Suatu hari,
di sebuah hutan, hutan Negeriku. Seekor burung asing memasuki belantara
rimbanya. Tampak ia kesulitan mengepakkan sayap. Sebab kibasan sayapnya terlalu
panjang merentang dan ranting yang satu dengan yang lain tumbuh sungguh rapat.
Pun dedaunannya sungguh lebat. Ia memutuskan untuk berhenti terbang, lantas bertengger
di ranting terdekat dari pada ia menabrak dan salah satu sayapnya patah lalu
jatuh ke tanah, menjadi mangsa yang sungguh empuk. Begitupun berpasang mata
rupanya telah mengawasi. Apatah mangsa atau tanya.
Ia pun melompat
menyamping di sepanjang ranting. Pupil hitam ikut bergelinding di berpasang-pasang
bola mata, yang bersembunyi di balik bebayang hitam dedaunan. Meski begitu
sepertinya tak terlalu memperdulikannya. Terus saja melompat, di reranting yang
kian masai tumbuh makin ke bagian hutan terdalam. Menyusut pula daya mentari yang
menerabas lebatnya dedaunan. Redup.
Namun, kian
tak perduli rupanya ia, tenggelam dalam redup yang nyaris gulita. Kian jelas
pula bahwa ada sesuatu yang hendak dicari di hutan Negeriku. Niat awal yang
begitu besar sepertinya.
Lamat dari
kejauhan terdengar olehnya suara kerosak dan reranting patah. Angin dan dedaunan turut berseteru, meriuhkan suara gaduh. Desau
melarung hingga ke ranting tempat ia sedang bertengger. Seketika ranting di
cengkeramannya bergoyang akibat kegaduhan yang berada disekitarnya. Berpasang-pasang
mata tampaknya dirundung kengerian yang hebat atas suara tersebut. Mencoba
menjauh. Namun sekali lagi ia tak searus dengan mereka yang dirundung
kengerian. Malah ia menyongsong suara tersebut, gapah-gopoh.
Tak ada lagi
sepasangpun mata yang mengawasinya kini. Ia terus menyongsong suara gaduh yang
makin terdengar jelas. Mulai dapat dikaisnya kembali jejak cahaya yang hampir
tidak mampu menerabas lebat dedaun. Sesampainya, ia tak mendapati apapun dari
muasal suara gaduh itu. Kecuali setangkup reranting dan dahan yang patah,
dedaunan yang luruh, terbentang luas. Bak sabit telentang. Dan setitik bayang
hitam nun terbang tinggi. Raut wajah burung asing sekelebat beralih murung. Di
tatap angkasa yang kembali terbuka.
Seekor
burung gagak melayap ke arahnya, datang menghampiri. Bebulu sayapnya coklat,
jambulnya putih dan bagian lain tubuhnya hitam pekat. “Tenanglah, Nak.”
“Kemana Tuan
Adurag terbang, Tuan Gagak?”
“Aku
sesungguhnya benar-benar tak mengetahui ke mana ia terbang. Namun yang sungguh
dan masih dapat kuyakini ia tetap akan kembali ke hutan Negeriku.”
“Lamakah?”
“Dan
janganlah kau banding-bandingkan kepentinganmu dengan kerahasiaan kehendak
sehingga ia terbang meninggalkan hutan negeriku. Ia akan kembali, kelak. Bila
hati dan sayapnya berkehendak. Sebab di hutan inilah tempat ia dilahirkan dan
tumbuh besar.”
“Jadi, apa
yang harus kulakukan…”
Di potongnya
sebelum pertanyaan si burung asing selesai, tuan gagak bertanya agak mengangguk,
“Siapa namamu, Nak?”
“Saya Risatu, Tuan”
“Kau tampak
berbeda sekali dari burung-burung yang pernah kutemui, Risatu. Risatu…. nama
yang aneh menurutkku. Baik, namaku Nanda, dan untuk pertanyaanmu sebaiknya
mulailah berhenti bertanya. Sebab ia kelak akan membunuh nyawamu secuil-demi-secuil.”
Risatu diam(geming).
Tuan Gagak
sama sekali tak ada kata. Di balik paruhnya ia berdiam.
“Dari mana
kau berasal?”
“Aku baru
kali ini menjadi burung.”
