Senin, 05 Mei 2014

CERPEN: BURUNG RISATU

Suatu hari, di sebuah hutan, hutan Negeriku. Seekor burung asing memasuki belantara rimbanya. Tampak ia kesulitan mengepakkan sayap. Sebab kibasan sayapnya terlalu panjang merentang dan ranting yang satu dengan yang lain tumbuh sungguh rapat. Pun dedaunannya sungguh lebat. Ia memutuskan untuk berhenti terbang, lantas bertengger di ranting terdekat dari pada ia menabrak dan salah satu sayapnya patah lalu jatuh ke tanah, menjadi mangsa yang sungguh empuk. Begitupun berpasang mata rupanya telah mengawasi. Apatah mangsa atau tanya.

Ia pun melompat menyamping di sepanjang ranting. Pupil hitam ikut bergelinding di berpasang-pasang bola mata, yang bersembunyi di balik bebayang hitam dedaunan. Meski begitu sepertinya tak terlalu memperdulikannya. Terus saja melompat, di reranting yang kian masai tumbuh makin ke bagian hutan terdalam. Menyusut pula daya mentari yang menerabas lebatnya dedaunan. Redup.

Namun, kian tak perduli rupanya ia, tenggelam dalam redup yang nyaris gulita. Kian jelas pula bahwa ada sesuatu yang hendak dicari di hutan Negeriku. Niat awal yang begitu besar sepertinya.

Lamat dari kejauhan terdengar olehnya suara kerosak dan reranting patah. Angin dan dedaunan  turut berseteru, meriuhkan suara gaduh. Desau melarung hingga ke ranting tempat ia sedang bertengger. Seketika ranting di cengkeramannya bergoyang akibat kegaduhan yang berada disekitarnya. Berpasang-pasang mata tampaknya dirundung kengerian yang hebat atas suara tersebut. Mencoba menjauh. Namun sekali lagi ia tak searus dengan mereka yang dirundung kengerian. Malah ia menyongsong suara tersebut, gapah-gopoh.

Tak ada lagi sepasangpun mata yang mengawasinya kini. Ia terus menyongsong suara gaduh yang makin terdengar jelas. Mulai dapat dikaisnya kembali jejak cahaya yang hampir tidak mampu menerabas lebat dedaun. Sesampainya, ia tak mendapati apapun dari muasal suara gaduh itu. Kecuali setangkup reranting dan dahan yang patah, dedaunan yang luruh, terbentang luas. Bak sabit telentang. Dan setitik bayang hitam nun terbang tinggi. Raut wajah burung asing sekelebat beralih murung. Di tatap angkasa yang kembali terbuka.

Seekor burung gagak melayap ke arahnya, datang menghampiri. Bebulu sayapnya coklat, jambulnya putih dan bagian lain tubuhnya hitam pekat. “Tenanglah, Nak.”

“Kemana Tuan Adurag terbang, Tuan Gagak?”

“Aku sesungguhnya benar-benar tak mengetahui ke mana ia terbang. Namun yang sungguh dan masih dapat kuyakini ia tetap akan kembali ke hutan Negeriku.”

“Lamakah?”

“Dan janganlah kau banding-bandingkan kepentinganmu dengan kerahasiaan kehendak sehingga ia terbang meninggalkan hutan negeriku. Ia akan kembali, kelak. Bila hati dan sayapnya berkehendak. Sebab di hutan inilah tempat ia dilahirkan dan tumbuh besar.”

“Jadi, apa yang harus kulakukan…”

Di potongnya sebelum pertanyaan si burung asing selesai, tuan gagak bertanya agak mengangguk, “Siapa namamu, Nak?”

“Saya Risatu, Tuan” 

“Kau tampak berbeda sekali dari burung-burung yang pernah kutemui, Risatu. Risatu…. nama yang aneh menurutkku. Baik, namaku Nanda, dan untuk pertanyaanmu sebaiknya mulailah berhenti bertanya. Sebab ia kelak akan membunuh nyawamu secuil-demi-secuil.” 

Risatu diam(geming).

Tuan Gagak sama sekali tak ada kata. Di balik paruhnya ia berdiam.

“Dari mana kau berasal?”

