Rabu, 07 Mei 2014

PUISI: F. Pratama

INGIN KE KOTA ITU SAJA

ingin bertemu denganmu di kota itu, lalu

kubayangkan di sana akan ada segulung sunyi
menyekap perbincangan kita,
tentang kebisuan yang tak kunjung pecah.

ingin besahaja di hadapanmu di kota itu, lalu

sama seperti cara senja mulai larut dalam gulita,
ada sayat yang bekasnya semerah saga.

Dan musim sunyi ruapkan wangi senyap yang kukenali benar.
ingin ke kota itu saja,
aku.



TERTANDA

Oh, mengapa sulit. Jemariku bungkam seperti tak pernah belajar aksara. Meskipun sekian tahun belakangan tak ada kutemukan kesulitan mengeja huruf, merangkai arti.

Setiap kata kudengar hampa. Hidup hanya kata. Tiada pergerakan makna yang akan terus menarik bebulir oksigen ke tubuh. Paling tidak jadiah sebuah mantra. Yang akan kujual pada perapal sebagai penganan menghadapi pelanggan yang banyak pinta.

Oh. Kata. Lepaslah dari anganku. Keluarkan pula kesepuluh jemarimu. Menarilah di panggung peka mereka. Paling tidak mereka akan bereaksi atas kepasifanmu. Lepaslah langkahmu. Kau tak butuh sebuah kakipun untuk menjelajah. Mereka yang singgahimulah yang akan mengajakmu di pundak tengkorak, mulai mempelajari dunia.

Ini lah pesanku. Kau bukan anak dari jemariku lagi. Durhakailah aku, biarkan aku bangga menelantarkanmu di tengah carut marut kekacauanku.

Tertanda: Jemari, Ibumu.



NUN!

Nun!
telunjuk melontar arah,
ke sebuah tempat
diam

: sepetak peti kayu kecil tanpa ukiran
tanam sedepa di antara akar yang menjalar
di antara dedaun tua yang membusuk
di antara bunyi hutan yang lekas redam
di antara ingatan samar dan keyakinan

jalan yang kuretas,
dulu,
sudah ditumbuhi belukar

dan hanya nun 
di dalam peti kayu,
kusimpan sepasang sayap 
bebulunya kecoklatan, kubalut kafan
kusisipi beragam bunga, kusirami sejuta doa
agar ia tak lekas jadi bangkai.

sayapku
tak akan meruapkan busuk
kelak,  bila aku telah paham semua,
kau akan kujenguk.

namun
berbisik aku dulu pada setiap helai daun
agar menyapa bila langkah salah kuayun
menuju nun
sedang daun telah berganti daun
dan usia memberi pikun


Nun. 

Terbit di IndoPos, 22 Juni 2013

0 komentar:

Posting Komentar