Rabu, 07 Mei 2014

CERPEN: GADIS KANGKUNG

Gadis kecil bernama Hera itu, melongok ke dalam kamar sempit yang disesaki baju-baju lusuh yang bergantungan di dinding dan ada sebuah lemari pakaian terbuat dari tripleks yang sudah tampak rapuh di sudut kamar. Ia tengok ayahnya masih berbalut selimut di atas ranjang. Ia tahu, sudah pasti ayahnya pulang dari pakter tuak tengah malam tadi. Dan ia tahu, sebenarnya tak penting lagi menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada ayahnya di subuh ini. Percuma saja, selalu begitu, tak ada tanggapan, bahkan malah marah-marah, pikirnya. Maka ia abaikan ayahnya, dan lebih baik ia segera mencuci wajah, lalu melakukan apa yang bisa ia kerjakan.

Ibunya yang sedang buang air besar di kakus belakang rumah, mendengar pintu dapur berderit. Ia tahu, Hera mengeluarkan sepeda, maka ia buru-buru cebok dan membenahi sarungnya, lalu keluar dari kakus. Tapi Hera buru-buru mengayuh sepedanya ke arah rawa milik bapak Hotman yang berumah di kota, untuk mencari kangkung seperti biasa. Lalu, dengan kesal, ibunya masuk ke dalam rumah untuk menanyakan pada suaminya tentang Hera.

Embun mengambang dan jatuh pelan-pelan menerpa tubuh Hera. Ia taklukkan kabut dan dinginnya subuh. Dengan sepeda, ia lintasi jalan desa yang masih sepi, lalu perkebunan karet milik bapak Hotman yang sunyi.

Tak berapa lama kemudian ia sampai di tepi rawa. Ia sandarkan sepedanya pada sebuah pohon karet milik bapak Hotman. Ia rogoh saku celananya untuk mengeluarkan kantong plastik sebagai wadah kangkung. Lalu, ia gegas berjalan ke rawa, dan mulai memetik kangkung–kangkung yang menghampar. Ia pilih kangkung-kangkung yang baik, yang daunnya tak tercabik ulat, maka ia harus menjelajahi rawa itu lebih luas lagi.

Kakinya berkecipak dan mulai dilumuri lumpur, dan begitu pula dengan telapak tangannya mulai lengket oleh getah kangkung. Sayup-sayup ia dengar suara burung ruak-ruak yang mencari belalang di antara pohon-pohon keladi. Ruak-ruak tak perlu membayar uang sekolah dan membayar uang batik seragam, tapi mengapa subuh begini mereka sudah berada di rawa? Pikir Hera.

Pelan-pelan mentari menyembul dari ufuk Timur. Langit tampak berwarna merah keemasan. Kantong plastik sudah dipenuhi kangkung. Maka ia pun naik ke darat, dan mulai membagi kangkung-kangkung itu ke dalam sebuah ikatan. Lalu ia bagi kangkung-kangkung itu ke dalam 16 ikatan, dan akan dijual pada Tante Ela dengan harga limaratus rupiah per satu ikat kangkung. Namun ia sisakan satu ikat kangkung untuk dimasak di rumah.

***
Saat Hera sampai ke warung, Tante Ela sibuk menyusun beragam sayurannya untuk dijual. Suasana masih sepi. Belum ada ibu-ibu yang datang untuk membeli. Hera menjual kangkung-kangkungnya itu kepada Tante Ela, dan Tante Ela memberikan tujuhribu limaratus untuk 15 ikat kangkung itu.

“Rajin-rajinlah kau Hera, susah hidup di zaman sekarang ini. Rajin-rajin juga kau sekolah ya. Sekolah yang tinggi,” kata Tante Ela ketika memberikan uang. Hera hanya mengangguk, lalu naik ke sepedanya dan mengayuhnya ke arah rumahnya.

Sesampainya di rumah, di dalam dapur, Hera disambut oleh ayah dan ibunya yang sedang bergaduh. Ibunya tersedu-sedan, pipinya merah bekas tamparan. Ayahnya berkacak pinggang. 

“Ini gara-gara kau, Hera!” bentak ayahnya sambil mengacungkan telunjuk pada Hera.

Ayahnya menghampiri Hera, tangan kanannya naik ke atas melebihi kepalanya dan dengan telapak tangan yang terkembang. Hera tertunduk dan memicingkan mata. Ia paham, pasti ayahnya marah karena ibunya mengadukan keluhannya pada ayahnya. Padahal ia tak menginginkan hal ini terjadi. Lalu, ayahnya menurunkan lagi tangannya.

“Apa tak cukup uang jual kangkung kau itu untuk membayar uang seragam batik kau, ha?!”

Hera masih tertunduk. Ibunya masih tersedu-sedan. Hera menduga bahwa ayahnya pasti kalah lagi berjudi tadi malam. Jika sudah kalah berjudi pasti ayahnya menjadi temperamen seperti itu.

“Kalau kau mau sekolah, kau sendiri yang membayar biaya sekolahnya. Paham kau kan?!”

Ayahnya berhenti membentak, lalu berjalan ke arah kamar untuk kembali bergumul dengan bantal. Darah ayahnya masih menggelegak. Hera menoleh sejenak ke arah ibunya yang tersedu-sedan, lalu ia mengambil handuk yang tersangkut di sebuah paku di dinding dapur, dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Setelah itu, ia akan berangkat ke sekolah.