Tuan gagak
tak terkejut sama sekali, ia sepertinya sudah mafhum dengan hal ganjil. Menjadi burung.
“Ikut aku!”
Tuan Gagak
merentang sayap, mengepak lalu terbang mendahului Risatu. Mereka melintasi setangkup kerusakan yang di sebabkan Tuan
Adurag. Jauh. Sesaat Risatu mendapati sebuah Pohon yang tegap tinggi.
Dahan-dahannya hampir sebesar gajah dewasa. Tanpa sehelaipun daun bergelayut.
“Itu bukan
dedaunan, mereka adalah sekawan burung lainnya”
Mereka
mengitarinya. Layap. Disana telah berkumpul berpuluh-puluh kawanan burung di
tiap dahannya. Risatu memandang seksama. Kadang pandangannya bersirobok pada
mata-mata yang keras membalas. Kadang ia mendapati tundukan kepala. “Kau lihat,
tak ada yang sepertimu.”
Kembali
mengepakkan sayap lebih keras, mereka terbang
lebih tinggi. Tuan Gagak mengarahkan ke tempat awal mereka bertemu. Setelah
sampai pada puncak ketinggian terbangnya-tepat di tengah atas jejak kepergian tuan
Adurag, tuan
gagak tiba-tiba menukik tajam. Melewati tumpukan reranting patah dan dedaun
luruh, gesit sekali. Risatu
berdecap. Sempat ia menukik tajam, namun mendekati tetumpukan tersebut ia ragu.
Lantas mengepak sejadi-jadinya, menghindari benturan. Ia bertengger, turun
dengan melompat dari patahan ranting yang satu ke yang lainnya. Lama sekali,
sebelum akhirnya didapatinya kembali sosok tuan gagak yang sudah menunggu di
dasar. Risatu sadar bahwa pijakannya adalah lumpur yang liat, bukanlah tanah
kering yang padat.
Wajah tuan
gagak menjadi lebih dingin, Risatu semakin geming.
“Rontokkan
seluruh bulumu!”
Seketika,
sekawanan burung gagak menyembul dari balik akar yang melintang masai disekitar
mereka. Banyak sekali. Tuan gagak melompat ke salah satu tumpukan akar
tertinggi. Sementara kawanannya merangsek mengepung Risatu. Risatu
tergeragap. Dia menengadah dan melihat kawanan gagak lainnya sudah menanti di
atas. Bilah-bilah cahaya yang berhasil menerabas kini tertutup bentangan sayap
dan tubuh kawanan gagak. Ia makin kalap.
“Mengapa
harus kurontokkan buluku?”
“Seluruh
bulumu harus dirontokkan!”
“Mengapa?”
Meski berontak
kawanan gagak tetap merangsek ke arahnya. Ia berputar tak beraturan.
Membentangkan sayap. Mengacungkan dada. Sekawanan gagak bergeming. Lalu kembali
melangkah maju mendekatinya.
“Bulu-bulu
itu tak-lah pantas kau kenakan bila menjadi burung!” Suaranya menggelegar. Satu persatu sekawanan gagak
mulai mematuki bulu Risatu. Ia mengepak sayapnya lebih beringas. Seketika itu
pula, sekawanan gagak yang berada di atas kepalanya menukik. Menubruk-cengkram
tubuhnya. Ia roboh.
“Dengan
bulu-bulu itu tak ada satupun keistimewaan yang menyertainya, karena kau saat
ini memilih menjadi seekor burung. Kau tak bisa menjauhkannya, maka kawananku
dengan senang hati melakukannya.”
Rintih
Risatu tenggelam dalam kerumunan yang terus mematukinya.
“Tak perlu
kau menangis bersebab bebulu yang lucut dari tubuhmu. Biarlah waktu menumbuhkan
kembali, dan angin menggambarkan alur setiap helai bulumu. Begitulah kami, para
burung di Hutan ini.”
Sekawanan
binatang lain berdatangan. Menderap, menggelayut, melata dan melayang. Mereka
menyaksikan prosesi pencabutan bebulu Risatu, hikmad. Risatu terkapar. Di
tubuhnya tersisa bebulu muda. Di beberapa titik ada memar merah-darah.
Bebulu yang
tercerabut dikumpulkan
di hadapan Tuan Gagak. Dua gagak membawakan masing-masing satu batu di
paruhnya. Lalu di panggilnya seekor kera dari mereka yag menyaksikan prosesi.