“Aku baru kali ini menjadi burung.”

Tuan gagak tak terkejut sama sekali, ia sepertinya sudah mafhum dengan hal ganjil. Menjadi burung.

“Ikut aku!”

Tuan Gagak merentang sayap, mengepak lalu terbang mendahului Risatu. Mereka melintasi setangkup kerusakan yang di sebabkan Tuan Adurag. Jauh. Sesaat Risatu mendapati sebuah Pohon yang tegap tinggi. Dahan-dahannya hampir sebesar gajah dewasa. Tanpa sehelaipun daun bergelayut.

“Itu bukan dedaunan, mereka adalah sekawan burung lainnya”

Mereka mengitarinya. Layap. Disana telah berkumpul berpuluh-puluh kawanan burung di tiap dahannya. Risatu memandang seksama. Kadang pandangannya bersirobok pada mata-mata yang keras membalas. Kadang ia mendapati tundukan kepala. “Kau lihat, tak ada yang sepertimu.”

Kembali mengepakkan sayap lebih keras, mereka terbang lebih tinggi. Tuan Gagak mengarahkan ke tempat awal mereka bertemu. Setelah sampai pada puncak ketinggian terbangnya-tepat di tengah atas jejak kepergian tuan Adurag, tuan gagak tiba-tiba menukik tajam. Melewati tumpukan reranting patah dan dedaun luruh, gesit sekali. Risatu berdecap. Sempat ia menukik tajam, namun mendekati tetumpukan tersebut ia ragu. Lantas mengepak sejadi-jadinya, menghindari benturan. Ia bertengger, turun dengan melompat dari patahan ranting yang satu ke yang lainnya. Lama sekali, sebelum akhirnya didapatinya kembali sosok tuan gagak yang sudah menunggu di dasar. Risatu sadar bahwa pijakannya adalah lumpur yang liat, bukanlah tanah kering yang padat.

Wajah tuan gagak menjadi lebih dingin, Risatu semakin geming.

“Rontokkan seluruh bulumu!”

Seketika, sekawanan burung gagak menyembul dari balik akar yang melintang masai disekitar mereka. Banyak sekali. Tuan gagak melompat ke salah satu tumpukan akar tertinggi. Sementara kawanannya merangsek mengepung Risatu. Risatu tergeragap. Dia menengadah dan melihat kawanan gagak lainnya sudah menanti di atas. Bilah-bilah cahaya yang berhasil menerabas kini tertutup bentangan sayap dan tubuh kawanan gagak. Ia makin kalap.
“Mengapa harus kurontokkan buluku?”


“Seluruh bulumu harus dirontokkan!”

“Mengapa?”

Meski berontak kawanan gagak tetap merangsek ke arahnya. Ia berputar tak beraturan. Membentangkan sayap. Mengacungkan dada. Sekawanan gagak bergeming. Lalu kembali melangkah maju mendekatinya.

“Bulu-bulu itu tak-lah pantas kau kenakan bila menjadi burung!” Suaranya  menggelegar. Satu persatu sekawanan gagak mulai mematuki bulu Risatu. Ia mengepak sayapnya lebih beringas. Seketika itu pula, sekawanan gagak yang berada di atas kepalanya menukik. Menubruk-cengkram tubuhnya. Ia roboh.

“Dengan bulu-bulu itu tak ada satupun keistimewaan yang menyertainya, karena kau saat ini memilih menjadi seekor burung. Kau tak bisa menjauhkannya, maka kawananku dengan senang hati melakukannya.”

Rintih Risatu tenggelam dalam kerumunan yang terus mematukinya.

“Tak perlu kau menangis bersebab bebulu yang lucut dari tubuhmu. Biarlah waktu menumbuhkan kembali, dan angin menggambarkan alur setiap helai bulumu. Begitulah kami, para burung di Hutan ini.”

Sekawanan binatang lain berdatangan. Menderap, menggelayut, melata dan melayang. Mereka menyaksikan prosesi pencabutan bebulu Risatu, hikmad. Risatu terkapar. Di tubuhnya tersisa bebulu muda. Di beberapa titik ada memar merah-darah.

