Cerita
yang bermanfaat tentu selalu mampu memberikan kesan positif di hati para
pembacanya. Seperti layaknya mencoba sebuah hidangan yang baru pertama kali
dirasa, apabila terasa enak, tentu kesan baik yang akan selalu terngiang di
hati dan menghadirkan rindu yang terus menggebu. Namun, apabila terasa hambar
atau ada yang kurang, tentu hal sebaliknya yang akan terjadi.
Cerpen
“Air Mata Ayah” ini jika kita cermati adalah sebuah cerpen yang berusaha untuk
memberikan manfaat dan amanat pengajaran kepada para pembacanya. Penyajian
penulis cerita dalam cerpen ini tentu memiliki harap bahwa pembaca akan dapat
memetik pelajaran berharga dari sini. Kalau boleh menduga-duga, saya merasa ini
adalah pengalaman pribadi dari penulis sendiri (tentu saja pengalaman pribadi
yang saya maksud di sini selain bermaksud mengatakan mungkin ini dialami
sendiri oleh penulis, bisa jadi ini dialami oleh seseorang yang pernah penulis
lihat lalu kemudian memutuskannya untuk menjadikan cerita)
Terlepas
dari itu semua, dalam hemat saya cerpen ini masih sangat belum matang untuk
disajikan pada khalayak pembaca. Dalam menulis kita sebaiknya mengenal proses editing. Saya merasa cerpen ini kurang
mendapatkan apresiasi editing dari penulis, hal ini terlihat dari sudut pandang
tokoh cerita yang terkesan masih begitu gamang. Kita lihat saja potongan cerita
ini
“Sejak tujuh tahun ibu
terkapar sakit. Ibu yang telah melahirkan ku
itu mengalami sakit gagal ginjal dan kelainan pada perutnya dan harus keluar
masuk rumah sakit untuk keperluan cuci darah. Dalam satu bulan, paling sedikit
ibunya harus tiga atau empat kali
cuci darah. Sebab kalau tidak, hanya tinggal menunggu detik-detik kematian.”
Potongan
kata yang saya tebalkan adalah sudut pandang tokoh. Pada baris kalimat pertama
tokoh mengambil sudutg pandang sebagai orang pertama, namun pada baris ketiga
kening kita akan dibuat berkerut, karena tiba-tiba ibu yang digambarkan sebagai
ibu si tokoh berubah maknanya jadi ibu orang lain. Tentu kesalahan seperti ini
fatal adanya karena akan menimbulkan kekecewaan yang pasti hadir di khalayak
pembaca.
Selain
itu, kalau saja mau kita baca cerpen ini dengan teliti maka kita akan melihat
bahwa penulis cenderung masih gagap dalam melukiskan tokoh ceritanya. Ia
seperti takut pembaca tidak akan mengerti tentang bagaimana seharusnya cerita
berjalan, sehingga banyak kalimat-kalimat yang kemudian diberikan penegasan dan
penjelasan tambahan yang cenderung “mubazir”. Contohnya bisa kita lihat pada
bagian penceritaan ibu yang harus mengalami cuci darah. Banyak sekali
penjelasan tentang sang ibu yang harus dicuci darahnya secara berulang-ulang.
Meski penulis terlihat berusaha mengatasinya dengan memberikan
keterangan-keterangan tambahan untuk menopangnya, tapi hal ini tetap saja
gagal. Penjelasan yang cenderung bertele-tele ini terlalu banyak, sehingga
ibarat masakan, ini jadi terlalu asin rasanya.
Saya
tak ingin terlalu jauh membahas tentang tema cerita, tapi satu hal yang harus
para penulis pemula tahu adalah, jangan pernah menganggap pembaca itu bodoh,
sehingga kita cenderung over dalam
memberikan keterangan-keterangan. Secukupnya saja, bukankah yang sedikit itu
yang akan menimbulkan kesan di hati. Menulislah tidak hanya untuk berbagi, tapi
juga untuk membuat pembaca tertarik dan termotivasi.
Secara
umum cerita ini sudah sukup baik meski alur penceritaan cenderung klise karena
selain tema seperti ini sudah banyak diangkat, penulis juga tidak mencoba
menghadirkan sesuatu yang berbeda sehingga meski ini cerita biasa, tapi mampu
membuat pembaca menangkap kesan istimewa.
Sekali
lagi, kritikan hanyalah sebuah saran untuk membangun. Semoga kita termasuk ke
dalam orang-orang yang mau terus belajar dan berusaha.
Terima
kasih.
Oleh Cipta Arif Wibawa
0 komentar:
Posting Komentar