“Sreettt…srettt….klntang
klntung”, suara berat goni yang diseret berpadu dengan suara kali kaleng
berhimpitan di dalam goni, terdengar ribut membelah malam. Sosok kecil itu
seperti keberatan beban dan tidak sebanding dengan berat tubuh mungilnya. Malam
itu ia baru pulang dari memumunguti kaleng bekas dan ia menyeret langkahnya menuju tempat yang ia
sebut rumah. Rumah berdinding tripleks tipis disekelilingnya. Hanya satu
ruangan, disitulah Bili dan kakaknya tinggal—memulai dan mengakhiri hari-hari.
“Baru
pulang Bil, uhuk…uhuk ?”, tanya kakaknya yang terbangun mendengar kedatangan
Bili dan kaleng-kaleng ribut itu.
“Iya
kak, kakak gimana ?sudah diminum obatnya?”
Kakak
Bili hanya membalas pertanyaannya dengan gumam dan lalu tidur kembali dengan
sesekali batuk dan mengeluarkan bunyi “ngiikkk”.
Bill
terduduk kelelahan di bangku usang dekat pintu triplek rumahnya dan memandang
lama tarian api dalam lampu teplok di atas meja kecil.
Bani
dan Bili adalah dua kakak beradik yang ditinggal ibu merantau ke Arab Saudi
menjadi TKW dan sudah tiga tahun tidak pernah pulang apalagi memberi kabar
kepada mereka, sedangkan Ayah Bani dan Bili tidak tentu keberadaannya,
terkadang pulang ke rumah triplek mereka dalam keadaan mabuk berat dan wajah
penuh lebam lalu keesokan paginya Ayah sudah dijemput kembali oleh teman-teman
Ayah yang sangar dan kekar, berpenampilan serba hitam, Bili dan Bani tidak tahu
menahu pekerjaan ayah mereka apa semenjak ditinggal ibu merantau. Bili dan Bani
hanya tahu dari mulut tetangga bahwa Ayah jadi tukang pukul di tempat Mami
Gina, kompleks rumah bordil dekat tempat tinggal mereka.
Tidak
seharusnya nasib membawa Bili dan Bani berakhir di tumpukan kaleng-kaleng
rongsokan ini. Betapa Bili ingin sekali bisa melanjutkan sekolahnya di madrasah
tsanawiyah dan mewujudkan impiannya menjadi seorang ustadz, tapi apalah daya
Bili harus putus sekolah sampai kelas 5 SD saja semenjak putus komunikasi
dengan ibunya dan ibu pun tak pernah mengirimkan uang lagi, mengharapkan Ayah
adalah hal yang tidak mungkin. Kini Bili
hidup dengan Kakaknya Bani yang beberapa bulan terakhir divonis Buk Nita,
dokter puskesmas bahwa Kak Bani mengidap penyakit TB (Tuberculosis), dan
penyakitnya semakin hari semakin parah, Bili terlambat mengantar Kak Bani ke
puskesmas hingga akhirnya Kak Bani diberi obat merah dan harus rutin di minum,
memang sih gratis, namun jika Kak Bani hanya minum obat saja, tanpa ada makanan
bergizi yang membantu mempercepat kesembuhannya dan menaikkan berat badannya
yang sekarang turun drastis, ya sama saja. Dulu, sebelum Kak Bani sakit, ia sempat bekerja di pabrik
penggilingan makanan ternak, mungkin dari sana Kak Bani terserang penyakit ini,
dari debu serbuk pakan ternak dan asap dari mesin pabrik, ditambah lagi Kak
Bani sering pulang larut malam karena tuntutan kerja yang tinggi. Kini tak
banyak yang bisa dilakukan Kak Bani selain istirahat total di rumah, tubuh
gempalnya habis diserang penyakit. Bili tak sanggup melihat keadaan kakak dan itulah
yang menjadi beban Bili selama ini sehingga ia harus menjadi pemulung kaleng
bekas, bahkan hampir semua pekerjaan dia lakoni, mulai dari menjadi penyemir
sepatu, ojek payung ketika musim hujan tiba, loper Koran bahkan tak jarang Bili
juga sering mengamen di persimpangan lampu merah. Satu hal yang amat dia pegang
teguh dan ini ia dapat dari nasihat Bang Sulaiman pemuda penjaga masjid saat
selesai Sholat Jum’at dan Bili sedang berada disana untuk menyemir sepatu
jama’ah masjid yang telah selesai sholat. Bang Sulaiman bilang bahwa ‘Sesusah
apapun hidup, jika kita masih mampu dan diberi fisik yang sempurna maka, tangan diatas lebih baik dari tangan di
bawah’. Yah, selagi Bili mampu, Bili
akan lakukan semua yang Bili bisa untuk menyembuhkan kakaknya tanpa harus
mengemis, karena kata Bang Sulaiman lagi, ‘kita masih punya harga diri, dan
kita harus menjaga harga diri itu agar tidak dihina dan dipandang sebelah mata
oleh orang lain”. Nasihat Bang Sulaiman begitu menyemangati Bili untuk
memandang hidup lebih optimis lagi, walau terkadang hidup berlaku tidak adil
pada Bili dan Bani.
