Rekrutmen Angkatan V FLP-SU
Ini dia kabar yang kamu tunggu-tunggu. Kabar gembira buat kamu-kamu yang ngaku hobi Baca dan Tulis-menulis. Forum Lingkar Pena wilayah Sumatera utara akan segera menyelenggarakan “Audisi Penulis Dan Penerimaan Anggota Baru Angkatan V FLP Sumatera Utara.“
TADARUS SASTRA: Ayo jadi Penulis !!!
Workshop Penulisan Kreatif Tadarus Sastra dengan tema "Ayo jadi Penulis !!!" pada 23 Juli s.d 3 Agustus 2012. Ayo ikuti Tadarus Sastra dan Jadilah Penulis.
Klinik Menulis FLP Sumut
Punya pertanyaan seputar menulis? Pernah kepikiran jadi penulis? Mau belajar nulis tapi gak tau mau berguru dimana? Atau yang sudah punya tulisan, terus merasa kurang pede sama hasil tulisannya sendiri? STOP! Jangan dibuang atau pun disimpan aja. Karena Ada kabar baik buat kamu yang suka menulis atau kamu yang ingin sekali menulis.
Sabtu, 31 Mei 2014
REGISTRASI ULANG ANGGOTA FLP SUMATERA UTARA
21.02
F. Pratama
1 comment
Menindak-lanjuti
hasil Munas ke III FLP 29 Agustus- 1 September 2013 di Bali, mengenai tertib
administrasi anggota, maka Forum Lingkar Pena Sumut 2013-2015 mengadakan
Program Registrasi Ulang bagi seluruh anggota mulai dari angkatan I (pertama)
hingga sekarang, angkatan V (kelima).
Adapun
kelebihan terdaftar aktif kembali sebagai anggota FLP Sumatera Utara yakni:
1. mendapatkan info terbaru perkembangan
FLP, khususnya FLP Sumatera Utara
2. mendapatkan info kegiatan FLP
Sumatera Utara tiap minggunya via SMS
3. Berpeluang menjadi tim trainer
kepenulisan FLP Sumatera Utara
4. Berpeluang menjadi delegasi FLP
Sumatera Utara pada setiap Event yang diselenggarakan oleh FLP maupun organisasi
diluar FLP
Tata
cara registrasi ulang yaitu dengan mengirimkan pesan singkat ke Divisi Kaderisasi
FLP Sumatera Utara ( 0878-6939-6397 )
Format:
nama lengkap- no. ponsel - angkatan -
akun facebook/twitter/email.
Contoh:
asma nadia- 081333333- pertama-
@asma_nadia
Batas
waktu SMS konfirmasi keanggotaan diterima pengurus paling lambat tanggal 7 JUNI 2014, 23.59 WIB.
Adapun
kewajiban yang harus dijalankan apabila berkenan kembali terdaftar sebagai Anggota
Aktif FLP Sumatera Utara 2013-2015 yakni:
1. Wajib membayar uang kas sebesar Rp. 10.000,- /bulan. Terhitung semenjak
JUNI 2014.
2. Apabila berada di Medan dan
sekitarnya, wajib hadir di sekretariat FLP Sumatera Utara Min 1 bulan sekali.
d.a Jl. Sei Deli, Gg. Sauh No. 18Y Medan
3. Apabila berada di luar kota, wajib
mengirimkan tulisan minimal 1 tulisan/ bulan ke flpsuofficial@gmail.com ataupun
minimal 1 buku/ bulan, ditujukan ke sekretariat FLP Sumatera Utara.
Demikian
pengumuman disampaikan, semoga memberi manfaat bagi semua anggota.
Salam,
FLP SU 2013-2015
Ttd.
Ketum.
Contact
Person: 0878-6939-6397
Selasa, 27 Mei 2014
MENJADI AKTOR EKONOMI KREATIF LEWAT INDUSTRI KREATIF BERBASIS MEDIA
08.58
F. Pratama
No comments
Dalam
rangka menumbuhkembangkan pelaku kreatif dan meningkatkan akses pasar ekonomi
kreatif berbasis media, Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Media,
Desain, dan IPTEK, di bawah naungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
menghelat “Kegiatan Fasilitasi Publikasi Karya Cerita Fiksi dan Nonfiksi” yang
diadakan pada Senin, 19 Mei 2014.
Acara yang rutin dilaksanakan oleh Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif tiap tahunnya sejak 2012. Dan di 2014, Medan mendapatkan
kesempatan menjadi kota keempat dari rangkaian kunjungan yang telah dilaksakan
di Samarinda, Bengkulu, Palembang, dan berakhir di Kupang.
Menggandeng
Ketua Umum Forum Lingkar Pena wilayah Sumut, Nurul Fauziah, sebagai kordinator
peserta acara, mampu menghadirkan peserta yang luar biasa – sampai kedua Narasumber
yang dihadirkan, Moammar Emka dan FX Rudy Gunawan terkagum- kagum dengan pengetahuan
para anak muda kota Medan di dunia tulis
menulis. Selain Flpers Sumut dan FLPers Labuhan Batu, turut serta hadir komunitas-komunitas
penulis dikota Medan seperti KSI Medan, Pers Dinamika IAIN SU, Cerita Medan,
Majalah Asy-syifa Ukmi Arrahman Unimed, dll. Acara yang berlangsung di Hotel Soechi International, Medan, Sumatera
Utara tersebut menghasilkan diskusi yang hangat dan menarik.