Bebulu yang tercerabut dikumpulkan di hadapan Tuan Gagak. Dua gagak membawakan masing-masing satu batu di paruhnya. Lalu di panggilnya seekor kera dari mereka yag menyaksikan prosesi. Sedikit aba-aba dari tuan gagak, si kera mengerti apa yang di perintahkan olehnya. Memantik api ke tumpukan.

Api bersarang ditumpukan, menyebar di bantu angin yang dikibaskan sayap tuan gagak. Api marak. Lelidahnya menjulur-julur melahap tumpukan bebulu Risatu. 

Sontak seluruh hewan yang menyaksikan bersorak-sorai karenanya. Risatu di papah berdiri oleh dua ekor gagak di kanan-kirinya. Menunggu api yang menyisakan abu, agar kemudian disapukan ke sekujur tubuh Risatu. Tuan Gagak berkoak-koak. Memberi tanda. Sorak-sorai lesap.

Senoktah hitam kembali terlihat di angkasa. titik hitam, makin lama makin tampak kepakan sayapnya. Reranting patah dan dedaun yang bertumpuk tersapu ketepian. Ia- lah Tuan Adurag. Makin lama sosoknya makin jelas. Besar. Kibasan angin dari sayapnya bahkan dapat merundukkan sebuah pohon dengan batang yang lebar sekalipun. Matanya sungguh tajam. Bebulunya keemasan, berkilau. Lengkung paruhnya sempurna. Cengkraman cakarnya dalam sekali.

Ia mendarat dengan gagahnya di hadapan seluruh penghuni hutan. Semua menunduk memberi salam. Risatu tertegun memperhatikan sekeliling.

“Wahai, Risatu.”

“Iya, Tuanku” jawabnya goyang, sembari bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Tuan Adurag mengetahui namanya, bukankah ia sedari tadi tak ada di sini.

“Aku terbang ke beberapa lapisan langit bersebab Raja Alamakjang1 yang berkunjung ke hutan ini mendadak hilang. Di sana aku bertemu dengan beberapa penjaga tiap lapisannya, dan kutanyakan keberadaan Raja Alamakjang yang tiba-tiba menghilang. Dan, mereka memberi jawaban yang hampir sama, bahwa raja Alamakjang telah kembai lagi ke hutan ini, tapi sebagai burung. Dan kemudian menamai dirinya Risatu. Maka, akupun kembali.”

“Tuan Gagak?”

“Tuan Adurag, Anda hanya ditugasi untuk menemani Raja Alamakjang yang berwujud manusia, namun sekarang dia hanya seekor burung. Bersebab itulah seharusnya segala hal yang melekat padanya dahulu tak sepatutnya ia bawa di wujudnya yang sekarang. Di hutan ini, kecuali manusia, kedudukan kita haruslah sama. Terkecuali Tuan Adurag yang telah diperanak oleh manusia secara mulia di hutan negeriku ini tentunya.”

“Baiklah. Terimakasih atas kebijakan yang Anda jaga, Tuan Gagak.”

Tuan Adurag mendekat kepada Risatu. Dua gagak di kanan-kiri menepi. Dipeluknya Risatu dan berpesan agar ia dapat menumbuhkan kembali bebulu sesuai dengan kemampuannya sendiri dan harus menjaga kesesuaian yang berlangsung di hutan Negeri ini.

Tuan Adurag lantas kembali terbang tinggi, ke negeri Entah. Menunggu Raja Alamakjang berikutnya berkunjung ke hutan negeriku dikarenakan suatu masalah di kerajaannya yang sungguh pelik untuk diselesaikan.

Penghuni hutan yang berkumpul kembali ke habitatnya masing-masing. Berkehidupan seperti seharusnya. Tuan Gagak terbang ke perbatasan hutan, menunggu Raja Alamakjang yang tersesat, untuk kemudian berkoak, memberi tanda pada Tuan Adurag.

Dan kehidupan baru bagi Risatu pun di mulai. Di mulai dari belajar bercuit-cuit pendek.

April 2013

ditulis oleh F. Pratama 
Terbit di MedanBisnis, 27 April 2014
____
1. Raja Alamakjang terbit di Sumut Pos 

0 komentar:

Posting Komentar