Gadis kecil
bernama Hera itu, melongok ke dalam kamar sempit yang disesaki baju-baju lusuh
yang bergantungan di dinding dan ada sebuah lemari pakaian terbuat dari tripleks
yang sudah tampak rapuh di sudut kamar. Ia tengok ayahnya masih berbalut
selimut di atas ranjang. Ia tahu, sudah pasti ayahnya pulang dari pakter tuak
tengah malam tadi. Dan ia tahu, sebenarnya tak penting lagi menyampaikan apa
yang ingin ia katakan pada ayahnya di subuh ini. Percuma saja, selalu begitu,
tak ada tanggapan, bahkan malah marah-marah, pikirnya. Maka ia abaikan ayahnya,
dan lebih baik ia segera mencuci wajah, lalu melakukan apa yang bisa ia
kerjakan.
Ibunya yang
sedang buang air besar di kakus belakang rumah, mendengar pintu dapur berderit.
Ia tahu, Hera mengeluarkan sepeda, maka ia buru-buru cebok dan membenahi
sarungnya, lalu keluar dari kakus. Tapi Hera buru-buru mengayuh sepedanya ke
arah rawa milik bapak Hotman yang berumah di kota, untuk mencari kangkung
seperti biasa. Lalu, dengan kesal, ibunya masuk ke dalam rumah untuk menanyakan
pada suaminya tentang Hera.
Embun mengambang
dan jatuh pelan-pelan menerpa tubuh Hera. Ia taklukkan kabut dan dinginnya
subuh. Dengan sepeda, ia lintasi jalan desa yang masih sepi, lalu perkebunan
karet milik bapak Hotman yang sunyi.
Tak berapa
lama kemudian ia sampai di tepi rawa. Ia sandarkan sepedanya pada sebuah pohon
karet milik bapak Hotman. Ia rogoh saku celananya untuk mengeluarkan kantong
plastik sebagai wadah kangkung. Lalu,
ia gegas berjalan ke rawa, dan mulai memetik kangkung–kangkung yang menghampar.
Ia pilih kangkung-kangkung yang baik, yang daunnya tak tercabik ulat, maka ia
harus menjelajahi rawa itu lebih luas lagi.
Kakinya
berkecipak dan mulai dilumuri lumpur, dan begitu pula dengan telapak tangannya
mulai lengket oleh getah kangkung. Sayup-sayup ia dengar suara burung ruak-ruak
yang mencari belalang di antara pohon-pohon keladi. Ruak-ruak tak perlu
membayar uang sekolah dan membayar uang batik seragam, tapi mengapa subuh
begini mereka sudah berada di rawa? Pikir Hera.
Pelan-pelan
mentari menyembul dari ufuk Timur. Langit tampak berwarna merah keemasan.
Kantong plastik sudah dipenuhi kangkung. Maka ia pun naik ke darat, dan mulai
membagi kangkung-kangkung itu ke dalam sebuah ikatan. Lalu ia bagi
kangkung-kangkung itu ke dalam 16 ikatan, dan akan dijual pada Tante Ela dengan
harga limaratus rupiah per satu ikat kangkung. Namun ia sisakan satu ikat
kangkung untuk dimasak di rumah.
***
Saat Hera
sampai ke warung, Tante Ela sibuk menyusun beragam sayurannya untuk dijual.
Suasana masih sepi. Belum ada ibu-ibu yang datang untuk membeli. Hera menjual
kangkung-kangkungnya itu kepada Tante Ela, dan Tante Ela memberikan tujuhribu
limaratus untuk 15 ikat kangkung itu.
“Rajin-rajinlah
kau Hera, susah hidup di zaman sekarang ini. Rajin-rajin juga kau sekolah ya.
Sekolah yang tinggi,” kata Tante Ela ketika memberikan uang. Hera hanya
mengangguk, lalu naik ke sepedanya dan mengayuhnya ke arah rumahnya.
Sesampainya
di rumah, di dalam dapur, Hera disambut oleh ayah dan ibunya yang sedang
bergaduh. Ibunya tersedu-sedan, pipinya merah bekas tamparan. Ayahnya berkacak
pinggang.
“Ini
gara-gara kau, Hera!” bentak ayahnya sambil mengacungkan telunjuk pada Hera.
Ayahnya
menghampiri Hera, tangan kanannya naik ke atas melebihi kepalanya dan dengan
telapak tangan yang terkembang. Hera tertunduk dan memicingkan mata. Ia paham,
pasti ayahnya marah karena ibunya mengadukan keluhannya pada ayahnya. Padahal
ia tak menginginkan hal ini terjadi. Lalu, ayahnya menurunkan lagi tangannya.
“Apa tak
cukup uang jual kangkung kau itu untuk membayar uang seragam batik kau, ha?!”
Hera masih
tertunduk. Ibunya masih tersedu-sedan. Hera menduga bahwa ayahnya pasti kalah
lagi berjudi tadi malam. Jika sudah kalah berjudi pasti ayahnya menjadi
temperamen seperti itu.
“Kalau kau
mau sekolah, kau sendiri yang membayar biaya sekolahnya. Paham kau kan?!”
Ayahnya
berhenti membentak, lalu berjalan ke arah kamar untuk kembali bergumul dengan
bantal. Darah ayahnya masih menggelegak. Hera menoleh sejenak ke arah ibunya
yang tersedu-sedan, lalu ia mengambil handuk yang tersangkut di sebuah paku di
dinding dapur, dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Setelah itu, ia akan
berangkat ke sekolah.
