda, maka ia buru-buru cebok dan membenahi sarungnya, lalu keluar dari kakus. Tapi Hera buru-buru mengayuh sepedanya ke arah rawa milik bapak Hotman yang berumah di kota, untuk mencari kangkung seperti biasa. Lalu, dengan kesal, ibunya masuk ke dalam rumah untuk menanyakan pada suaminya tentang Hera.

Embun mengambang dan jatuh pelan-pelan menerpa tubuh Hera. Ia taklukkan kabut dan dinginnya subuh. Dengan sepeda, ia lintasi jalan desa yang masih sepi, lalu perkebunan karet milik bapak Hotman yang sunyi.

Tak berapa lama kemudian ia sampai di tepi rawa. Ia sandarkan sepedanya pada sebuah pohon karet milik bapak Hotman. Ia rogoh saku celananya untuk mengeluarkan kantong plastik sebagai wadah kangkung. Lalu, ia gegas berjalan ke rawa, dan mulai memetik kangkung–kangkung yang menghampar. Ia pilih kangkung-kangkung yang baik, yang daunnya tak tercabik ulat, maka ia harus menjelajahi rawa itu lebih luas lagi.

Kakinya berkecipak dan mulai dilumuri lumpur, dan begitu pula dengan telapak tangannya mulai lengket oleh getah kangkung. Sayup-sayup ia dengar suara burung ruak-ruak yang mencari belalang di antara pohon-pohon keladi. Ruak-ruak tak perlu membayar uang sekolah dan membayar uang batik seragam, tapi mengapa subuh begini mereka sudah berada di rawa? Pikir Hera.

Pelan-pelan mentari menyembul dari ufuk Timur. Langit tampak berwarna merah keemasan. Kantong plastik sudah dipenuhi kangkung. Maka ia pun naik ke darat, dan mulai membagi kangkung-kangkung itu ke dalam sebuah ikatan. Lalu ia bagi kangkung-kangkung itu ke dalam 16 ikatan, dan akan dijual pada Tante Ela dengan harga limaratus rupiah per satu ikat kangkung. Namun ia sisakan satu ikat kangkung untuk dimasak di rumah.

***
Saat Hera sampai ke warung, Tante Ela sibuk menyusun beragam sayurannya untuk dijual. Suasana masih sepi. Belum ada ibu-ibu yang datang untuk membeli. Hera menjual kangkung-kangkungnya itu kepada Tante Ela, dan Tante Ela memberikan tujuhribu limaratus untuk 15 ikat kangkung itu.

“Rajin-rajinlah kau Hera, susah hidup di zaman sekarang ini. Rajin-rajin juga kau sekolah ya. Sekolah yang tinggi,” kata Tante Ela ketika memberikan uang. Hera hanya mengangguk, lalu naik ke sepedanya dan mengayuhnya ke arah rumahnya.

Sesampainya di rumah, di dalam dapur, Hera disambut oleh ayah dan ibunya yang sedang bergaduh. Ibunya tersedu-sedan, pipinya merah bekas tamparan. Ayahnya berkacak pinggang. 

“Ini gara-gara kau, Hera!” bentak ayahnya sambil mengacungkan telunjuk pada Hera.

Ayahnya menghampiri Hera, tangan kanannya naik ke atas melebihi kepalanya dan dengan telapak tangan yang terkembang. Hera tertunduk dan memicingkan mata. Ia paham, pasti ayahnya marah karena ibunya mengadukan keluhannya pada ayahnya. Padahal ia tak menginginkan hal ini terjadi. Lalu, ayahnya menurunkan lagi tangannya.

“Apa tak cukup uang jual kangkung kau itu untuk membayar uang seragam batik kau, ha?!”

Hera masih tertunduk. Ibunya masih tersedu-sedan. Hera menduga bahwa ayahnya pasti kalah lagi berjudi tadi malam. Jika sudah kalah berjudi pasti ayahnya menjadi temperamen seperti itu.

“Kalau kau mau sekolah, kau sendiri yang membayar biaya sekolahnya. Paham kau kan?!”

Ayahnya berhenti membentak, lalu berjalan ke arah kamar untuk kembali bergumul dengan bantal. Darah ayahnya masih menggelegak. Hera menoleh sejenak ke arah ibunya yang tersedu-sedan, lalu ia mengambil handuk yang tersangkut di sebuah paku di dinding dapur, dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Setelah itu, ia akan berangkat ke sekolah.

***
Hera berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Dalam perjalannya menuju ke sekolah, jantungnya berdetak kencang. Ia takut dimarahi lagi oleh ibu gurunya, karena belum mampu melunasi uang baju batik sekolah. Padahal, teman-temannya sudah berminggu-minggu yang lalu telah melunasinya. Tiap hari, ibu guru Meri, sebagai wali kelasnya selalu menagih uang baju batik itu, dengan nada membentak. Bahkan teman-temannya juga suka meledeknya. Meledek ayahnya tukang tenggen, mabuk tuak.

