Tanah kelahiran
kita ini tetap panas. Mengalahkan panasnya kota tempat aku bersimbah keringat;
mengais rupiah demi rupiah. Ah, tetap
seperti dulu. Bahkan tak berubah. Jalan-jalan yang panjang. Pohon-pohon kelapa.
Rumah-rumah panggung. Hanya saja, pantai itu sudah semakin ramai dikunjungi
pewisata dari luar kota. Ah, seperti mimpimu dulu; tanah kita ramai diminati
orang.
Ini puasa
pertama. Kau masak apa? Aku rindu gulai
lomak itu. Kita tak seperti keluarga lain; menyambut puasa pertama dengan
rendang daging, semur ayam dan makanan mewah lainnya. Bahkan, tak ada tradisi
mandi pangir dan punggahan. Kau
sendiri bingung dengan petuah orang tua kita; mandi pangir dapat menyucikan
diri. Ai, ada-ada saja!
Aku menggegas
langkahku. Sungguh, aku ingin tahu seperti apa rupamu kini? Masih cantikkah
seperti dulu? Sama persis ketika aku mendecak kagum atas gemulai tubuhmu yag
dengan rancak menarikan serampang dua belas. Sungguh! Kau cantik sekali hari
itu. Dengan selendang biru membalut wajah pualammu. Sejak hari itu, aku merasa
hikayat cintaku bermula.
Masih berbinarkah mata indahmu? Masih hangatkah senyum cerahmu? Ah, aku rindu!
Atau, kali ini kau akan merepetiku habis-habisan? Aku siap, Dinda. Jika itu
mampu menebus kesalahanku yang tak berkabar sekian lama.
Ini puasa
pertama. Aku ingin menghabiskannya sebulan ini bersamamu. Aku merindukan ibadah
dengan tenang; tilawah dengan tenang, tarawih dengan tenang. Sungguh, Dinda,
aku merindukan kau membangunkanku untuk tahajud bersama, memercikkan air ke
wajahku yang pulas. Lalu aku akan pura-pura manja. Kau malah menyiramkan
segelas air dingin sambil menahan tawa.
Dinda, apa kau
ingat kejadian empat tahun lalu. Bukankah saat itu Bulan Ramadhan pula? Kau tertunduk
di teras msjid. Memandang kaku orang-orang yang hendak beranjak tarawih. Sedang
kau, mengapa pula hanya berdiam diri saja. Bahkan rambutmu awut-awutan.
Mukenamu tak kau pakai. Tak ada orang-orang yang peduli. Kau tersungkup
berjalan. Menunduk. Lalu, aku melihatmu. Aku mengenalimu (meski kita tak pernah
bercakap-cakap). Kau adalah anak Uwak Mansyur, yang baru wafat seminggu lalu.
Kau saat itu sebatang kara. Kata orang-orang kau perempuan sial. Aku tak peduli.
Kutegur saja kau saat itu (setelah sekian lama aku mengumpulkan keberanianku
untuk berbicara denganmu). Lantas, aku merasakan hujaman tatapan-tatapan ganjil
orang-orang membungkus tubuh kita. Aku gugup!
Orang tuaku
mengendus hubungan kita. Mereka berang. Sebab, baru aku tahu, ada dendam
kesumat yang sudah terpatri sekian lama antara keluargamu dengan keluargaku.
Padahal kita masihlah satu keluarga jauh. Agaknya, masalah perebutan harta
warisan selalu mendulang kebencian tak berkesudahan. Ayahmu, yang bukan
siapa-siapa di keluarga buyutku, malah mendapat jatah tanah melimpah. Sementara
keturunan aslinya, mendapat ala kadar saja.
“Mak, biarlah
Dik Dinda tinggal di rumah kita,” bujukku pada Mamak saat itu.
“Ah, gila kau
ini! Apa kata orang kampong nanti?” Mamak terang saja tak menyetujui usulan
konyolku itu.
“Mak, kita ini
Orang Melayu yang menjunjung kepedulian. Dia itu yatim-piatu. Apa susahnya
menampung seorang saja?” Aku memaksa.
“Alah, tahu apa
kau soal adat kampong dan kepedulian.” Perempuan paruh baya dengan baju kurung
itu bersikeras.
Aku beringsut.
Tak ingin memperpanjang perdebatan. Setiap hari aku mengunjungimu. Orang-orang
menatap sinis. Mau kali kau berteman dengan gadis pembawa sial tu? Sontak
mereka berkomentar. Aku bergeming. Hei, lagipula apa peduli mereka?
Kau masih 17
tahun saat itu. Sebatang kara; simpai
keramat. Tak ada sanak saudara. Maka, aku yang sejak lama sudah memendam
rasa padamu, semakin bertambah rasa ibaku. Eh, tepatnya rasa cintaku. Dadaku berdebam-debam. Kau bahkan selalu
menangis ketika diam-diam aku memberikan makanan berbuka puasa. Ah, bahkan
warisan orang tuamu pun telah dirampas paksa.
Lantas, aku
beranikan diri. Nekad. kubilang pada
Orang tuaku; aku akan menikahimu. Benar. Dugaanmu tepat. Aku ditentang. Dicap
anak durhaka. Jika tetap keras kepala, maka, aku harus hengkang dari rumah. Dicoret
dalam daftar waris keluarga. Tak mengapa. Yang terpenting, aku semacam
berkewajiban, melindungi yatim-piatu sepertimu. Oi, kurasa, alasan lainnya
sebab aku begitu mencintaimu sejak dulu. Maka, jadilah kita lari nikah.