Suatu
hari seperti biasa Bili kembali melakoni kegiatan rutinnya setelah pagi menjadi
loper Koran, siangnya ia berkeliling mencari kaleng bekas. Ada sebuah lokasi
yang menjadi favorit Bili untuk mengumpulkan kaleng bekas, yaitu sebuah komplek
perumahan, walau terkadang Bili harus main kucing-kucingan dengan satpam
perumahan, namun mau bagaimana lagi rezeki Bill ada pada kaleng-kaleng itu.
Rumah
itu tidak begitu besar, hanya saja Bill selalu memperhatikan rumah itu,
pasalnya rumah mungil nan asri yang masih berada di komplek perumahan tempat
Bill mencari kaleng-kaleng bekas itu penghuninya selalu terlihat berlangganan
susu, tepatnya susu sapi asli yang dijual oleh orang berkulit hitam, menggunakan
sorban dan berteriak “Susssuuuu”, jika tukang susu datang, maka tukang susu
meletakkan dua botol susu segar di atas meja beranda rumah itu. Mendengar susu
sapi, Bili jadi teringat, pesan Buk Nita bahwa Kak Bani mesti diberi makanan
dan minuman bergizi dan Buk Nita menyebut susu sapi, dengan minum susu secara
rutin maka, Kak Bani akan sehat kembali. Tak berapa lama tukang susu berlalu
dari hadapan Bili. Bili masih berperang dengan nurani dan pikiran buruknya,
Bili berniat mencuri susu botol itu demi kesembuhan Kak Bani.
Suasana
rumah sepi, hanya sesekali angin sore bertiup sejuk, namun angin sore itu
terasa pekat. Mengucur keringat disekujur tubuh Bani, nasihat Bang Sulaiman
sirna sudah. Bani mengendap-endap memasuki pekarangan rumah dengan mudah,
karena pagar besi bercat hijau itu tidak terkunci sama sekali dan terbuka
lebar. Bili dengan lihai sudah sampai di meja beranda dan kini dua susu botol
itu sudah dihadapan matanya.
“Maahh…maahhh”,
suara anak kecil memanggil mamanya datang dari garasi samping rumah. Bili
terkejut bukan main, Bili gelagapan dan reflek menggenggam dua botol susu,
panic, dan langsung bersembunyi di dalam rumah, bingung mau bersembunyi dimana
Bani pun memilih bersembunyi di sebuah kamar mungil, dan langsung menuju ke
bawah kolong tempat tidur sambil memeluk susu untuk Kak Bani.
Bili
ketakutan luarbiasa, seumur hidupnya belum pernah ia senista ini mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Peluh bercucuran, makin erat saja ia memeluk botol
susunya. Kepanikan Bili berbuah kambuhnya batuk yang ia derita dan sembunyikan
dari Kak Bani. Bili juga mengidap TB. Bili menahan sekuat tenaga untuk tidak
batuk, sepertinya bakteri TB tidak kompromi dengan Bili, Bili batuk
sejadi-jadinya dalam diam, Bili makin membekap mulutnya sendiri, cairan merah
mulai membanjiri dekapan tangannya. Botol susu perlahan yang ia peluk erat pun
mulai melonggar dari pelukan Bili dan menggelinding serta merta berhenti di
sepasang kaki.
Oleh: Nufa Zee
0 komentar:
Posting Komentar