Senin, 05 Mei 2014

CERPEN: SECANGKIR KOPI PAGI

Aroma kopi Arabica begitu tajam memenuhi ruangan 3x4 meter di pinggiran Jalan Bintang. Beberapa gumpalan asap rokok terlihat mengepul dari mulut para penikmat kopi tersebut. Cuma Pak Alim saja yang sesekali batuk dan berdehem merasakan sesak karena racun nikotin dari tetangga-tetangganya mengetuk-ngetuk pipa paru-parunya.

“Udah akhir Maret aja rupanya ya,” ucap Pak Kardi sembari membolak-balik surat kabar dan memelototinya sebentar-sebentar.

“Iya ni. Sebentar lagi pemilu. Pilih siapa ya? Apa ndak usah milih aja? Nasib kita gini-gini aja. Udah milih yang ini, milih yang itu,” balas Pak Joko yang mengaduk-aduk kopi lalu menyeruputnya.

“Pak Alim ga jadi tim sukses tahun ini, Pak?” sambung Pak Kardi sambil menoleh ke lelaki yang duduk di sebelah kirinya itu.

Pak Alim menggeleng dan tersenyum tipis, “Yang penting jangan golput.” Lalu bergegas dari tempat duduk. Memberi selembar uang bergambar pangeran Diponegoro kepada Mbak Sri, si pemilik warung dan kemudian Pak Alim bergegas mengengkol becaknya.

Ia mengendarai becak menuju kampus karena disana Pak Alim sering mendapat sewa penumpang. Entah mengapa, pikirannya melayang ke lima tahun lalu dimana saat itu ia sedang sibuk-sibuknya menjadi tim sukses adiknya semata wayang. Kala itu, Pak Alim salah seorang yang paling bersemangat promosi untuk adiknya tercinta. Spanduk bergambarkan foto sang adik pun dipasang di depan rumah, sebagai penutup becaknya, promosi ke kawan-kawan sejawatnya, bahkan ia minta izin ke Mbak Sri untuk memasang tampang adiknya itu di depan warung kopinya.

Adiknya, Adipati, memang seorang lelaki yang bagus sekali jiwa kepemimpinannya. Ia yang sejak muda sudah pernah menjadi Ketua remaja masjid, menjadi panitia-panitia acara di kampusnya saat masih kuliah, bahkan saat sudah menikah pun masih dipercaya mengetuai beberapa ikatan Bapak-bapak di kampungnya. Pak Alim tau, Adipati adalah seorang yang gigih. Ia pasti berusaha seratus persen, seribu persen malah untuk mewujudkan keinginannya menjadi pemimpin tersebut.

Dari hari kehari, Pak Alim dan adiknya promosi dengan silaturahmi ke berbagai tempat. Sesekali mereka mengadakan gotong royong untuk membersihkan lingkungan. Cara ini cukup memuaskan mengingat di kota tempat mereka tinggal pengolahan sampahnya tergolong buruk. Warga banyak yang mengacungkan jempol untuk program mereka ini.

Di lain waktu, mereka juga mengadakan kerja sama dengan remaja masjid untuk mengadakan pengajian usai salat isya di masjid. Saat pengajian, digelar juga ngopi bersama untuk menghilangkan kantuk dan menambah keakraban.

Adipati yang diusung oleh partai X ini juga menjadi contoh bagi sejawatnya sesama calon wakil rakyat. Programnya banyak menginspirasi, terutama bagi calon yang tidak begitu kaya, malah seadanya, seperti Adipati ini.

Waktu-waktu mendekati pemilu pun semakin mendegupkan jantung. Adipati semakin sibuk dengan promosinya. Sebagai Abang yang baik, Pak Alim senantiasa menasehatinya agar ia cukup istirahat dan tak lupa selalu berdoa kepada Yang Memiliki Kuasa.

Bagaimanapun, Adipati adalah seorang manusia biasa. Kesibukan membuatnya begitu bersemangat untuk urusan dunianya dan jarang mengingat urusan akhiratnya. Dengan terus mengabaikan petuah sang Abang, ia semakin gencar promosi, tanpa doa dan tanpa kesungguhan meminta kepada yang Maha Pemberi.

Sudah menghitung hari menuju pemilu. Desas desus yang memanaskan telinga itupun muncul. Pak Alim menelan ludah, menahan perih di rongga jantungnya saat Pak Kardi bercerita bahwa adiknya, sang calon wakil rakyat sudah ikut-ikutan calon lain, membagi-bagikan uang. Yang dibagikannya adalah uang bergambar Pura Bali kepada masing-masing warga yang berjanji mendukungnya.
Seketika mendengar kabar itu, Pak Alim langsung menghampiri kediaman adiknya di jalan Awan. Tapi sang Adik sedang tak ada dirumah. “Lagi ada pertemuan dengan kawan-kawannya, Bang,” kata istri Adipati saat dijumpai dirumahnya.

“Min, Abang mau tanya,” sahut Pak Alim lalu kemudian terdiam sebentar, “Tapi nanti sajalah sama si Adi,” lanjutnya kemudian.