Acara
ini dilatarbelakangi atas sebuah gagasan untuk memunculkan pelaku-pelaku
kreatif yang dapat menyokong pertumbuhan ekonomi kreatif Indonesia. Acara ini
menjadi penting, karena menyangkut arah perekonomi Indonesia di masa depan.
Perlu
diketahui, untuk menghadapi laju perkembangan zaman, pengembangan ekonomi
Indonesia yang dahulu berbasis pengelolaan SDA diubah menjadi ekonomi kreatif,
hal ini berdasarkan Intruksi Presiden
Nomor 06 Tahun 2009 yang akan disahkan menjadi UU tentang pengembangan ekonomi kreatif. Dalam pengembangannya,
kiblat perekonomian Indonesia tidak lagi mengeksploitasi kekayaan hasil alam. Jika
terus-menerus SDA dieksploitasi, sampai titik kemusnahan SDA tersebut, maka untuk
dapat mengembalikannya butuh puluhan bahkan ribuan tahun yang akan datang.
Alhasil,
keadaan seperti ini akan menghambat majunya perekonomian Indonesia. Nah, Ekonomi
Kreatif berfokus pada eksplorasi kreativitas dari berbagai bidang yang dapat
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Bidang yang dimaksud misalnya
kuliner, lifestyle, fashion, seni dan budaya, serta media
‘cetak maupun non cetak’.
Setelah
Kementerian Pariwisata menjembatani pelaku kreatif dari bidang fashion, bidang seni, kuliner, dan
bidang budaya untuk menembus akses pasar ekonomi kreatif ke kancah persaingan
Global, maka pada momen ini diadakan acara yang mengarahkan para pelaku kreatif
di bidang media, khususnya para penulis untuk menuju ekonomi kreatif.
Harapan
besar ditujukan bagi para pelaku kreatif untuk mengeksplorasi kreativitasnya
dalam menulis yang dapat menjadi katalis peningkatan akses pasar ekonomi
kreatif berbasis media. Artinya, kreativitas pun dapat menyejahterakan
kehidupan ekonomi para pelaku kreatifnya.
Ibu Poppy Savitri, Sekretaris Direktoriat Jendral Ekonomi
EKMDI, pun menguatkan. Saat ini Indonesia sedang menggalakkan “Gerakan Indonesia Menulis” yang melalui
program ini diharapkan bisa menuntaskan kemiskinan, memperluas lapangan
pekerjaan. Ekonomi Kreatif bisa berkembang jika akarnya dijaga, yaitu
kebudayaan.
Diskusi
berlanjut pada mengarahkan bagaimana para pelaku kreatif bidang media tak hanya
sebatas menembus industri kreatif, mempublikasikan karyanya, dan memperoleh
keuntungan komersial saja, tetapi sampai pada menjadikannya sebagai satu
pilihan profesi yang secara mutlak diakui.
Yah,
secara general, pelaku kreatif kepenulisan memiliki tipe yang berbeda, ada yang
menulis sekedar hobi, cari kesibukan, ikut-ikutan, mencari eksistensi, komersial,
kepentingan profesi, sampai kepada menulis karena sebuah misi tertentu. Para
pelaku kreatif tinggal menentukan pilihannya. Jika berani menentukan pilihan
menulis sebagai sebuah profesi, maka persiapkan diri menangguhkan kreativitas
dan intensitas berkarya untuk menaklukkan indutri kreatif.
Turut
menjadi penting adalah dasar dan tujuan menulis, agar sesuai orientasi yang ingin
dicapai. Ingat, setiap kreativitas yang ada pada diri tiap manusia itu memiliki
nilai jual masing-masing, baik yang diukur lewat sisi material, manfaat, atau
pun hal lain. Hm, pertanyaan penting adalah apakah penulis mampu menjawab
tantangan ekonomi kreatif? Ayo berikan jawaban kita! (Fitrah N. Nst/ Fadly)
Rabu, 14 Mei 2014
CERPEN: AZAN
20.35
F. Pratama
No comments
SEBULAN belakangan ini, semenjak pindah dari
tempat orangtua dan mengontrak rumah, Romli--seorang bujang yang mulai lapuk
karena teramat tinggi menakar pendamping--kerap merasa terganggu apabila pagi
beranjak tiba. Tidurnya yang renyap dibuai mimpi langsung lipur setiap kali ia
dengar suara azan meraung-raung dari mesjid yang berdiri di tepi jalan sekitar
50 meter dari rumahnya. “Hayya alash sholahh….”
Kenapa bisa demikian ribut suara azan itu,
pikir Romli, dan kenapa pula harus si Jupri yang tiap hari mengazankan subuh?