Di saku baju sekolahnya hanya ada uang dari menjual kangkung-kangkung itu, dan itu belum mampu untuk melunasi seragamnya. Tapi, ia memberanikan diri untuk tetap datang ke sekolah, meski ibu Meri mengatakan bahwa hari ini ia harus melunasi seragam batik itu.

Bel masuk berbunyi. Hera berlari-lari bersama sesama teman-temannya yang baru saja sampai di sekolah, menuju ruang belajar masing-msing. Nyaris saja ia terlambat. Lalu, ia duduk di bangku biasanya, dan ibu Meri berjalan menuju ruang belajarnya.

Ketika ibu Meri masuk ke ruangan, seketika itu jantung Hera berdetak kencang. Tanpa sengaja ibu Meri menatap mata Hera. Mereka beradu pandang sejenak. Lalu Hera memilih menunduk, karena takut. Ibu Meri langsung teringat dengan uang seragam batik Hera.

“Hera, sini, Nak,” perintah ibu Meri.

Hera ketakutan. Tubuhnya panas dan bergetar. Keningnya berpeluh.

“Mari, Hera,” ulangi ibu Meri.

Hera tak mau membuat ibu Meri tambah kesal, maka ia berjalan mendatangi ibu Meri yang berada di meja guru, meski ia tampak pucat karena menahan takut. Dan, ia langsung paham maksud ibu Meri. Maka ia meletakkan uang tujuhribu limaratus rupiah di atas meja guru.

“Kau masih belum bisa melunasi juga, Hera? Apakah tak kau tahu kalau kawan-kawanmu sudah lunas semua, ha?!”

Kaki Hera bergetar. Ia tetap tertunduk. Sudah berulangkali pertanyaan ibu Meri itu menyinggung perasaannya.

“Kapan lagi?”

Hera tetap diam.

“Kapan lagi, Hera?”

Masih diam.

“Kapan lagi, ha?”

Mimik Hera berubah. Ia tersedu-sedan.

“Besok, Bu,” jawab Hera terbata-bata.

“Besok lagi, besok lagi, sudah, duduk kau sana!”

Semua mata teman-temannya tertuju padanya. Ia kembali duduk, dan tertunduk. Ia berpikir, pasti ia bisa melunasi uang batik seragamnya besok. Meski itu cukup sulit, karena tak mungkin memetik kangkung-kangkung melebihi 16 ikat. Sebab, orang-orang tak mungkin tiap hari makan kangkung, dan tak mungkin pula ia memetik kangkung tiap hari, karena ia juga harus menunggu pucuk-pucuk kangkung yang dipetik itu tumbuh kembali.

***
Siang ini, bapak Hotman pemilik kebun karet dan sekaligus pemilik rawa yang ditumbuhi kangkung-kangkung itu datang dari kota ke desa bersama tiga orang pekerjanya untuk meracun rumput-rumput, juga termasuk kangkung-kangkung itu, di lahan miliknya. Sebab rawa itu akan dibersihkan, karena akan dibuat kolam-kalam untuk beternak ikan patin, gurami, dan, ikan yang lainnya. Lantas, mereka pun meracun tumbuh-tumbuhan yang berada di rawa itu.

Sementara itu, Hera tidak tahu akan hal itu. Ia masih berada di sekolah. Maka, ia membayangkan kalau besok subuh ia datang kembali ke rawa itu. Hatinya sedikit lega.

***
Subuh datang. Hera bangun tidur langsung teringat pada kangkung-kangkung itu. Sebelum berangkat, ia mencuci muka terlebih dulu. Sejenak ia melongok ke dalam kamar. Ia tidak melihat ayahnya berada di dalam kamar itu. Pasti ayah mabuk lagi, main judi lagi, pikirnya, dan pasti tidur di pakter tuak. Lalu ia mengeluarkan sepeda lewat pintu dapur. Ibunya sedang berada di kakus sambil berpikir, apakah suaminya bisa tobat? Sudah cukup rasanya ia makan hati.

Hera mengayuh sepedanya melintasi jalan desa yang sepi. Sekilas ia mendengar suara parau meminta tolong. Suara itu bersumber dari parit yang sedikit airnya. Tapi ia tak peduli dengan suara itu, ia hanya ingin mendapat uang untuk melunasi uang batik seragamnya. Padahal itu suara ayahnya yang masih mabuk berat, yang terjerambab ketika akan pulang ke rumah dari pesta tuak jam tiga dini hari tadi. Namun, meskipun ia tahu bahwa itu ayahnya, ia tetap tak peduli.


Tanjung Pasir, 2014

ditulis oleh Muftirom Fauzi Aruan
Terbit di Pikiran Rakyat, 27 April 2014 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India