SEBULAN belakangan ini, semenjak pindah dari
tempat orangtua dan mengontrak rumah, Romli--seorang bujang yang mulai lapuk
karena teramat tinggi menakar pendamping--kerap merasa terganggu apabila pagi
beranjak tiba. Tidurnya yang renyap dibuai mimpi langsung lipur setiap kali ia
dengar suara azan meraung-raung dari mesjid yang berdiri di tepi jalan sekitar
50 meter dari rumahnya. “Hayya alash sholahh….”
Kenapa bisa demikian ribut suara azan itu,
pikir Romli, dan kenapa pula harus si Jupri yang tiap hari mengazankan subuh?
Suaranya yang lengking dipadu speaker pengeras masjid benar-benar bisa jadi
obat mujarab pemancing darah tinggi. Alhasil, Romli tak jadi mengkatamkan niat
ke masjid yang telah disusunnya sejak tadi malam. Ia memilih menutup telinga
dengan bantal sambil terus menggiring kesal di dalam hati. Azan berakhir.
Romli mengangsur lelap kembali lagi hingga matahari mulai agak tinggi.
***
Romli sehari-hari bekerja sebagai pegawai di
kecamatan. Gajinya tergolong lumayanlah mengingat ia masih hidup melajang dan
kerjanya juga sesuka hati. Cukup datang, setor muka, ngobrol barang sepukul-dua
pukul, makan siang, pulang. Begitu hampir setiap hari kecuali kalau datang
petugas inspeksi dari pemerintah. Barulah Romli kelihatan sibuk ini-sibuk itu.
Tapi setelah itu, semua kembali damai, aman sentosa.
Pulang bekerja Romli sering mampir ke warung
Bu Inah untuk ngopi sambil main catur atau gaple. Di sana pula ia sambungkan
silaturahmi dengan banyak tetangga yang belakangan telah naik pangkat menjadi
sohib-sohibnya. Biasanya mereka memperbincangkan apa saja hingga malam teramat
larut: politiklah, gosip-gosip selebritilah, atau kadang juga anak-anak gadis
sekitaran rumah yang demplon lagi bahenol. Tapi kali ini ada cerita lain yang
hendak Romli buka.
“Kalau kupikir-pikir, rasanya ribut kali ya
suara azan masjid kita itu.”
“Bah, ribut macam mana pulak itu, Romli?”
Seorang warga mulai tertarik mengikuti.
“Ya ributlah. Coba kelien dengar baik-baik,
tiap hari, apalagi subuh, Si Jupri selalu azan keras-keras. Benar-benar
mengganggu pendengaran,” sesaat Romli menyulut kretek. Ia hisap cukup dalam dan
menghembuskannya dengan perlahan. Lalu dilanjutkannya kalimat yang sempat
terpotong. “Aku saja sering jadi tak konsentrasi menyiapkan pekerjaanku yang
setumpuk itu di rumah.”
“Ah, iya juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana
lagi, kalau tak kuat, taklah sampai panggilan azan itu ke rumah-rumah tetangga
yang jauh di ujung sana.” Seorang warga lain menyambung kalimat sambil menunjuk
jalan panjang yang membelah-belah dirinya pada tepi-tepi gang sempit.
“Iya, tapi kan ga mesti keras-keras juga,
kawan. Kalau memang orang beriman, ngertinya dia itu kapan waktu salat datang
tanpa meski geger azan dikumandangkan. Lagian, tak eloklah memanggil Tuhan
pakai teriak-teriak begitu. Lembut saja, yang penting kan ramah menyapa
telinga, sampai ke hati.”
“Benar kata si Romli itu. Aku pun sebenarnya
agak kurang pas juga sama suara azan ini. Ya tau-lah kelien, di sini kan banyak
pulak tetangga kita yang lain keyakinan. Kadang tak enak hati juga. Kita saja
pun merasa risih, apalagi mereka. Cuman tak enak saja mungkin kawan-kawan kita
ini membilangnya. Iya kan?”
Semua orang di situ mengangguk-angguk
mengamini. Romli tersenyum puas. Malam makin menghitam pekat, perbincangan di
warung Bu Inah pun bertambah panas. Malah kini sudah sampai menyerempet ke
hadis dan firman pula. Tapi tak perlu juga semua yang mereka bahas disampaikan
dalam cerita yang singkat ini, intinya saja. Ketika malam akhirnya berdamping
nama dengan dini hari, mereka pun telah rampung pada keputusan.
***
Pagi kembali tiba. Kebetulan ini akhir pekan.