Suaranya yang lengking dipadu speaker pengeras masjid benar-benar bisa jadi
obat mujarab pemancing darah tinggi. Alhasil, Romli tak jadi mengkatamkan niat
ke masjid yang telah disusunnya sejak tadi malam. Ia memilih menutup telinga
dengan bantal sambil terus menggiring kesal di dalam hati. Azan berakhir.
Romli mengangsur lelap kembali lagi hingga matahari mulai agak tinggi.
***
Romli sehari-hari bekerja sebagai pegawai di
kecamatan. Gajinya tergolong lumayanlah mengingat ia masih hidup melajang dan
kerjanya juga sesuka hati. Cukup datang, setor muka, ngobrol barang sepukul-dua
pukul, makan siang, pulang. Begitu hampir setiap hari kecuali kalau datang
petugas inspeksi dari pemerintah. Barulah Romli kelihatan sibuk ini-sibuk itu.
Tapi setelah itu, semua kembali damai, aman sentosa.
Pulang bekerja Romli sering mampir ke warung
Bu Inah untuk ngopi sambil main catur atau gaple. Di sana pula ia sambungkan
silaturahmi dengan banyak tetangga yang belakangan telah naik pangkat menjadi
sohib-sohibnya. Biasanya mereka memperbincangkan apa saja hingga malam teramat
larut: politiklah, gosip-gosip selebritilah, atau kadang juga anak-anak gadis
sekitaran rumah yang demplon lagi bahenol. Tapi kali ini ada cerita lain yang
hendak Romli buka.
“Kalau kupikir-pikir, rasanya ribut kali ya
suara azan masjid kita itu.”
“Bah, ribut macam mana pulak itu, Romli?”
Seorang warga mulai tertarik mengikuti.
“Ya ributlah. Coba kelien dengar baik-baik,
tiap hari, apalagi subuh, Si Jupri selalu azan keras-keras. Benar-benar
mengganggu pendengaran,” sesaat Romli menyulut kretek. Ia hisap cukup dalam dan
menghembuskannya dengan perlahan. Lalu dilanjutkannya kalimat yang sempat
terpotong. “Aku saja sering jadi tak konsentrasi menyiapkan pekerjaanku yang
setumpuk itu di rumah.”
“Ah, iya juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana
lagi, kalau tak kuat, taklah sampai panggilan azan itu ke rumah-rumah tetangga
yang jauh di ujung sana.” Seorang warga lain menyambung kalimat sambil menunjuk
jalan panjang yang membelah-belah dirinya pada tepi-tepi gang sempit.
“Iya, tapi kan ga mesti keras-keras juga,
kawan. Kalau memang orang beriman, ngertinya dia itu kapan waktu salat datang
tanpa meski geger azan dikumandangkan. Lagian, tak eloklah memanggil Tuhan
pakai teriak-teriak begitu. Lembut saja, yang penting kan ramah menyapa
telinga, sampai ke hati.”
“Benar kata si Romli itu. Aku pun sebenarnya
agak kurang pas juga sama suara azan ini. Ya tau-lah kelien, di sini kan banyak
pulak tetangga kita yang lain keyakinan. Kadang tak enak hati juga. Kita saja
pun merasa risih, apalagi mereka. Cuman tak enak saja mungkin kawan-kawan kita
ini membilangnya. Iya kan?”
Semua orang di situ mengangguk-angguk
mengamini. Romli tersenyum puas. Malam makin menghitam pekat, perbincangan di
warung Bu Inah pun bertambah panas. Malah kini sudah sampai menyerempet ke
hadis dan firman pula. Tapi tak perlu juga semua yang mereka bahas disampaikan
dalam cerita yang singkat ini, intinya saja. Ketika malam akhirnya berdamping
nama dengan dini hari, mereka pun telah rampung pada keputusan.
***
Pagi kembali tiba. Kebetulan ini akhir pekan.
Saat yang benar-benar cocok untuk mengapungkan rencana yang telah dibicarakan
beberapa malam silam. Hari-hari belakangan ini setengah mati Romli mengusahakan
bangun sedikit lebih awal dari azan yang ia rasa membisingkan itu. Meski
mengantuk berat, ia paksakan juga kakinya menyeret langkah menuju masjid. Di
masjid, setiap hari ia amati jamaah-jamaah yang datang agar tahu siapa saja
yang harus diperhitungkan. Satu yang ia catat tak pernah absen tentu saja Haji
Sobirin, ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) ini memang terkenal dengan
kealiman dan tegas sifatnya. Baginya tak ada main-main kalau sudah urusan
agama. Tulang pipi yang menonjol kala ia menggeram makin menyahihkan perangainya
itu.
Yang lain tentu saja si Jupri, “Tukang azan
ribut” (begitu Romli menjulukinya) merangkap penjaga masjid di lingkungan ini.
Sisanya sekitar sepuluhan orang tua yang memang merasa perlu mengingat sisa
usia.
Selepas subuh Romli bergegas menuju rumah.
Begitu sampai di kamar langsung diraihnya telepon genggam dan ia kirimkan pesan
singkat kepada beberapa orang rekan agar berkumpul di rumahnya sesuai dengan
jam yang sebelumnya telah sama-sama mereka tentukan.