Kita menikah.
Sederhana. Amat sederhana. Pindah. Rumah kita jauh dari hingar binggar warga.
Tak ada orkes Melayu. Sunyi, sepi, misteri. Kita harus menyeberangi laut. Pada
sebuah pulau kecil. Di sana, kita hidup bahagia. Soal, makan. Gampanglah!
Bahkan segala aneka ikan dengan mudah kita dapatkan. Saat itu masih bulan
puasa. Kita tarawih berdua. Bergantian membaca Alquran dengan lilin seadanya. Hingga
di penghujung bulan; waktu menasbihkan keakraban kita. Tak kusangka kau lebih
dari sekadar cantik. Begitu baik. Kau selalu bertanya padaku, apakah aku
meridhaimu? Aku hanya mengganguk saja sebagai jawaban. Tak lupa menyungging
senyumku.
“Aku ondak
merantau, Dik. Ke Malaysia. Demi masa depan kita. Seperti janjiku dulu.
Membangun rumah yang berteras.” Aku menatap tajam wajah istriku itu.
“Kanda, Dik tak
butuh itu. Asal Kanda ridha saja. Itu semua sudah lebih dari cukup.” Suara
Dinda lantas diselingi deburan ombak malam. Sungguh,itu malam lebaran yang
romantis. Aku tahu kau tak ingin aku pergi. Tapi, ini demi kebaikan hidup kita.
Percayalah!
Jadilah malam takbiran
itu. kita bertakbir di pinggir pantai. Memandang bulan yang menawan. Sinarnya
menyemburat lantai laut. Indah. Itu adalah suasana paling romantis seumur
hidupku. Aku mengecup keningmu dalam. Kau mendekapku erat. Kita begitu bahagia.
Takbir entah dari mana menyepuh telinga kita. Lamat-lamat. Angin laut merangkul
tubuh kita.
***
Aku menjejak
tanah kita. Hampir sampai. Tinggal mendayung dua tiga kali. Sunyi. Masih sama seperti
dulu. Kubayangkan kau menungguku di bingkai pintu. Dengan baju kurung dan
selembar selendang biru yang menutup rambut hitam lurusmu. Tak ada, aku bahkan
sudah menjejak kakiku di tepi pantai. Air menyapu ujung celanaku. Kau tak ada.
Ah, terang saja, bukankah aku tak mengabarimu sama sekali akan kedatanganku di
puasa pertama ini? pasti kau sedang di dalam. Membersihkan rumah atau sedang
membaca Alquran. Sebab ini, kan, bulan berlimpah pahala? Setiap huruf yang kau
lafazkan diganjar berlipat balasan. Namun, aku mengenalmu luar dalam. Kau tak
pernah hitung-hitungan dalam ibadah.
Tak lama, maka,
akupun sampai di tepi pantai.
“Assalamulaikum,Dinda..”
sapaku hangat. Aku takut kau tak mengenali lagi suaraku setelah tiga tahun.
Aku kitari rumah
kecil kita. Tak ada. Ah, atau kau sedang bertandang ke rumah orang. Ya, kurasa
iya. Aku keluar. Menyapu pandangan. Satu-dua-tiga rumah baru sederhana. Aku
menuju ke sana. Aku seperti orang kebinggungan yang sedang mencari-cari.
“Ada yang
melihat istri saya?” tanyaku gusar sambil menunjuk rumah amat sederhana kami.
Gelengan kepala.
Mereka tak tahu. Agaknya mereka pendatang baru. Pindah ke rumah kedua.
Pertanyaan serupa kuajukan. Menggeleng lagi. Lanjut ke rumah ketiga, pertanyaan
yang sama. Seorang wanita paruh baya. Belum terlalu tua. Nek Hayati.
“Sudah meninggal
3 tahun lalu. Pendarahan. Keguguran.” Pendek sekali jawabannya. Tapi membuatku
nyaris limbung dan pingsan. Aku terisak. Roboh dengan lutut membentur tanah.
Dindaku sayang, gumamku pelan. Tega nian kau meninggalkanku!
***
Tanah kelahiran
kita sepi. Ini kali pertama aku merasakan kesedihan yang membabi buta. Begitu
menyiksa. Begitu mendera. Aku kehilangan semangat hidupku. Separuh jiwaku
serasa pergi. Serasa tak berada di dunia. Nek Hayati menunjukkanku sebuah
gundukan tanah. Kering. Tak ada batu nisan. Aih, bahkan di akhir riwayatmu kau
sendiri di tanah kelahiranmu ini. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku memeluk
pusaramu. Kubiarkan bajuku kotor. Ada dua pusara di sana. Keduanya tak
bernisan. Pada puasa pertama ini, Tuhan memberiku lelucon yang begitu indah.
Aku pingsan sambil menangis. Memeluk tanahmu. Ironisnya! Aku bahkan tidak tahu kalau hari itu kau
sedang mengandung. Maafkan, Abang, sayang!
Medan, menjelang
Ramadhan 2011.
Oleh Abdilah Putra Siregar
0 komentar:
Posting Komentar