Saat yang benar-benar cocok untuk mengapungkan rencana yang telah dibicarakan
beberapa malam silam. Hari-hari belakangan ini setengah mati Romli mengusahakan
bangun sedikit lebih awal dari azan yang ia rasa membisingkan itu. Meski
mengantuk berat, ia paksakan juga kakinya menyeret langkah menuju masjid. Di
masjid, setiap hari ia amati jamaah-jamaah yang datang agar tahu siapa saja
yang harus diperhitungkan. Satu yang ia catat tak pernah absen tentu saja Haji
Sobirin, ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) ini memang terkenal dengan
kealiman dan tegas sifatnya. Baginya tak ada main-main kalau sudah urusan
agama. Tulang pipi yang menonjol kala ia menggeram makin menyahihkan perangainya
itu.
Yang lain tentu saja si Jupri, “Tukang azan
ribut” (begitu Romli menjulukinya) merangkap penjaga masjid di lingkungan ini.
Sisanya sekitar sepuluhan orang tua yang memang merasa perlu mengingat sisa
usia.
Selepas subuh Romli bergegas menuju rumah.
Begitu sampai di kamar langsung diraihnya telepon genggam dan ia kirimkan pesan
singkat kepada beberapa orang rekan agar berkumpul di rumahnya sesuai dengan
jam yang sebelumnya telah sama-sama mereka tentukan.
***
Akhirnya, tepat pukul sembilan beberapa warga
telah berkumpul di depan kediaman Romli. Dengan senyum yang lebar Romli berdiri
di depan dan mengingatkan tentang duduk persoalan. Hari ini orang-orang itu
akan menuju ke rumah Ketua RT guna membahas perkara azan yang telah dibicarakan
tempo hari. Sesampainya di rumah yang dituju, setelah mendapatkan sambutan
sekadarnya, Ketua RT mulai membuka ruang diskusi.
“Sebenarnya apa tujuan saudara-saudara ramai
begini datang ke rumah Saya?”
Romli yang sejak lama telah mematangkan
rencana jadi yang paling pertama memulai bicara, “Kami datang ke sini
sebenarnya ingin mendiskusikan masalah azan di lingkungan kita, Pak.” Ujar
Romli dengan intonasi diberat-beratkan agar tampak wibawa.
“Lho, memangnya ada masalah apa dengan azan di
lingkungan kita?”
“Begini, Pak. Suara azan di lingkungan kita
ini sebenarnya cukup mengganggu karena mengusik ketenangan sebagian besar
warga.”
Orang-orang di dekat Romli mengangguk dan hal
itu semakin menambah masuk akal apa yang Romli barusan sampaikan meski tanpa
harus banyak-banyak menyertakan bukti dan penjelasan. Memang di mana-mana suara
orang banyak lebih mudah diterima jadi kebenaran.
Ketua RT mulai terpengaruh namun masih
bertanya-tanya, “Mengganggu yang bagaimana ya maksud saudara? Bukannya azan itu
baik karena mengingatkan orang untuk salat?”
“Baik sih baik, Pak. Cuman Jupri yang saban
hari jadi tukang azan itu terlalu melengking suaranya kalau didengar dari
speaker masjid. Sudah banyak warga yang merasa terusik, Pak. Ya kami-kami
inilah di antaranya. Bapak sendiri pasti juga pernah merasa demikian, kan?”
Kali ini Romli mengajukan pertanyaan yang
mengarahkan jawaban. Dalam hati, Ketua RT ikut mengamini apa yang sejenak ini
Romli utarakan. Pasalnya, setiap azan isya ia pun selalu saja harus menambah
volume televisi lantaran tak terdengarnya suara artis itu beradu akting di
sinetron kesukaannya. Kalau sudah begitu, bagaikan efek domino, giliran
istrinya yang merepet karena tak nyaman mendengar bunyi volume yang terlalu
tinggi. Ujungnya sudah bisa kita tebak bersama-sama, mereka saling cekcok
sampai berhari-hari. Termasuklah hari ini, makanya tak ada nampak batang hidung
Bu RT itu daritadi.
“Mmh…. Saya tidak bisa mengambil keputusan
sendiri. Masalah ini harus kita bicarakan juga dengan Haji Sobirin. Bagaimana?”
“Oke, Pak. Kami setuju-setuju saja.”
Setelah beberapa saat Ketua RT bersiap-siap,
mereka pun bersama-sama berangkat menuju mukim Haji Sobirin. Di rumah Haji
Sobirin mereka langsung dipersilahkan masuk oleh seorang pembantu sembari
diminta untuk menunggu. Beberapa menit kemudian Haji Sobirin keluar dari kamar
dengan mengenakan kopiah, baju koko, sarung, dan tasbih yang terus memutar di
jemari kanan.