***
Hera
berangkat ke sekolah dengan mengayuh sepeda. Dalam perjalannya menuju ke
sekolah, jantungnya berdetak kencang. Ia takut dimarahi lagi oleh ibu gurunya,
karena belum mampu melunasi uang baju batik sekolah. Padahal, teman-temannya
sudah berminggu-minggu yang lalu telah melunasinya. Tiap hari, ibu guru Meri,
sebagai wali kelasnya selalu menagih uang baju batik itu, dengan nada membentak.
Bahkan teman-temannya juga suka meledeknya. Meledek ayahnya tukang tenggen, mabuk tuak.
Di saku baju
sekolahnya hanya ada uang dari menjual kangkung-kangkung itu, dan itu belum
mampu untuk melunasi seragamnya. Tapi, ia memberanikan diri untuk tetap datang
ke sekolah, meski ibu Meri mengatakan bahwa hari ini ia harus melunasi seragam
batik itu.
Bel masuk
berbunyi. Hera berlari-lari bersama sesama teman-temannya yang baru saja sampai
di sekolah, menuju ruang belajar masing-msing. Nyaris saja ia terlambat. Lalu,
ia duduk di bangku biasanya, dan ibu Meri berjalan menuju ruang belajarnya.
Ketika ibu
Meri masuk ke ruangan, seketika itu jantung Hera berdetak kencang. Tanpa
sengaja ibu Meri menatap mata Hera. Mereka beradu pandang sejenak. Lalu Hera
memilih menunduk, karena takut. Ibu Meri langsung teringat dengan uang seragam
batik Hera.
“Hera, sini,
Nak,” perintah ibu Meri.
Hera
ketakutan. Tubuhnya panas dan bergetar. Keningnya berpeluh.
“Mari,
Hera,” ulangi ibu Meri.
Hera tak mau
membuat ibu Meri tambah kesal, maka ia berjalan mendatangi ibu Meri yang berada
di meja guru, meski ia tampak pucat karena menahan takut. Dan, ia langsung
paham maksud ibu Meri. Maka ia meletakkan uang tujuhribu limaratus rupiah di
atas meja guru.
“Kau masih
belum bisa melunasi juga, Hera? Apakah tak kau tahu kalau kawan-kawanmu sudah
lunas semua, ha?!”
Kaki Hera
bergetar. Ia tetap tertunduk. Sudah berulangkali pertanyaan ibu Meri itu
menyinggung perasaannya.
“Kapan
lagi?”
Hera tetap
diam.
“Kapan lagi,
Hera?”
Masih diam.
“Kapan lagi,
ha?”
Mimik Hera
berubah. Ia tersedu-sedan.
“Besok, Bu,”
jawab Hera terbata-bata.
“Besok lagi,
besok lagi, sudah, duduk kau sana!”
Semua mata
teman-temannya tertuju padanya. Ia kembali duduk, dan tertunduk. Ia berpikir,
pasti ia bisa melunasi uang batik seragamnya besok. Meski itu cukup sulit,
karena tak mungkin memetik kangkung-kangkung melebihi 16 ikat. Sebab,
orang-orang tak mungkin tiap hari makan kangkung, dan tak mungkin pula ia
memetik kangkung tiap hari, karena ia juga harus menunggu pucuk-pucuk kangkung
yang dipetik itu tumbuh kembali.
***
Siang ini,
bapak Hotman pemilik kebun karet dan sekaligus pemilik rawa yang ditumbuhi
kangkung-kangkung itu datang dari kota ke desa bersama tiga orang pekerjanya
untuk meracun rumput-rumput, juga termasuk kangkung-kangkung itu, di lahan
miliknya. Sebab rawa itu akan dibersihkan, karena akan dibuat kolam-kalam untuk
beternak ikan patin, gurami, dan, ikan yang lainnya. Lantas, mereka pun meracun
tumbuh-tumbuhan yang berada di rawa itu.
Sementara
itu, Hera tidak tahu akan hal itu. Ia masih berada di sekolah. Maka, ia
membayangkan kalau besok subuh ia datang kembali ke rawa itu. Hatinya sedikit
lega.
***
Subuh
datang. Hera bangun tidur langsung teringat pada kangkung-kangkung itu. Sebelum
berangkat, ia mencuci muka terlebih dulu. Sejenak ia melongok ke dalam kamar.
Ia tidak melihat ayahnya berada di dalam kamar itu. Pasti ayah mabuk lagi, main
judi lagi, pikirnya, dan pasti tidur di pakter tuak. Lalu ia mengeluarkan sepeda
lewat pintu dapur. Ibunya sedang berada di kakus sambil berpikir, apakah
suaminya bisa tobat? Sudah cukup rasanya ia makan hati.
Hera
mengayuh sepedanya melintasi jalan desa yang sepi. Sekilas ia mendengar suara
parau meminta tolong. Suara itu bersumber dari parit yang sedikit airnya. Tapi
ia tak peduli dengan suara itu, ia hanya ingin mendapat uang untuk melunasi
uang batik seragamnya. Padahal itu suara ayahnya yang masih mabuk berat, yang
terjerambab ketika akan pulang ke rumah dari pesta tuak jam tiga dini hari
tadi. Namun, meskipun ia tahu bahwa itu ayahnya, ia tetap tak peduli.
Tanjung Pasir, 2014
ditulis oleh Muftirom Fauzi Aruan
Terbit di Pikiran Rakyat, 27 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar