Rabu, 14 Mei 2014

CERPEN: AZAN

SEBULAN belakangan ini, semenjak pindah dari tempat orangtua dan mengontrak rumah, Romli--seorang bujang yang mulai lapuk karena teramat tinggi menakar pendamping--kerap merasa terganggu apabila pagi beranjak tiba. Tidurnya yang renyap dibuai mimpi langsung lipur setiap kali ia dengar suara azan meraung-raung dari mesjid yang berdiri di tepi jalan sekitar 50 meter dari rumahnya. “Hayya alash sholahh….”

Kenapa bisa demikian ribut suara azan itu, pikir Romli, dan kenapa pula harus si Jupri yang tiap hari mengazankan subuh? Suaranya yang lengking dipadu speaker pengeras masjid benar-benar bisa jadi obat mujarab pemancing darah tinggi. Alhasil, Romli tak jadi mengkatamkan niat ke masjid yang telah disusunnya sejak tadi malam. Ia memilih menutup telinga dengan bantal sambil terus menggiring kesal di dalam hati.  Azan berakhir. Romli mengangsur lelap kembali lagi hingga matahari mulai agak tinggi.
***

Romli sehari-hari bekerja sebagai pegawai di kecamatan. Gajinya tergolong lumayanlah mengingat ia masih hidup melajang dan kerjanya juga sesuka hati. Cukup datang, setor muka, ngobrol barang sepukul-dua pukul, makan siang, pulang. Begitu hampir setiap hari kecuali kalau datang petugas inspeksi dari pemerintah. Barulah Romli kelihatan sibuk ini-sibuk itu. Tapi setelah itu, semua kembali damai, aman sentosa.

Pulang bekerja Romli sering mampir ke warung Bu Inah untuk ngopi sambil main catur atau gaple. Di sana pula ia sambungkan silaturahmi dengan banyak tetangga yang belakangan telah naik pangkat menjadi sohib-sohibnya. Biasanya mereka memperbincangkan apa saja hingga malam teramat larut: politiklah, gosip-gosip selebritilah, atau kadang juga anak-anak gadis sekitaran rumah yang demplon lagi bahenol. Tapi kali ini ada cerita lain yang hendak Romli buka.

“Kalau kupikir-pikir, rasanya ribut kali ya suara azan masjid kita itu.”

“Bah, ribut macam mana pulak itu, Romli?” Seorang warga  mulai tertarik mengikuti.

“Ya ributlah. Coba kelien dengar baik-baik, tiap hari, apalagi subuh, Si Jupri selalu azan keras-keras. Benar-benar mengganggu pendengaran,” sesaat Romli menyulut kretek. Ia hisap cukup dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Lalu dilanjutkannya kalimat yang sempat terpotong. “Aku saja sering jadi tak konsentrasi menyiapkan pekerjaanku yang setumpuk itu di rumah.”

“Ah, iya juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tak kuat, taklah sampai panggilan azan itu ke rumah-rumah tetangga yang jauh di ujung sana.” Seorang warga lain menyambung kalimat sambil menunjuk jalan panjang yang membelah-belah dirinya pada tepi-tepi gang sempit.

“Iya, tapi kan ga mesti keras-keras juga, kawan. Kalau memang orang beriman, ngertinya dia itu kapan waktu salat datang tanpa meski geger azan dikumandangkan. Lagian, tak eloklah memanggil Tuhan pakai teriak-teriak begitu. Lembut saja, yang penting kan ramah menyapa telinga, sampai ke hati.”

“Benar kata si Romli itu. Aku pun sebenarnya agak kurang pas juga sama suara azan ini. Ya tau-lah kelien, di sini kan banyak pulak tetangga kita yang lain keyakinan. Kadang tak enak hati juga. Kita saja pun merasa risih, apalagi mereka. Cuman tak enak saja mungkin kawan-kawan kita ini membilangnya. Iya kan?”