Dan seiya seirama seperti pertemuan di rumah
Ketua RT sebelumnya, Haji Sobirin pun bertanya maksud tujuan para warga
repot-repot bertandang. Segera Ketua RT bersama Romli yang merangkap juru
bicara warga menyampaikan kembali inti permasalahan.
Belum lagi Romli dan Ketua RT selesai bicara,
mata Haji Sobirin sudah membeliak. Makin cepat digilir-putarnya biji tasbih
sambil terus merapal zikir. Rahangnya mengeras dan tampaklah tulang pipi yang
selama ini mencirikan kewibawaannya itu. Demi melihat momen langka begitu, ciut
juga nyali Romli serta Ketua RT meneruskan bicara. Akhirnya mereka bersama
seluruh warga yang datang memilih menundukkan kepala karena sangking takutnya.
“Astagfirullah! Bagaimana bisa pikiran macam
itu singgah di batok kepala kelien, hah?” Haji Sobirin berdiri dari duduknya.
Dipelototinya setiap warga satu-satu. Geram betul dia mendengar kabar konyol
seperti ini. “Puluhan tahun aku hidup, baru sekaranglah kudengar ada orang
risih dengar suara azan. Kalian anggap apa rupanya panggilan Tuhan itu?!”
Ruangan itu senyap barang sepersekian saat.
Hanya tik-tok jam di dinding serta kesiur angin yang sayup-sayup terdengar dari
luar jendela.
“Maaf Pak Haji…,” ragu-ragu Romli membuka
suara. Lidahnya seperti bergetar menyambung-nyambung kalimat. Hampir-hampir
buyar rencana yang disusunnya rapi-rapi itu. Baru sadar ia ternyata ketegasan
Haji Sobirin bukan sekadar cakap kosong belaka. Kalau sudah begini, harus
hati-hati ia menyusun logika. Salah sedikit saja alamat malu yang diterima.
“S…, se…, sebenarnya tak ada terniat di hati kami mengabaikan panggilan azan.
Hanya saja, kalau bisa agak dikurangilah volumenya supaya warga kita yang lain
agamanya itu tidak sampai merasa terganggu. Nyaring kali soalnya suara si Jupri
itu, Pak Haji.”
“Betul itu Haji Sobirin. Seandainya bisa
dipelankan saja suara azan itu pasti lebih enak orang mendengarnya sebab sayup
ia menyentuh hati. Bisa makin ramai nanti masjid kita,” sambung Ketua RT sambil
(lagi-lagi) diamini oleh anggukan segenap warga yang ragu-ragu.
Haji Sobirin tetap berdiri terdiam. Keringat
menetes dari pelipis matanya yang mulai sayu. Dahinya mengerut dan satu-dua
uratnya menonjol keluar tanda sedang berpikir keras. Hati-hati ia jejaki
kesabaran. Haji Sobirin sadar masalah umat tentu bukan masalah yang mudah untuk
diselesaikan. Kalau salah ia melacak solusi, bisa-bisa makin runyam urusan
agama nanti.
“Sebenarnya sulit buat aku ngambil
keputusan,” suara Haji Sobirin sedikit melunak. Beberapa saat sebelum mulai
bicara tadi ia tampak menarik napas dan membuang seluruhnya lewat mulut dengan
cepat. “Ini memang masalah berat, daripada kita terus bertekak di sini, lebih
baik aku ambil jalan tengahnya saja,” Haji Sobirin diam sejenak. Romli dan
warga lainnya bertanya-tanya kira-kira jalan tengah seperti apa yang akan
diajukan lelaki tua itu. “Aku minta suara azan tetap memakai speaker tapi akan
kukecilkan volumenya seperti yang kalian minta. Semoga betul makin ramai kalian
yang memakmurkan masjid. Dan satu lagi, tolong jangan pernah kelien bilang aku
tak pernah coba mengingatkan kalau tiba masanya hari pertanggungjawaban.
Gimana, cocok kelien rasa?”
Romli dan Ketua RT saling menatap. Sejenak
kemudian mereka sudah mengangguk dengan mantap!
***
Pagi yang lain beranjak tiba. Kokok-kokok
ayam mulai merambati medium udara dan sampai ke telinga. Romli tersentak bangun
dari tidurnya ketika sayup ia dengar iqamat diserukan. Buru-buru ia berlari
menuju masjid. Ah, tak dengar azannya, pasti masbuk aku ini, rutuk Romli dalam
hati. Sesampainya di masjid Romli malah terpelongo. Jupri salat sendiri! [*]
ditulis oleh Cipta Arief Wibawa
0 komentar:
Posting Komentar