Adik iparnya itu pun mengangguk. Tapi ada seraut gurat cemas diwajahnya. Pak Alim ingin menanyakan “Ada apa?” tapi ditahannya.

Pak Alim pun pamit dengan wajah berkerut mirip tanda tanya.

***

Hari yang ditunggu-tunggu Adipati pun tiba. Setelah beberapa waktu bersimbah peluh serta lelah pikiran, tibalah saatnya pencoblosan dan saat ini merupakan detik-detik penghitungan suara di TPS dekat rumahnya. Pak Alim dari kejauhan tersenyum, tapi sulit diartikan, entah senyum bangga atau senyum penuh tanya.

Saat penghitungan suara berakhir, keadaan pun semakin tanda tanya, terutama tim sukses Adipati termasuk Pak Alim. Wajah Adipati memerah. Ia yang begitu yakin bakal terpilih menjadi wakil rakyat, malah tertinggal jumlah suaranya dan dilangkahi 2 calon. Dan jika diakumulasikan beberapa dapil dari kabar yang beredar ditengah tim suksesnya, pupuslah sudah harapan Adipati. Ia tak mungkin mendapatkan bangku di gedung wakil rakyat itu. Angka yang diperolehnya tertinggal jauh.

Pak Alim seketika menepuk pundak Adipati. Mengajaknya pulang di tengah riuh tepuk tangan dari tim partai yang menang.

Sesampainya dirumah, Adipati hanya diam. Saat satu dua orang memberi petuah “Sabar..”, Adipati hanya tersenyum kecut dan kembali diam lagi.

Pak Alim dengan pelan menasehati adiknya, “Di, inilah hidup. Tidak semua yang kita inginkan itu harus jadi kenyataan. Ternyata Yang Maha Mengetahui menakdirkan kau untuk tidak menang tahun ini. Mungkin kau disuruh belajar lagi untuk menjadi pemimpin yang lebih baik. Bagaimanapun juga, kita telah berusaha maksimal. Semoga program kita kemarin ada manfaatnya untuk masyarakat.”

Adipati hanya diam. Pandangannya tertuju ke satu tumpukan kertas dihadapannya.

Esok hari, saat para tukang becak kembali melakukan ritual minum kopinya, barulah Pak Alim tau, saat Adipati terhasut membagi-bagikan lembaran biru bergambar Pura Bali, calon-calon lain berbagi lembaran merah bergambar Soe-Ta. 
                                                            ***
Kembali aroma Arabica memenuhi ruangan dodolan Mbak Sri. Kali ini para Bapak-bapak asik berbincang, “Milih atau Golput ya?”

Dan Pak Alim lagi-lagi memberi petuah agar mereka milih, jangan golput. Tapi kali ini tanpa promosi. Walaupun kemarin sore ia membicarakan tumpukan kalender, stiker dan kartu foto-foto caleg dengan anak istrinya. Iya, mereka bingung pilih yang mana. Tapi saat istrinya bercerita ada partai yang mau memberi lembaran merah, Pak Alim menegaskan “Hak suara kita tak terbayar dengan apapun, Bu. Hak suara kita saat ini yang bisa menjadi harapan apakah kita masih bisa makan besok, apakah anak kita bisa lanjut sekolah.”

Pak Alim menghabiskan tetesan kopi terakhir dicangkirnya. Ia beranjak dari tempat duduk, memberikan uang bergambar Pangeran Diponegoro kepada Mbak Sri, lalu mengengkol becaknya. Trauma adiknya yang masuk RSJ karena kalah nyaleg itu tak menyurutkan niatnya untuk ke TPS, menyumbangkan satu hak suara berharganya.

Sampai di TPS, melewati administrasi dan diberi 4 kertas suara yang berwarna merah, kuning, hijau dan biru, Pak Alim bergegas menuju kamar rahasia, tempat untuk menyoblos. Ia membuka satu persatu kertas suara, dilihatnya satu persatu nama dan ada juga kertas suara yang memajang foto. Tak lama berpikir “Bismillah, semoga ini yang terbaik.” Sudah tiga kertas suara dicoblosnya, tinggal satu kertas suara berwarna merah yang memajang foto yang belum dicobolosnya. Ia agak bingung, semua laki-laki digambar itu pakai peci. Tiba di satu gambar, “Oh, ini dia. Bismillah.” Keluar dari TPS dengan senyum sederhana. Yang dipilihnya tadi pernah jadi imam shalat jum’at di Masjid Mukmin, dekat kampus ia biasa mangkal.

Sampai perhitungan suara selesai, ia masih di TPS. Ia perhatikan wajah-wajah caleg yang tersenyum ceria, tersenyum sedang-sedang saja dan diam. “Semoga yang diam ini tidak menggadaikan surat tanah dan rumahnya untuk kampanye seperti yang dilakukan Adipati dulu,” gumamnya dalam hati.

ditulis oleh Dewi Pertiwi

0 komentar:

Posting Komentar