Semua orang di situ mengangguk-angguk mengamini. Romli tersenyum puas. Malam makin menghitam pekat, perbincangan di warung Bu Inah pun bertambah panas. Malah kini sudah sampai menyerempet ke hadis dan firman pula. Tapi tak perlu juga semua yang mereka bahas disampaikan dalam cerita yang singkat ini, intinya saja. Ketika malam akhirnya berdamping nama dengan dini hari, mereka pun telah rampung pada keputusan. 
***

Pagi kembali tiba. Kebetulan ini akhir pekan. Saat yang benar-benar cocok untuk mengapungkan rencana yang telah dibicarakan beberapa malam silam. Hari-hari belakangan ini setengah mati Romli mengusahakan bangun sedikit lebih awal dari azan yang ia rasa membisingkan itu. Meski mengantuk berat, ia paksakan juga kakinya menyeret langkah menuju masjid. Di masjid, setiap hari ia amati jamaah-jamaah yang datang agar tahu siapa saja yang harus diperhitungkan. Satu yang ia catat tak pernah absen tentu saja Haji Sobirin, ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) ini memang terkenal dengan kealiman dan tegas sifatnya. Baginya tak ada main-main kalau sudah urusan agama. Tulang pipi yang menonjol kala ia menggeram makin menyahihkan perangainya itu.

Yang lain tentu saja si Jupri, “Tukang azan ribut” (begitu Romli menjulukinya) merangkap penjaga masjid di lingkungan ini. Sisanya sekitar sepuluhan orang tua yang memang merasa perlu mengingat sisa usia.

Selepas subuh Romli bergegas menuju rumah. Begitu sampai di kamar langsung diraihnya telepon genggam dan ia kirimkan pesan singkat kepada beberapa orang rekan agar berkumpul di rumahnya sesuai dengan jam yang sebelumnya telah sama-sama mereka tentukan.
***

Akhirnya, tepat pukul sembilan beberapa warga telah berkumpul di depan kediaman Romli. Dengan senyum yang lebar Romli berdiri di depan dan mengingatkan tentang duduk persoalan. Hari ini orang-orang itu akan menuju ke rumah Ketua RT guna membahas perkara azan yang telah dibicarakan tempo hari. Sesampainya di rumah yang dituju, setelah mendapatkan sambutan sekadarnya, Ketua RT mulai membuka ruang diskusi.

“Sebenarnya apa tujuan saudara-saudara ramai begini datang ke rumah Saya?”

Romli yang sejak lama telah mematangkan rencana jadi yang paling pertama memulai bicara, “Kami datang ke sini sebenarnya ingin mendiskusikan masalah azan di lingkungan kita, Pak.” Ujar Romli dengan intonasi diberat-beratkan agar tampak wibawa.

“Lho, memangnya ada masalah apa dengan azan di lingkungan kita?”
“Begini, Pak. Suara azan di lingkungan kita ini sebenarnya cukup mengganggu karena mengusik ketenangan sebagian besar warga.”

Orang-orang di dekat Romli mengangguk dan hal itu semakin menambah masuk akal apa yang Romli barusan sampaikan meski tanpa harus banyak-banyak menyertakan bukti dan penjelasan. Memang di mana-mana suara orang banyak lebih mudah diterima jadi kebenaran.

Ketua RT mulai terpengaruh namun masih bertanya-tanya, “Mengganggu yang bagaimana ya maksud saudara? Bukannya azan itu baik karena mengingatkan orang untuk salat?”

“Baik sih baik, Pak. Cuman Jupri yang saban hari jadi tukang azan itu terlalu melengking suaranya kalau didengar dari speaker masjid. Sudah banyak warga yang merasa terusik, Pak. Ya kami-kami inilah di antaranya. Bapak sendiri pasti juga pernah merasa demikian, kan?”

Kali ini Romli mengajukan pertanyaan yang mengarahkan jawaban. Dalam hati, Ketua RT ikut mengamini apa yang sejenak ini Romli utarakan. Pasalnya, setiap azan isya ia pun selalu saja harus menambah volume televisi lantaran tak terdengarnya suara artis itu beradu akting di sinetron kesukaannya. Kalau sudah begitu, bagaikan efek domino, giliran istrinya yang merepet karena tak nyaman mendengar bunyi volume yang terlalu tinggi. Ujungnya sudah bisa kita tebak bersama-sama, mereka saling cekcok sampai berhari-hari. Termasuklah hari ini, makanya tak ada nampak batang hidung Bu RT itu daritadi.

“Mmh…. Saya tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Masalah ini harus kita bicarakan juga dengan Haji Sobirin. Bagaimana?”

“Oke, Pak. Kami setuju-setuju saja.”

Setelah beberapa saat Ketua RT bersiap-siap, mereka pun bersama-sama berangkat menuju mukim Haji Sobirin. Di rumah Haji Sobirin mereka langsung dipersilahkan masuk oleh seorang pembantu sembari diminta untuk menunggu. Beberapa menit kemudian Haji Sobirin keluar dari kamar dengan mengenakan kopiah, baju koko, sarung, dan tasbih yang terus memutar di jemari kanan.