***
Akhirnya, tepat pukul sembilan beberapa warga
telah berkumpul di depan kediaman Romli. Dengan senyum yang lebar Romli berdiri
di depan dan mengingatkan tentang duduk persoalan. Hari ini orang-orang itu
akan menuju ke rumah Ketua RT guna membahas perkara azan yang telah dibicarakan
tempo hari. Sesampainya di rumah yang dituju, setelah mendapatkan sambutan
sekadarnya, Ketua RT mulai membuka ruang diskusi.
“Sebenarnya apa tujuan saudara-saudara ramai
begini datang ke rumah Saya?”
Romli yang sejak lama telah mematangkan
rencana jadi yang paling pertama memulai bicara, “Kami datang ke sini
sebenarnya ingin mendiskusikan masalah azan di lingkungan kita, Pak.” Ujar
Romli dengan intonasi diberat-beratkan agar tampak wibawa.
“Lho, memangnya ada masalah apa dengan azan di
lingkungan kita?”
“Begini, Pak. Suara azan di lingkungan kita
ini sebenarnya cukup mengganggu karena mengusik ketenangan sebagian besar
warga.”
Orang-orang di dekat Romli mengangguk dan hal
itu semakin menambah masuk akal apa yang Romli barusan sampaikan meski tanpa
harus banyak-banyak menyertakan bukti dan penjelasan. Memang di mana-mana suara
orang banyak lebih mudah diterima jadi kebenaran.
Ketua RT mulai terpengaruh namun masih
bertanya-tanya, “Mengganggu yang bagaimana ya maksud saudara? Bukannya azan itu
baik karena mengingatkan orang untuk salat?”
“Baik sih baik, Pak. Cuman Jupri yang saban
hari jadi tukang azan itu terlalu melengking suaranya kalau didengar dari
speaker masjid. Sudah banyak warga yang merasa terusik, Pak. Ya kami-kami
inilah di antaranya. Bapak sendiri pasti juga pernah merasa demikian, kan?”
Kali ini Romli mengajukan pertanyaan yang
mengarahkan jawaban. Dalam hati, Ketua RT ikut mengamini apa yang sejenak ini
Romli utarakan. Pasalnya, setiap azan isya ia pun selalu saja harus menambah
volume televisi lantaran tak terdengarnya suara artis itu beradu akting di
sinetron kesukaannya. Kalau sudah begitu, bagaikan efek domino, giliran
istrinya yang merepet karena tak nyaman mendengar bunyi volume yang terlalu
tinggi. Ujungnya sudah bisa kita tebak bersama-sama, mereka saling cekcok
sampai berhari-hari. Termasuklah hari ini, makanya tak ada nampak batang hidung
Bu RT itu daritadi.
“Mmh…. Saya tidak bisa mengambil keputusan
sendiri. Masalah ini harus kita bicarakan juga dengan Haji Sobirin. Bagaimana?”
“Oke, Pak. Kami setuju-setuju saja.”
Setelah beberapa saat Ketua RT bersiap-siap,
mereka pun bersama-sama berangkat menuju mukim Haji Sobirin. Di rumah Haji
Sobirin mereka langsung dipersilahkan masuk oleh seorang pembantu sembari
diminta untuk menunggu. Beberapa menit kemudian Haji Sobirin keluar dari kamar
dengan mengenakan kopiah, baju koko, sarung, dan tasbih yang terus memutar di
jemari kanan.
Dan seiya seirama seperti pertemuan di rumah
Ketua RT sebelumnya, Haji Sobirin pun bertanya maksud tujuan para warga
repot-repot bertandang. Segera Ketua RT bersama Romli yang merangkap juru
bicara warga menyampaikan kembali inti permasalahan.
Belum lagi Romli dan Ketua RT selesai bicara,
mata Haji Sobirin sudah membeliak. Makin cepat digilir-putarnya biji tasbih
sambil terus merapal zikir. Rahangnya mengeras dan tampaklah tulang pipi yang
selama ini mencirikan kewibawaannya itu. Demi melihat momen langka begitu, ciut
juga nyali Romli serta Ketua RT meneruskan bicara. Akhirnya mereka bersama
seluruh warga yang datang memilih menundukkan kepala karena sangking takutnya.
“Astagfirullah! Bagaimana bisa pikiran macam
itu singgah di batok kepala kelien, hah?” Haji Sobirin berdiri dari duduknya.
Dipelototinya setiap warga satu-satu. Geram betul dia mendengar kabar konyol
seperti ini. “Puluhan tahun aku hidup, baru sekaranglah kudengar ada orang
risih dengar suara azan. Kalian anggap apa rupanya panggilan Tuhan itu?!”
Ruangan itu senyap barang sepersekian saat.
Hanya tik-tok jam di dinding serta kesiur angin yang sayup-sayup terdengar dari
luar jendela.
“Maaf Pak Haji…,” ragu-ragu Romli membuka
suara. Lidahnya seperti bergetar menyambung-nyambung kalimat. Hampir-hampir
buyar rencana yang disusunnya rapi-rapi itu. Baru sadar ia ternyata ketegasan
Haji Sobirin bukan sekadar cakap kosong belaka. Kalau sudah begini, harus
hati-hati ia menyusun logika. Salah sedikit saja alamat malu yang diterima.