Sedikit aba-aba dari tuan gagak, si kera mengerti apa yang di perintahkan olehnya.
Memantik api ke tumpukan.
Api
bersarang ditumpukan, menyebar di bantu angin yang dikibaskan sayap tuan gagak.
Api marak. Lelidahnya menjulur-julur melahap tumpukan bebulu Risatu.
Sontak
seluruh hewan yang menyaksikan bersorak-sorai karenanya. Risatu di papah berdiri
oleh dua ekor gagak di kanan-kirinya. Menunggu api yang menyisakan abu, agar
kemudian disapukan ke sekujur tubuh Risatu. Tuan Gagak berkoak-koak. Memberi
tanda. Sorak-sorai lesap.
Senoktah
hitam kembali terlihat di angkasa. titik hitam, makin lama makin tampak kepakan
sayapnya. Reranting patah dan dedaun yang bertumpuk tersapu ketepian. Ia- lah
Tuan Adurag. Makin lama sosoknya makin jelas. Besar. Kibasan angin dari
sayapnya bahkan dapat merundukkan sebuah pohon dengan batang yang lebar
sekalipun. Matanya sungguh tajam. Bebulunya keemasan, berkilau. Lengkung
paruhnya sempurna. Cengkraman cakarnya dalam sekali.
Ia mendarat
dengan gagahnya di hadapan seluruh penghuni hutan. Semua menunduk memberi
salam. Risatu tertegun memperhatikan sekeliling.
“Wahai,
Risatu.”
“Iya,
Tuanku” jawabnya goyang, sembari bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Tuan
Adurag mengetahui namanya, bukankah ia sedari tadi tak ada di sini.
“Aku terbang
ke beberapa lapisan langit bersebab Raja Alamakjang1 yang berkunjung
ke hutan ini mendadak hilang. Di sana aku bertemu dengan beberapa penjaga tiap
lapisannya, dan kutanyakan keberadaan Raja Alamakjang yang tiba-tiba
menghilang. Dan, mereka memberi jawaban yang hampir sama, bahwa raja Alamakjang
telah kembai lagi ke hutan ini, tapi sebagai burung. Dan kemudian menamai
dirinya Risatu. Maka, akupun kembali.”
“Tuan
Gagak?”
“Tuan
Adurag, Anda hanya ditugasi untuk menemani Raja Alamakjang yang berwujud
manusia, namun sekarang dia hanya seekor burung. Bersebab itulah seharusnya
segala hal yang melekat padanya dahulu tak sepatutnya ia bawa di wujudnya yang
sekarang. Di hutan ini, kecuali manusia, kedudukan kita haruslah sama.
Terkecuali Tuan Adurag yang telah diperanak oleh manusia secara mulia di hutan
negeriku ini tentunya.”
“Baiklah.
Terimakasih atas kebijakan yang Anda jaga, Tuan Gagak.”
Tuan Adurag
mendekat kepada Risatu. Dua gagak di kanan-kiri menepi. Dipeluknya Risatu dan
berpesan agar ia dapat menumbuhkan kembali bebulu sesuai dengan kemampuannya
sendiri dan harus menjaga kesesuaian yang berlangsung di hutan Negeri ini.
Tuan Adurag
lantas kembali terbang tinggi, ke negeri Entah. Menunggu Raja Alamakjang
berikutnya berkunjung ke hutan negeriku dikarenakan suatu masalah di
kerajaannya yang sungguh pelik untuk diselesaikan.
Penghuni
hutan yang berkumpul kembali ke habitatnya masing-masing. Berkehidupan seperti
seharusnya. Tuan Gagak terbang ke perbatasan hutan, menunggu Raja Alamakjang
yang tersesat, untuk kemudian berkoak, memberi tanda pada Tuan Adurag.
Dan
kehidupan baru bagi Risatu pun di mulai. Di mulai dari belajar bercuit-cuit pendek.
April 2013
ditulis oleh F. Pratama
Terbit di MedanBisnis, 27 April 2014
ditulis oleh F. Pratama
Terbit di MedanBisnis, 27 April 2014
____
1. Raja Alamakjang terbit di Sumut Pos
0 komentar:
Posting Komentar