Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus
berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan
kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra
Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan
oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia—baik dari golongan akademisi,
sastrawan, maupun peminat sastra—terhadap karya sastra Indonesia
A. Awal perkembangan
Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia, hal
itu sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka yaitu pada tahun 1932 ketika
majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik yang bertajuk
“Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana tercatat sebagai salah
seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana mengulas puisi-puisi yang
dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan
pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya
secara bebas, tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama.
Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat
sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Artikel inilah yang pertama
secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra
Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari majalah Pandji
Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane menumbuhkan majalah Poedjangga
Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat kritik dan teori sastra, makin ramai
bermunculan dalam majalah itu.
Selepas masa Poedjangga Baroe, kritik sastra mulai berkembang
dengan hadirnya H.B Jassin. Ia menjadi kritikus yang yang sangat berarti dan
terkenal. Sebagai kritikus, H.B Jassin menjadi kiblat para sastrawan muda pada
awal perkembangan sat itu. Jaanya sangat besar dalam kritik sastra karena ia
merupakan kritikus pertama yang menguak pengertian puisi modern kepada
masyarakat dengan mengungkapkan makna sajak-sajak Chairil Anwar yang pada
mulanya tidak banyak dimengerti orang dan di anggap sajak-sajak liar. Sejak itu
budaya kritik di Indonesia terus berkembang.
B. Kepudaran
Budaya Kritik
Seiring perkembangan kritik sastra yang di pelopori Alisjabana
dan H.B. Jassin pada masa angkatan ’45, secara mentalitas bila dilihat bahwa
pertumbuhan dunia kritik sastra di Indonesia setelah angkatan '45 seolah-olah
telah terjadi suatu garis grafik yang menurun dan memudar.
Penyebab memudarnya budaya kritik sastra ini dilandasi
beberapa hal, yang pertama adalah adanya kecendrungan yang kuat untuk menopang
kritik sastra dengan berbagai pemikiran rasional, antara lain dengan penggunaan
teori-teori sastra. Hal ini membuat karya sastra itu terkekang dan terkadang
teori yang dipakai juga kurang sesuai pada karya sastra yang di kritik. Hal ini
tidak jarang disebabkan adanya kecendrungan dari para kaum akademis yang
memakai teori barat untuk menelah dan mengkritik sastra Indonesia yang berbeda
latar sosial dan budayanya sehingga ditolak dan dianggap tidak relevan dengan
budaya sastra Indonesia.
Dalam praktiknya, kritik sastra selayaknya mengutamakan
penghayatan dari pada dengan perangkat metode dan teori. Kritik sastra yang
diusahakan untuk rasional dan ditopang dengan teori-teori belum tentu sanggup
menembus persoalan sastra. Dan yang lebih penting, kritik sastra yang diusahan
untuk rasional dengan dimuati teori ini dan teori itu tidak jarang hanya
bergerak pada format penulisan dan bukan pada jantung substansi sastra.
Yang kedua, adanya ketakutan terhadap dunia kritik. Asumsi ini
sebenarnya adalah asumsi yang igin menghancurkan kreatifitas dan
kredibilitas yang dibangun oleh para kritikus sebelumnya. Ketakutan terhadap
kritik adalah bukan tidak mungkin adalah ketakutan untuk melihat diri sendiri.
Ketakutan untuk melihat kelemahan diri dan keangganan yang untuk memperbaiki
diri. Bisa jadi merupakan fenomena feodalisme dan realitas infantilisme yang
disembunyikan. Sekaligus menandakan ketakutan terhadap adanya tantangan dan
kehendak dalam berkarya.
Sebuah mimpi yang mengerikan bila kita hidup dalam budaya
antikritik, anti untuk mengakui kesalahan sendiri, anti untuk melihat kelemahan
diri sendiri. Kebudayaan antikritik cendrung membunuh sikap demokratis dan
menyuburkan sikap oportunis di dunia sastra dan budaya secara umum. Akibat yang
timbul adalah budaya ketertutupan; ketertutupan sosial politik, ketertutupan
diri terhadap dunia kritik sehingga setiap kritik yang ada selalu dicurigai.
Sekaligus hadirlah ke permukaan secara perlahan tapi pasti; sikap budaya tidak
mau mengritik, karena takut akan dimusuhi, dipencilkan, dirugikan. Maka logis
saja bila orang enggan menjadi kritikus sastra, sebab profesi demikian akan "membahayakan"
pribadi yang bersangkutan di samping finansial juga sangat tidak menjanjikan.
Ketiga, keinginbebasan karya sastra untuk menuliskan dan
menceritakan segala hal dari segala aspek tanpa harus di intervensi oleh kritik
sastra. Hal ini banyak membuat karya sastra saat ini banyak menjadi karya
sastra ‘sampah’ yang mementingkan urusan pribadi baik dari segi nama pengarang
ataupun materi. Hal ini yang membudayakan ketidakcintaan seseorang
terhadap budaya sastra yang alami dan selalu mencoba untuk meniru pada karya
yang telah dibuat sebelumnya. Bahayanya lagi, karya sastra yang diciptakan
hanya untuk kesenangan semata tanpa melihat dari sisi fungsi dan bersifat
temporal dam semaunya. Namun pada akhirnya, ketika karya sastra ternyata hanya
sekadar meniru tanpa memberikan refleksi lain, kritik sastra dapat dipandang
sebagai karya utama karena kritik mampu menulis ulang (layaknya karya sastra)
sebuah objek dalam terminologi atau pengertiannya sendiri (criticism is now
have always been rewriting the object in the critic’s own terms).
Terakhir, pemahaman seseorang terhadap kritik sastra. Syarat
mutlak untuk menjadi seorang kritikus sastra adalah wawasan yang luas. Dia juga
harus mampu berpikir interdisipliner. Ini menjadi wajib ketika kritik sastra
diharapkan memberi kontribusi kepada perkembangan sastra itu sendiri.
Adanya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra akademi— dianggap
hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya kesarjanaan
(skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau
kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi pendidikan
(fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademik jadinya
memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh
para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum
atau kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan bukan
menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya.
Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra
ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan.
Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa resensi
buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung tidak diperlakukan
sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi. Kecanggungan inilah
yang menyebabkan kurangnya minat mengkritik baik secara akademis ataupun
impresionistik. Dan karena adanya kaidah-kaidah tertentu yang tak tertulis
dalam mengkritisi karya sastra dan ukuran kategori dalam kritik sastra, maka
kritik sastra jadi tidak begitu diminati. Benarkah sudah sekritis ini kondisi
kritik sastra Indonesia?
Oleh Arie Azharie

0 komentar:
Posting Komentar