Aroma
kopi Arabica begitu tajam memenuhi
ruangan 3x4 meter di pinggiran Jalan Bintang. Beberapa gumpalan asap rokok
terlihat mengepul dari mulut para penikmat kopi tersebut. Cuma Pak Alim saja
yang sesekali batuk dan berdehem merasakan sesak karena racun nikotin dari
tetangga-tetangganya mengetuk-ngetuk pipa paru-parunya.
“Udah
akhir Maret aja rupanya ya,” ucap Pak Kardi sembari membolak-balik surat kabar
dan memelototinya sebentar-sebentar.
“Iya
ni. Sebentar lagi pemilu. Pilih siapa ya? Apa ndak usah milih aja? Nasib kita
gini-gini aja. Udah milih yang ini, milih yang itu,” balas Pak Joko yang
mengaduk-aduk kopi lalu menyeruputnya.
“Pak
Alim ga jadi tim sukses tahun ini, Pak?” sambung Pak Kardi sambil menoleh ke lelaki
yang duduk di sebelah kirinya itu.
Pak
Alim menggeleng dan tersenyum tipis, “Yang penting jangan golput.” Lalu
bergegas dari tempat duduk. Memberi selembar uang bergambar pangeran Diponegoro
kepada Mbak Sri, si pemilik warung dan kemudian Pak Alim bergegas mengengkol
becaknya.
Ia
mengendarai becak menuju kampus karena disana Pak Alim sering mendapat sewa
penumpang. Entah mengapa, pikirannya melayang ke lima tahun lalu dimana saat
itu ia sedang sibuk-sibuknya menjadi tim sukses adiknya semata wayang. Kala
itu, Pak Alim salah seorang yang paling bersemangat promosi untuk adiknya tercinta. Spanduk bergambarkan foto sang adik pun
dipasang di depan rumah, sebagai penutup becaknya, promosi ke kawan-kawan
sejawatnya, bahkan ia minta izin ke Mbak Sri untuk memasang tampang adiknya itu
di depan warung kopinya.
Adiknya,
Adipati, memang seorang lelaki yang bagus sekali jiwa kepemimpinannya. Ia yang
sejak muda sudah pernah menjadi Ketua remaja masjid, menjadi panitia-panitia
acara di kampusnya saat masih kuliah, bahkan saat sudah menikah pun masih
dipercaya mengetuai beberapa ikatan Bapak-bapak di kampungnya. Pak Alim tau,
Adipati adalah seorang yang gigih. Ia pasti berusaha seratus persen, seribu
persen malah untuk mewujudkan keinginannya menjadi pemimpin tersebut.
Dari
hari kehari, Pak Alim dan adiknya promosi dengan silaturahmi ke berbagai
tempat. Sesekali mereka mengadakan gotong royong untuk membersihkan lingkungan.
Cara ini cukup memuaskan mengingat di kota tempat mereka tinggal pengolahan
sampahnya tergolong buruk. Warga banyak yang mengacungkan jempol untuk program
mereka ini.
Di
lain waktu, mereka juga mengadakan kerja sama dengan remaja masjid untuk
mengadakan pengajian usai salat isya di masjid. Saat pengajian, digelar juga ngopi bersama untuk menghilangkan kantuk
dan menambah keakraban.
Adipati
yang diusung oleh partai X ini juga menjadi contoh bagi sejawatnya sesama calon
wakil rakyat. Programnya banyak menginspirasi, terutama bagi calon yang tidak
begitu kaya, malah seadanya, seperti Adipati ini.
Waktu-waktu
mendekati pemilu pun semakin mendegupkan jantung. Adipati semakin sibuk dengan
promosinya. Sebagai Abang yang baik, Pak Alim senantiasa menasehatinya agar ia
cukup istirahat dan tak lupa selalu berdoa kepada Yang Memiliki Kuasa.
Bagaimanapun,
Adipati adalah seorang manusia biasa. Kesibukan membuatnya begitu bersemangat
untuk urusan dunianya dan jarang mengingat urusan akhiratnya. Dengan terus
mengabaikan petuah sang Abang, ia semakin gencar promosi, tanpa doa dan tanpa
kesungguhan meminta kepada yang Maha Pemberi.
Sudah
menghitung hari menuju pemilu. Desas desus yang memanaskan telinga itupun
muncul. Pak Alim menelan ludah, menahan perih di rongga jantungnya saat Pak
Kardi bercerita bahwa adiknya, sang calon wakil rakyat sudah ikut-ikutan calon
lain, membagi-bagikan uang. Yang dibagikannya adalah uang bergambar Pura Bali
kepada masing-masing warga yang berjanji mendukungnya.
Seketika
mendengar kabar itu, Pak Alim langsung menghampiri kediaman adiknya di jalan
Awan. Tapi sang Adik sedang tak ada dirumah. “Lagi ada pertemuan dengan
kawan-kawannya, Bang,” kata istri Adipati saat dijumpai dirumahnya.
“Min,
Abang mau tanya,” sahut Pak Alim lalu kemudian terdiam sebentar, “Tapi nanti
sajalah sama si Adi,” lanjutnya kemudian.
Adik
iparnya itu pun mengangguk. Tapi ada seraut gurat cemas diwajahnya. Pak Alim
ingin menanyakan “Ada apa?” tapi ditahannya.
Pak
Alim pun pamit dengan wajah berkerut mirip tanda tanya.
***
Hari yang ditunggu-tunggu Adipati pun tiba.
Setelah beberapa waktu bersimbah peluh serta lelah pikiran, tibalah saatnya pencoblosan
dan saat ini merupakan detik-detik penghitungan suara di TPS dekat rumahnya.
Pak Alim dari kejauhan tersenyum, tapi sulit diartikan, entah senyum bangga atau
senyum penuh tanya.
Saat
penghitungan suara berakhir, keadaan pun semakin tanda tanya, terutama tim
sukses Adipati termasuk Pak Alim. Wajah Adipati memerah. Ia yang begitu yakin
bakal terpilih menjadi wakil rakyat, malah tertinggal jumlah suaranya dan
dilangkahi 2 calon. Dan jika diakumulasikan
beberapa dapil dari kabar yang beredar ditengah tim suksesnya, pupuslah
sudah harapan Adipati. Ia tak mungkin mendapatkan bangku di gedung wakil rakyat
itu. Angka yang diperolehnya tertinggal jauh.
Pak
Alim seketika menepuk pundak Adipati. Mengajaknya pulang di tengah riuh tepuk
tangan dari tim partai yang menang.
Sesampainya
dirumah, Adipati hanya diam. Saat satu dua orang memberi petuah “Sabar..”,
Adipati hanya tersenyum kecut dan kembali diam lagi.
Pak
Alim dengan pelan menasehati adiknya, “Di, inilah hidup. Tidak semua yang kita
inginkan itu harus jadi kenyataan. Ternyata Yang Maha Mengetahui menakdirkan
kau untuk tidak menang tahun ini. Mungkin kau disuruh belajar lagi untuk
menjadi pemimpin yang lebih baik. Bagaimanapun juga, kita telah berusaha
maksimal. Semoga program kita kemarin ada manfaatnya untuk masyarakat.”
Adipati
hanya diam. Pandangannya tertuju ke satu tumpukan kertas dihadapannya.
Esok
hari, saat para tukang becak kembali melakukan ritual minum kopinya, barulah
Pak Alim tau, saat Adipati terhasut membagi-bagikan lembaran biru bergambar
Pura Bali, calon-calon lain berbagi lembaran merah bergambar Soe-Ta.
***
Kembali
aroma Arabica memenuhi ruangan dodolan Mbak Sri. Kali ini para
Bapak-bapak asik berbincang, “Milih atau Golput ya?”
Dan
Pak Alim lagi-lagi memberi petuah agar mereka milih, jangan golput. Tapi kali
ini tanpa promosi. Walaupun kemarin sore ia membicarakan tumpukan kalender,
stiker dan kartu foto-foto caleg dengan anak istrinya. Iya, mereka bingung
pilih yang mana. Tapi saat istrinya bercerita ada partai yang mau memberi
lembaran merah, Pak Alim menegaskan “Hak suara kita tak terbayar dengan apapun,
Bu. Hak suara kita saat ini yang bisa menjadi harapan apakah kita masih bisa
makan besok, apakah anak kita bisa lanjut sekolah.”
Pak
Alim menghabiskan tetesan kopi terakhir dicangkirnya. Ia beranjak dari tempat
duduk, memberikan uang bergambar Pangeran Diponegoro kepada Mbak Sri, lalu
mengengkol becaknya. Trauma adiknya yang masuk RSJ karena kalah nyaleg itu tak
menyurutkan niatnya untuk ke TPS, menyumbangkan satu hak suara berharganya.
Sampai
di TPS, melewati administrasi dan diberi 4 kertas suara yang berwarna merah,
kuning, hijau dan biru, Pak Alim bergegas menuju kamar rahasia, tempat untuk
menyoblos. Ia membuka satu persatu kertas suara, dilihatnya satu persatu nama
dan ada juga kertas suara yang memajang foto. Tak lama berpikir “Bismillah,
semoga ini yang terbaik.” Sudah tiga kertas suara dicoblosnya, tinggal satu
kertas suara berwarna merah yang memajang foto yang belum dicobolosnya. Ia agak
bingung, semua laki-laki digambar itu pakai peci. Tiba di satu gambar, “Oh, ini
dia. Bismillah.” Keluar dari TPS dengan senyum sederhana. Yang dipilihnya tadi
pernah jadi imam shalat jum’at di Masjid Mukmin, dekat kampus ia biasa mangkal.
Sampai
perhitungan suara selesai, ia masih di TPS. Ia perhatikan wajah-wajah caleg
yang tersenyum ceria, tersenyum sedang-sedang saja dan diam. “Semoga yang diam
ini tidak menggadaikan surat tanah dan rumahnya untuk kampanye seperti yang
dilakukan Adipati dulu,” gumamnya dalam hati.
ditulis oleh Dewi Pertiwi
0 komentar:
Posting Komentar