“S…, se…, sebenarnya tak ada terniat di hati kami mengabaikan panggilan azan.
Hanya saja, kalau bisa agak dikurangilah volumenya supaya warga kita yang lain
agamanya itu tidak sampai merasa terganggu. Nyaring kali soalnya suara si Jupri
itu, Pak Haji.”
“Betul itu Haji Sobirin. Seandainya bisa
dipelankan saja suara azan itu pasti lebih enak orang mendengarnya sebab sayup
ia menyentuh hati. Bisa makin ramai nanti masjid kita,” sambung Ketua RT sambil
(lagi-lagi) diamini oleh anggukan segenap warga yang ragu-ragu.
Haji Sobirin tetap berdiri terdiam. Keringat
menetes dari pelipis matanya yang mulai sayu. Dahinya mengerut dan satu-dua
uratnya menonjol keluar tanda sedang berpikir keras. Hati-hati ia jejaki
kesabaran. Haji Sobirin sadar masalah umat tentu bukan masalah yang mudah untuk
diselesaikan. Kalau salah ia melacak solusi, bisa-bisa makin runyam urusan
agama nanti.
“Sebenarnya sulit buat aku ngambil
keputusan,” suara Haji Sobirin sedikit melunak. Beberapa saat sebelum mulai
bicara tadi ia tampak menarik napas dan membuang seluruhnya lewat mulut dengan
cepat. “Ini memang masalah berat, daripada kita terus bertekak di sini, lebih
baik aku ambil jalan tengahnya saja,” Haji Sobirin diam sejenak. Romli dan
warga lainnya bertanya-tanya kira-kira jalan tengah seperti apa yang akan
diajukan lelaki tua itu. “Aku minta suara azan tetap memakai speaker tapi akan
kukecilkan volumenya seperti yang kalian minta. Semoga betul makin ramai kalian
yang memakmurkan masjid. Dan satu lagi, tolong jangan pernah kelien bilang aku
tak pernah coba mengingatkan kalau tiba masanya hari pertanggungjawaban.
Gimana, cocok kelien rasa?”
Romli dan Ketua RT saling menatap. Sejenak
kemudian mereka sudah mengangguk dengan mantap!
***
Pagi yang lain beranjak tiba. Kokok-kokok
ayam mulai merambati medium udara dan sampai ke telinga. Romli tersentak bangun
dari tidurnya ketika sayup ia dengar iqamat diserukan. Buru-buru ia berlari
menuju masjid. Ah, tak dengar azannya, pasti masbuk aku ini, rutuk Romli dalam
hati. Sesampainya di masjid Romli malah terpelongo. Jupri salat sendiri! [*]
ditulis oleh Cipta Arief Wibawa
Strategi dan Tuntunan Mengelola Asmara
14.00
F. Pratama
No comments
Berbicara tentang cinta tentu tidak ada habisnya, apalagi bagi remaja. Di antara mereka bahkan ada yang sampai menjadi "stupid" karena jatuh cinta.
Kisah tentang cinta agar
para pembaca lebih bijak dalam menyikapi arah hati ketika sedang jatuh cinta
ini ditulis ramai-ramai oleh kelompok yang empati pada dunia remaja. Isinya
terdiri dari 12 kisah cinta yang masing-masing memiliki keunikan.
Pada bagian pertama,
diceritakan kisah mantan playboy yang memiliki banyak pengalaman cinta. Penulis
juga melakukan wawancara eksklusif dengan mantan playboy. Pada bagian ini,
dijelaskan seseorang memiliki banyak pacar karena tidak mendapat kehangatan
dalam keluarganya (halaman 21).
Kisah cinta
"stupid" juga dialami seorang gadis yang sangat disayangi sang ayah.
Saking khawatir dengan pergaulan bebas remaja sekarang, ayah melarang anak
gadisnya berpacaran. Toh, suatu hari, putrinya jatuh cinta pada laki-laki. Dia
lupa nasihat ayahnya dan nyaris kehilangan kehormatan andai saja tidak ditolong
warga setempat.
"Andai malam itu Eric
dan teman-temannya berhasil mendapatkan keinginan mereka dariku, sungguh aku
nggak hanya tidak akan memaafkan Eric seumur hidup, tetapi aku juga nggak akan
pernah memaafkan diri sendiri" (halaman 66).
Di bagian lain, juga
diceritakan kisah tentang seorang siswa SMA yang didekati gadis populer di
sekolahnya. Sampai akhirnya dia tahu bahwa gadis itu mendekati untuk dijadikan
objek penelitian ilmiah tingkat nasional. Judulnya "Pengaruh Cokelat pada
Siswa SMA dalam Mengekspresikan Cinta" (hal 165).
Terkadang, cinta juga hanya
untuk dijadikan ajang eksistensi diri di depan teman. Seperti dilakukan seorang
mahasiswa yang rela minta bantuan seorang eyang untuk bertaruh demi mendapat
bunga kampus.
