Purnama di langit kian berdarah,
merah membara. Kota Syene hancur, remuk redam, luluh lantah tinggal puing.
Kobaran api masih terlihat di mana-mana. Raungan sirine bersahut-sahutan.
Jeritan, tangisan, dan ratapan berbaur dalam kegalauan malam itu. Pilu.
Sesosok wanita berjalan
terseok-seok menyeret kaki kirinya yang hancur. Pahanya nyeri. Darah
mengikutinya sepanjang jalan. Jeans birunya bercat darah dimana-mana. Entah
darahnya sendiri atau bukan ia tak tahu. Kemeja biru mudanya tak kalah bercat.
Dari celah kerahnya terlukis aliran merah sampai ke ujung
kancing terakhirnya. Sesuatu yang tajam sepertinya telah manancap di lehernya.
Tapi telah dicabutnya sehingga meninggalkan lubang menganga. Lengan kemeja
kirinya hilang, meninggalkan bekas terkoyak di ujung jahitan bahunya. Mungkin
tersangkut di suatu tempat.
Ia terus berjalan di tengah
bangkai-bangkai kota mungil itu. Matanya awas, merah semerah saga. Penuh
kesakitan, ketakutan dan kecemasan. Air matanya telah kering.
”Mayaaa!” Teriaknya sekuat
tenaga.
Namun suaranya hilang ditelan
amukan sirine, dan jeritan lainnya. Ia tak peduli. Ia terus maneriakkan nama
itu dengan sisa tenaga yang ada.
”Mayaaa! Kau ada di mana?!”

Dari tempatnya bersandar, matanya
menangkap sebuah boneka beruang di dekat tempat ia terjatuh tadi. Boneka itu
berwarna biru. Matanya hitam dan hidungnya berwarna cokelat.
Deg!
Darahnya berdesir. Jantungnya
terkesiap. Matanya semakin merah. Di samping boneka itu, tergeletak sebuah
tangan anak kecil. Tapi ia tak bisa melihat wajahnya karena sehelai koran
menutupi tubuhnya.
Oh tuhan. Memang tadi aku berkata
setidaknya jika ia tidak selamat pertemukannlah aku dengan mayatnya agar bisa
kuberikan upacara pemakaman yang layak. Namun Kau tentu tahu kalau aku ingin
dia selamat tak kurang satu apapun ya Tuhan.
Ia memang telah mempersiapkan
batinnya dengan apapun yang akan ditemuinya dalam pencariannya itu, akan hasil
yang terburuk sekalipun. Namun tetap saja nurani keibuannya tak kuasa jika
nanti wajah yang terpampang di tubuh itu adalah wajah putri semata wayangnya.
Bahwa tubuh yang tergeletak tak bernyawa di samping boneka beruang itu adalah
bidadari kecilnya.
Ia mendekati sosok itu dengan
hati-hati. Lama ia menatap tubuh tak bernyawa itu. perlahan, diberanikannya
tangan kananya menggapai koran yang menyelimuti kepala gadis kecil itu. Begitu
ujung jemarinya menyentuh koran itu, refleks ia tarik kembali tangannya.
Ketakutan menghantammnya. Tubuhnya menggigil. Ia terisak tanpa air mata.
Diamatinya lamat-lamat boneka
itu. Ia tertegun. Masih segar di ingatannya raut wajah gembira Maya saat ia
memberikan boneka itu sebagai hadiah ulang tahunnya tadi malam. Sebuah hadiah
yang ia belikan dari hasil kerja kerasnya seminggu di sebuah Italian Cafetaria
di pusat kota. Ia dan Clara, rekan seperjuangannya, akhirnya membelikan boneka
beruang biru yang tinggal sepasang sebagai hadiah ulang tahun buat putri mereka
yang kebetulan memiliki tanggal lahir yang sama. Clara mengambil boneka yang
berhidung cokelat, sedangkan ia yang berhidung hitam.
Masih mengalun indah dalam ingatannya
tawa riang bidadari kecilnya itu saat makan malam di taman kota untuk merayakan
ulang tahunnya. Gadisnya tak melepaskan sedetikpun hadiahnya dari pelukannya.
Tadi malam itu sungguh malam yang bahagia sampai bencana itu datang.
”Mama, lihat! Bulannya terang
sekali!” Maya menunjuk ke arah bulan dengan riang.
”Itu namanya bulan purnama,
Sayang”
Maya tak melepaskan pandangannya
dari bulan
”Lihat, Mama! Warna bulannya
merah!”
”Hmm?”
Mereka berdua kini memandangi
sang bulan. Wanita itu terkejut, ketika sang bulan semakin merah. Ia mendekap
Maya erat. Semakin terang dan terang. Bahkan lebih terang dari matahari. Dalam
hitungan menit malam itu berubah jadi seterang fajar, pagi lalu seterang siang.
Terang benderang. Semua orang di taman kota itu satu-persatu dan akhirnya
serentak berdiri takjub, kaget, dan takut. Dari arah bulan yang kini telah
menjadi matahari itu semakin membesar dan mendekat. Seperti bola api.
Semakin lama semakin besar. Dan melesat ke tengah kota Syene.
Suara menggelegar membahana
sampai ke bulan. Pusat hantaman seketika menjadi abu. Gedung-gedung runtuh,
hancur tersapu gelombang ledakan. Api bertebaran di mana-mana. Kota mungil itu
hancur lebur dan terbakar. Dalam hitungan menit kota itu hancur tak bersisa,
dalam hitungan menit kebahagiaan wanita itu berubah jadi lara. Sungguh menit
yang membalikkan dunia.
Perlahan memorinya
mengingatkannya.
Lihat boneka itu! Hidungnya
berwarna cokelat. Milik Maya berwarna hitamkan?
Keberaniannya kini kian tergugah
untuk menyingkap koran yang menutupi tubuh kecil itu. perlahan tapi pasti ia
sibakkan kertas itu. Betapa leganya ia, bahwa itu bukan Maya sang buah hati.
”Mamaaaa!”
Ia terkejut mendengar suara
tangisan itu. suara itu tak jauh dari tempatnya berada. Ia kenal suara itu. Itu
suara bidadari kecilnya. Bergegas ia berdiri. Tak dirasakannya lagi rasa sakit
di kaki, paha dan lehernya. Ia tak peduli.
Terima kasih tuhan, kau dengarkan
doaku.
Dibalik reruntuhan itu
didapatinya seorang gadis kecil terduduk. Tangan kirinya memeluk boneka beruang
biru. Hidung boneka itu berwarna hitam. Gadis itu masih menangis mamanggil nama
ibunya.
”Maya! Kau baik-baik saja, Nak?”
Ia berlari menghampiri gadis itu,
seraya memeluknya. Namun ia tersungkur. Ia kaget. Ia bangkit dan kembali
mendekap putrinya. Namun tak ada yang berhasil digapainya, ia kembali
tersungkur. Ia kaget bukan kepalang.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa aku tak bisa memeluknya?
Ia coba lagi, dan lagi-lagi ia
tersungkur. Sehelai rambut Maya pun tak bisa di sentuhnya. Ia bingung.
”Mamaaaa!” Maya terisak pilu.
Di sebelahnya terbaring tubuh
dengan kaki kiri hancur tertimpa runtuhan bangunan. Pahanya tertembus kayu
runcing. Jeans dan kemeja birunya berhiaskan darah. Sesuatu manancap di dekat
kerahnya. Tubuh itu tak bergerak. Tak bernyawa.
Oleh Pertiwi Soraya
Teks asli bisa di lihat di sini
0 komentar:
Posting Komentar