***
Hera berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Dalam perjalannya menuju ke sekolah, jantungnya berdetak kencang. Ia takut dimarahi lagi oleh ibu gurunya, karena belum mampu melunasi uang baju batik sekolah. Padahal, teman-temannya sudah berminggu-minggu yang lalu telah melunasinya. Tiap hari, ibu guru Meri, sebagai wali kelasnya selalu menagih uang baju batik itu, dengan nada membentak. Bahkan teman-temannya juga suka meledeknya. Meledek ayahnya tukang tenggen, mabuk tuak.

Di saku baju sekolahnya hanya ada uang dari menjual kangkung-kangkung itu, dan itu belum mampu untuk melunasi seragamnya. Tapi, ia memberanikan diri untuk tetap datang ke sekolah, meski ibu Meri mengatakan bahwa hari ini ia harus melunasi seragam batik itu.

Bel masuk berbunyi. Hera berlari-lari bersama sesama teman-temannya yang baru saja sampai di sekolah, menuju ruang belajar masing-msing. Nyaris saja ia terlambat. Lalu, ia duduk di bangku biasanya, dan ibu Meri berjalan menuju ruang belajarnya.

Ketika ibu Meri masuk ke ruangan, seketika itu jantung Hera berdetak kencang. Tanpa sengaja ibu Meri menatap mata Hera. Mereka beradu pandang sejenak. Lalu Hera memilih menunduk, karena takut. Ibu Meri langsung teringat dengan uang seragam batik Hera.

“Hera, sini, Nak,” perintah ibu Meri.

Hera ketakutan. Tubuhnya panas dan bergetar. Keningnya berpeluh.

“Mari, Hera,” ulangi ibu Meri.

Hera tak mau membuat ibu Meri tambah kesal, maka ia berjalan mendatangi ibu Meri yang berada di meja guru, meski ia tampak pucat karena menahan takut. Dan, ia langsung paham maksud ibu Meri. Maka ia meletakkan uang tujuhribu limaratus rupiah di atas meja guru.

“Kau masih belum bisa melunasi juga, Hera? Apakah tak kau tahu kalau kawan-kawanmu sudah lunas semua, ha?!”

Kaki Hera bergetar. Ia tetap tertunduk. Sudah berulangkali pertanyaan ibu Meri itu menyinggung perasaannya.

“Kapan lagi?”

Hera tetap diam.

“Kapan lagi, Hera?”

Masih diam.

“Kapan lagi, ha?”

Mimik Hera berubah. Ia tersedu-sedan.

“Besok, Bu,” jawab Hera terbata-bata.

“Besok lagi, besok lagi, sudah, duduk kau sana!”

Semua mata teman-temannya tertuju padanya. Ia kembali duduk, dan tertunduk. Ia berpikir, pasti ia bisa melunasi uang batik seragamnya besok. Meski itu cukup sulit, karena tak mungkin memetik kangkung-kangkung melebihi 16 ikat. Sebab, orang-orang tak mungkin tiap hari makan kangkung, dan tak mungkin pula ia memetik kangkung tiap hari, karena ia juga harus menunggu pucuk-pucuk kangkung yang dipetik itu tumbuh kembali.

***
Siang ini, bapak Hotman pemilik kebun karet dan sekaligus pemilik rawa yang ditumbuhi kangkung-kangkung itu datang dari kota ke desa bersama tiga orang pekerjanya untuk meracun rumput-rumput, juga termasuk kangkung-kangkung itu, di lahan miliknya. Sebab rawa itu akan dibersihkan, karena akan dibuat kolam-kalam untuk beternak ikan patin, gurami, dan, ikan yang lainnya. Lantas, mereka pun meracun tumbuh-tumbuhan yang berada di rawa itu.

Sementara itu, Hera tidak tahu akan hal itu. Ia masih berada di sekolah. Maka, ia membayangkan kalau besok subuh ia datang kembali ke rawa itu. Hatinya sedikit lega.

***
Subuh datang. Hera bangun tidur langsung teringat pada kangkung-kangkung itu. Sebelum berangkat, ia mencuci muka terlebih dulu. Sejenak ia melongok ke dalam kamar. Ia tidak melihat ayahnya berada di dalam kamar itu. Pasti ayah mabuk lagi, main judi lagi, pikirnya, dan pasti tidur di pakter tuak. Lalu ia mengeluarkan sepeda lewat pintu dapur. Ibunya sedang berada di kakus sambil berpikir, apakah suaminya bisa tobat? Sudah cukup rasanya ia makan hati.

Hera mengayuh sepedanya melintasi jalan desa yang sepi. Sekilas ia mendengar suara parau meminta tolong. Suara itu bersumber dari parit yang sedikit airnya. Tapi ia tak peduli dengan suara itu, ia hanya ingin mendapat uang untuk melunasi uang batik seragamnya. Padahal itu suara ayahnya yang masih mabuk berat, yang terjerambab ketika akan pulang ke rumah dari pesta tuak jam tiga dini hari tadi. Namun, meskipun ia tahu bahwa itu ayahnya, ia tetap tak peduli.


Tanjung Pasir, 2014

ditulis oleh Muftirom Fauzi Aruan
Terbit di Pikiran Rakyat, 27 April 2014 

0 komentar:

Posting Komentar