"Kalau sampai cincin
itu dibawa masuk ke kamar mandi, khasiatnya akan hilang. Jika hilang, gue bakal
kalah taruhan sama Johan buat ngerebutin Arimbi," (halaman 132).
Lain halnya dengan Zain,
mahasiswa sebuah universitas negeri di Batam yang jatuh hati pada seorang gadis
sejak pandangan pertama, Andin. Zain dan Andin bersama tiga mahasiswa dari
universitas terpilih mewakili kampus mengikuti pertukaran mahasiswa ke Korea.
Selama persiapan menuju
keberangkatan ke Korea, Zain berusaha menarik hati Andin meskipun selalu
ditolak. Suatu hari, Zain cemburu melihat keakraban Pak Fatan, instruktur
bahasa Korea di Lembaga Bahasa Asing, tempat Zain dan Andin kursus. Dari Pak
Fatan, Zain mengetahui bahwa selama ini Andin menjaga jarak dengannya karena
sudah bertunangan.
Keduanya akan menikah
setelah pertukaran mahasiswa selesai. Pak Fatan akrab dengan Andin karena
tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Buku ini menuntun mengelola asmara.
Diresensi Hidayati
Khairani, lulusan IAIN Sumatera Utara
Judul : My
Stupid Love
Penulis : Afifaf Afra, dkk
Penerbit : Indiva
Tebal : 232 halaman
Terbit : Januari 2014
ISBN : 9786021614150
Rabu, 07 Mei 2014
PUISI: F. Pratama
14.21
F. Pratama
No comments
INGIN KE KOTA ITU SAJA
ingin
bertemu denganmu di kota itu, lalu
kubayangkan
di sana akan ada segulung sunyi
menyekap
perbincangan kita,
tentang
kebisuan yang tak kunjung pecah.
ingin
besahaja di hadapanmu di kota itu, lalu
sama
seperti cara senja mulai larut dalam gulita,
ada
sayat yang bekasnya semerah saga.
Dan
musim sunyi ruapkan wangi senyap yang kukenali benar.
ingin
ke kota itu saja,
aku.
TERTANDA
Oh,
mengapa sulit. Jemariku bungkam seperti tak pernah belajar aksara. Meskipun
sekian tahun belakangan tak ada kutemukan kesulitan mengeja huruf, merangkai
arti.
Setiap
kata kudengar hampa. Hidup hanya kata. Tiada pergerakan makna yang akan terus
menarik bebulir oksigen ke tubuh. Paling tidak jadiah sebuah mantra. Yang akan
kujual pada perapal sebagai penganan menghadapi pelanggan yang banyak pinta.
Oh.
Kata. Lepaslah dari anganku. Keluarkan pula kesepuluh jemarimu. Menarilah di
panggung peka mereka. Paling tidak mereka akan bereaksi atas kepasifanmu.
Lepaslah langkahmu. Kau tak butuh sebuah kakipun untuk menjelajah. Mereka yang
singgahimulah yang akan mengajakmu di pundak tengkorak, mulai mempelajari
dunia.
Ini
lah pesanku. Kau bukan anak dari jemariku lagi. Durhakailah aku, biarkan aku
bangga menelantarkanmu di tengah carut marut kekacauanku.
Tertanda:
Jemari, Ibumu.
NUN!
Nun!
telunjuk melontar arah,
ke sebuah tempat
diam
: sepetak peti kayu kecil tanpa ukiran
tanam sedepa di antara akar yang menjalar
di antara dedaun tua yang membusuk
di antara bunyi hutan yang lekas redam
di antara ingatan samar dan keyakinan
jalan yang kuretas,
dulu,
sudah ditumbuhi belukar
dan hanya nun
di dalam peti kayu,
kusimpan sepasang sayap
bebulunya kecoklatan, kubalut kafan
kusisipi beragam bunga, kusirami sejuta doa
agar ia tak lekas jadi bangkai.
sayapku
tak akan meruapkan busuk
kelak, bila aku
telah paham semua,
kau akan kujenguk.
namun
berbisik aku dulu pada setiap helai daun
agar menyapa bila langkah salah kuayun
menuju nun
sedang daun telah berganti daun
dan usia memberi pikun
Nun.
Terbit di IndoPos, 22 Juni 2013
CERPEN: GADIS KANGKUNG
14.06
F. Pratama
No comments
Gadis kecil
bernama Hera itu, melongok ke dalam kamar sempit yang disesaki baju-baju lusuh
yang bergantungan di dinding dan ada sebuah lemari pakaian terbuat dari tripleks
yang sudah tampak rapuh di sudut kamar. Ia tengok ayahnya masih berbalut
selimut di atas ranjang. Ia tahu, sudah pasti ayahnya pulang dari pakter tuak
tengah malam tadi. Dan ia tahu, sebenarnya tak penting lagi menyampaikan apa
yang ingin ia katakan pada ayahnya di subuh ini. Percuma saja, selalu begitu,
tak ada tanggapan, bahkan malah marah-marah, pikirnya. Maka ia abaikan ayahnya,
dan lebih baik ia segera mencuci wajah, lalu melakukan apa yang bisa ia
kerjakan.
