NYANYIAN LELAKI YANG
MENGHITAM /1/
Awan putih bergoyang di
langit penuh harapan
Pucuk – pucuk cemara
berdaun lembayung
Antara daunan lembayung
bergantung hati yang ruyung
Dalam duka berangkat
hancur, ada gelap yang menelanku
Sepi yang jahat telah
tumbuh alang – alang di hatiku
Di hatiku alang – alang
menancapkan akar – akarnya yang berduri
Awan putih menggelincir
angin dan racun satu kandung
Dan dia masih diam di
lembah yang dalam kabut merah jambu di hatinya
Tapi di hatiku pucuk –
pucuk cemara dipukuli angin hitam
Sinar – sinar kuning
mencambuki dinding – dinding yang sepi
Tergolek berendam
segala mimpi – mimpi yang mengendap
Dan dia masih juga diam
Tapi di hatinya ada
hutan dilanda topan
Kata – katanya adalah
darah hitam yang menggoncang seluruh aliran darah di tubuhku
Mengutuki birunya
kejemuan
Mengutuki debu – debu
kiriman angin yang memporak – porandakanku
Bagai pelangi kelabu,
dialah lelaki dimakan
dan memuntahkan kutuk bara menyala tanpa air siraman
Batas Kota, 13 Maret
2012
NYANYIAN LELAKI YANG
MENGHITAM /2/
Aku berlari dan
menengadah ke langit, ada mentari menggigir di atas kepalaku
Aku pun berteriak,
“Tak seorang tahu
dahaga getir yang menyayat keceriaanku!”
Aku pun terus merangkak
dan mengibas hangat darah di atas bumi yang kucinta
Tiada kuasa lagi
menegak
Tapi aku mesti tegak
Namun dia masih saja
juga diam, pada angin dingin tak berbadan
Menepi di air sungai
menikam mentari
Dia pun bernyanyi yang
terluput dari liang luka dan rintih
Biarkanlah dia dengan
kabut merah jambu di perutnya,
dan membawanyan ke sungai
mengalir pergi jauh
Barangkali dia
diperanakkan dari wajah langit angkuh terhanyut di lumpur melumuri
Dan biarkan aku
menghadang awan – awan putih berendam
Ratap tangis yang
terpampat terkalahkan oleh mimpi gemilang
Berilah jalan pada
semangat pagi yang menghilang
Karna aku telah dahaga
dengan sinar terang
Batas Kota, 13 Maret
2012
0 komentar:
Posting Komentar