Dan seiya seirama seperti pertemuan di rumah Ketua RT sebelumnya, Haji Sobirin pun bertanya maksud tujuan para warga repot-repot bertandang. Segera Ketua RT bersama Romli yang merangkap juru bicara warga menyampaikan kembali inti permasalahan.

Belum lagi Romli dan Ketua RT selesai bicara, mata Haji Sobirin sudah membeliak. Makin cepat digilir-putarnya biji tasbih sambil terus merapal zikir. Rahangnya mengeras dan tampaklah tulang pipi yang selama ini mencirikan kewibawaannya itu. Demi melihat momen langka begitu, ciut juga nyali Romli serta Ketua RT meneruskan bicara. Akhirnya mereka bersama seluruh warga yang datang memilih menundukkan kepala karena sangking takutnya.

“Astagfirullah! Bagaimana bisa pikiran macam itu singgah di batok kepala kelien, hah?” Haji Sobirin berdiri dari duduknya. Dipelototinya setiap warga satu-satu. Geram betul dia mendengar kabar konyol seperti ini. “Puluhan tahun aku hidup, baru sekaranglah kudengar ada orang risih dengar suara azan. Kalian anggap apa rupanya panggilan Tuhan itu?!”

Ruangan itu senyap barang sepersekian saat. Hanya tik-tok jam di dinding serta kesiur angin yang sayup-sayup terdengar dari luar jendela.

“Maaf Pak Haji…,” ragu-ragu Romli membuka suara. Lidahnya seperti bergetar menyambung-nyambung kalimat. Hampir-hampir buyar rencana yang disusunnya rapi-rapi itu. Baru sadar ia ternyata ketegasan Haji Sobirin bukan sekadar cakap kosong belaka. Kalau sudah begini, harus hati-hati ia menyusun logika. Salah sedikit saja alamat malu yang diterima. “S…, se…, sebenarnya tak ada terniat di hati kami mengabaikan panggilan azan. Hanya saja, kalau bisa agak dikurangilah volumenya supaya warga kita yang lain agamanya itu tidak sampai merasa terganggu. Nyaring kali soalnya suara si Jupri itu, Pak Haji.”

“Betul itu Haji Sobirin. Seandainya bisa dipelankan saja suara azan itu pasti lebih enak orang mendengarnya sebab sayup ia menyentuh hati. Bisa makin ramai nanti masjid kita,” sambung Ketua RT sambil (lagi-lagi) diamini oleh anggukan segenap warga yang ragu-ragu.

Haji Sobirin tetap berdiri terdiam. Keringat menetes dari pelipis matanya yang mulai sayu. Dahinya mengerut dan satu-dua uratnya menonjol keluar tanda sedang berpikir keras. Hati-hati ia jejaki kesabaran. Haji Sobirin sadar masalah umat tentu bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan. Kalau salah ia melacak solusi, bisa-bisa makin runyam urusan agama nanti.

“Sebenarnya sulit buat aku ngambil keputusan,” suara Haji Sobirin sedikit melunak. Beberapa saat sebelum mulai bicara tadi ia tampak menarik napas dan membuang seluruhnya lewat mulut dengan cepat. “Ini memang masalah berat, daripada kita terus bertekak di sini, lebih baik aku ambil jalan tengahnya saja,” Haji Sobirin diam sejenak. Romli dan warga lainnya bertanya-tanya kira-kira jalan tengah seperti apa yang akan diajukan lelaki tua itu. “Aku minta suara azan tetap memakai speaker tapi akan kukecilkan volumenya seperti yang kalian minta. Semoga betul makin ramai kalian yang memakmurkan masjid. Dan satu lagi, tolong jangan pernah kelien bilang aku tak pernah coba mengingatkan kalau tiba masanya hari pertanggungjawaban. Gimana, cocok kelien rasa?”

Romli dan Ketua RT saling menatap. Sejenak kemudian mereka sudah mengangguk dengan mantap!
***

Pagi yang lain beranjak tiba. Kokok-kokok ayam mulai merambati medium udara dan sampai ke telinga. Romli tersentak bangun dari tidurnya ketika sayup ia dengar iqamat diserukan. Buru-buru ia berlari menuju masjid. Ah, tak dengar azannya, pasti masbuk aku ini, rutuk Romli dalam hati. Sesampainya di masjid Romli malah terpelongo. Jupri salat sendiri! [*]
  
ditulis oleh Cipta Arief Wibawa


0 komentar:

Posting Komentar