Ibunya yang
sedang buang air besar di kakus belakang rumah, mendengar pintu dapur berderit.
Ia tahu, Hera mengeluarkan sepeda, maka ia buru-buru cebok dan membenahi
sarungnya, lalu keluar dari kakus. Tapi Hera buru-buru mengayuh sepedanya ke
arah rawa milik bapak Hotman yang berumah di kota, untuk mencari kangkung
seperti biasa. Lalu, dengan kesal, ibunya masuk ke dalam rumah untuk menanyakan
pada suaminya tentang Hera.
Embun mengambang
dan jatuh pelan-pelan menerpa tubuh Hera. Ia taklukkan kabut dan dinginnya
subuh. Dengan sepeda, ia lintasi jalan desa yang masih sepi, lalu perkebunan
karet milik bapak Hotman yang sunyi.
Tak berapa
lama kemudian ia sampai di tepi rawa. Ia sandarkan sepedanya pada sebuah pohon
karet milik bapak Hotman. Ia rogoh saku celananya untuk mengeluarkan kantong
plastik sebagai wadah kangkung. Lalu,
ia gegas berjalan ke rawa, dan mulai memetik kangkung–kangkung yang menghampar.
Ia pilih kangkung-kangkung yang baik, yang daunnya tak tercabik ulat, maka ia
harus menjelajahi rawa itu lebih luas lagi.
Kakinya
berkecipak dan mulai dilumuri lumpur, dan begitu pula dengan telapak tangannya
mulai lengket oleh getah kangkung. Sayup-sayup ia dengar suara burung ruak-ruak
yang mencari belalang di antara pohon-pohon keladi. Ruak-ruak tak perlu
membayar uang sekolah dan membayar uang batik seragam, tapi mengapa subuh
begini mereka sudah berada di rawa? Pikir Hera.
Pelan-pelan
mentari menyembul dari ufuk Timur. Langit tampak berwarna merah keemasan.
Kantong plastik sudah dipenuhi kangkung. Maka ia pun naik ke darat, dan mulai
membagi kangkung-kangkung itu ke dalam sebuah ikatan. Lalu ia bagi
kangkung-kangkung itu ke dalam 16 ikatan, dan akan dijual pada Tante Ela dengan
harga limaratus rupiah per satu ikat kangkung. Namun ia sisakan satu ikat
kangkung untuk dimasak di rumah.
***
Saat Hera
sampai ke warung, Tante Ela sibuk menyusun beragam sayurannya untuk dijual.
Suasana masih sepi. Belum ada ibu-ibu yang datang untuk membeli. Hera menjual
kangkung-kangkungnya itu kepada Tante Ela, dan Tante Ela memberikan tujuhribu
limaratus untuk 15 ikat kangkung itu.
“Rajin-rajinlah
kau Hera, susah hidup di zaman sekarang ini. Rajin-rajin juga kau sekolah ya.
Sekolah yang tinggi,” kata Tante Ela ketika memberikan uang. Hera hanya
mengangguk, lalu naik ke sepedanya dan mengayuhnya ke arah rumahnya.
Sesampainya
di rumah, di dalam dapur, Hera disambut oleh ayah dan ibunya yang sedang
bergaduh. Ibunya tersedu-sedan, pipinya merah bekas tamparan. Ayahnya berkacak
pinggang.
“Ini
gara-gara kau, Hera!” bentak ayahnya sambil mengacungkan telunjuk pada Hera.
Ayahnya
menghampiri Hera, tangan kanannya naik ke atas melebihi kepalanya dan dengan
telapak tangan yang terkembang. Hera tertunduk dan memicingkan mata. Ia paham,
pasti ayahnya marah karena ibunya mengadukan keluhannya pada ayahnya. Padahal
ia tak menginginkan hal ini terjadi. Lalu, ayahnya menurunkan lagi tangannya.
“Apa tak
cukup uang jual kangkung kau itu untuk membayar uang seragam batik kau, ha?!”
Hera masih
tertunduk. Ibunya masih tersedu-sedan. Hera menduga bahwa ayahnya pasti kalah
lagi berjudi tadi malam. Jika sudah kalah berjudi pasti ayahnya menjadi
temperamen seperti itu.
“Kalau kau
mau sekolah, kau sendiri yang membayar biaya sekolahnya. Paham kau kan?!”
Ayahnya
berhenti membentak, lalu berjalan ke arah kamar untuk kembali bergumul dengan
bantal. Darah ayahnya masih menggelegak. Hera menoleh sejenak ke arah ibunya
yang tersedu-sedan, lalu ia mengambil handuk yang tersangkut di sebuah paku di
dinding dapur, dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Setelah itu, ia akan
berangkat ke sekolah.
***
Hera
berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Dalam perjalannya menuju ke
sekolah, jantungnya berdetak kencang. Ia takut dimarahi lagi oleh ibu gurunya,
karena belum mampu melunasi uang baju batik sekolah. Padahal, teman-temannya
sudah berminggu-minggu yang lalu telah melunasinya. Tiap hari, ibu guru Meri,
sebagai wali kelasnya selalu menagih uang baju batik itu, dengan nada membentak.
Bahkan teman-temannya juga suka meledeknya. Meledek ayahnya tukang tenggen, mabuk tuak.
Di saku baju
sekolahnya hanya ada uang dari menjual kangkung-kangkung itu, dan itu belum
mampu untuk melunasi seragamnya. Tapi, ia memberanikan diri untuk tetap datang
ke sekolah, meski ibu Meri mengatakan bahwa hari ini ia harus melunasi seragam
batik itu.
Bel masuk
berbunyi. Hera berlari-lari bersama sesama teman-temannya yang baru saja sampai
di sekolah, menuju ruang belajar masing-msing. Nyaris saja ia terlambat. Lalu,
ia duduk di bangku biasanya, dan ibu Meri berjalan menuju ruang belajarnya.
Ketika ibu
Meri masuk ke ruangan, seketika itu jantung Hera berdetak kencang. Tanpa
sengaja ibu Meri menatap mata Hera. Mereka beradu pandang sejenak. Lalu Hera
memilih menunduk, karena takut. Ibu Meri langsung teringat dengan uang seragam
batik Hera.
“Hera, sini,
Nak,” perintah ibu Meri.
Hera
ketakutan. Tubuhnya panas dan bergetar. Keningnya berpeluh.
“Mari,
Hera,” ulangi ibu Meri.
Hera tak mau
membuat ibu Meri tambah kesal, maka ia berjalan mendatangi ibu Meri yang berada
di meja guru, meski ia tampak pucat karena menahan takut. Dan, ia langsung
paham maksud ibu Meri. Maka ia meletakkan uang tujuhribu limaratus rupiah di
atas meja guru.
“Kau masih
belum bisa melunasi juga, Hera? Apakah tak kau tahu kalau kawan-kawanmu sudah
lunas semua, ha?!”
Kaki Hera
bergetar. Ia tetap tertunduk. Sudah berulangkali pertanyaan ibu Meri itu
menyinggung perasaannya.
“Kapan
lagi?”
Hera tetap
diam.
“Kapan lagi,
Hera?”
Masih diam.
“Kapan lagi,
ha?”
Mimik Hera
berubah. Ia tersedu-sedan.
“Besok, Bu,”
jawab Hera terbata-bata.
“Besok lagi,
besok lagi, sudah, duduk kau sana!”
Semua mata
teman-temannya tertuju padanya. Ia kembali duduk, dan tertunduk. Ia berpikir,
pasti ia bisa melunasi uang batik seragamnya besok. Meski itu cukup sulit,
karena tak mungkin memetik kangkung-kangkung melebihi 16 ikat. Sebab,
orang-orang tak mungkin tiap hari makan kangkung, dan tak mungkin pula ia
memetik kangkung tiap hari, karena ia juga harus menunggu pucuk-pucuk kangkung
yang dipetik itu tumbuh kembali.
***
Siang ini,
bapak Hotman pemilik kebun karet dan sekaligus pemilik rawa yang ditumbuhi
kangkung-kangkung itu datang dari kota ke desa bersama tiga orang pekerjanya
untuk meracun rumput-rumput, juga termasuk kangkung-kangkung itu, di lahan
miliknya. Sebab rawa itu akan dibersihkan, karena akan dibuat kolam-kalam untuk
beternak ikan patin, gurami, dan, ikan yang lainnya. Lantas, mereka pun meracun
tumbuh-tumbuhan yang berada di rawa itu.
Sementara
itu, Hera tidak tahu akan hal itu. Ia masih berada di sekolah. Maka, ia
membayangkan kalau besok subuh ia datang kembali ke rawa itu. Hatinya sedikit
lega.
***
Subuh
datang. Hera bangun tidur langsung teringat pada kangkung-kangkung itu. Sebelum
berangkat, ia mencuci muka terlebih dulu. Sejenak ia melongok ke dalam kamar.
Ia tidak melihat ayahnya berada di dalam kamar itu. Pasti ayah mabuk lagi, main
judi lagi, pikirnya, dan pasti tidur di pakter tuak. Lalu ia mengeluarkan sepeda
lewat pintu dapur. Ibunya sedang berada di kakus sambil berpikir, apakah
suaminya bisa tobat? Sudah cukup rasanya ia makan hati.
Hera
mengayuh sepedanya melintasi jalan desa yang sepi. Sekilas ia mendengar suara
parau meminta tolong. Suara itu bersumber dari parit yang sedikit airnya. Tapi
ia tak peduli dengan suara itu, ia hanya ingin mendapat uang untuk melunasi
uang batik seragamnya. Padahal itu suara ayahnya yang masih mabuk berat, yang
terjerambab ketika akan pulang ke rumah dari pesta tuak jam tiga dini hari
tadi. Namun, meskipun ia tahu bahwa itu ayahnya, ia tetap tak peduli.
Tanjung Pasir, 2014
ditulis oleh Muftirom Fauzi Aruan
Terbit di Pikiran Rakyat, 27 April 2014